Chereads / The Eternal Love : Raja Chandra / Chapter 48 - The Racing Arena

Chapter 48 - The Racing Arena

***

Gaun berwarna biru tua dengan lengan semi transparan membungkus tubuh ramping Arunika. Motifnya memang sederhana, tapi menawan bila dipakai olehnya.

Kalung tipis melingkari leher jenjangnya, begitu juga telinganya yang dihiasi anting tindik. Cahaya aksesoris itu terpantul saat mengenai matahari sore.

Dia dan para dayangnya sedang mengamati luasnya lapangan kuda pacu Istana Alba.

"Sayang sekali lapangan sebesar ini tidak bisa kupakai," celetuk Arunika.

Eni dan Yera menoleh padanya. Tidak bertanya, tapi menatapnya dengan wajah bertanya-tanya.

"Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Arunika sambil terkekeh. Dia menutupi mulut, menghalau tawanya yang indah. "Kalau ada yang mau ditanyakan, ya tanyakan saja. Tidak usah menatapku dengan penasaran begitu."

Yera menundukkan kepala. "Mohon maaf, Yang Mulia."

"Yera yang paling kaku di sini," celetuk Arunika sambil tersenyum. "Aku tidak pandai berkuda, apalagi berpacu. Setiap hari aku selalu diantar-jemput oleh paman kusir. Gray pasti tahu tentang itu."

Gray mengangguk. Di antara Eni dan Yera, memang dialah yang paling lama menjadi dayang pribadi Arunika. Tentu saja dia tahu alasan mengapa permaisuri tidak terlalu jago dalam berkuda, tapi dia akan menutup rapat mulutnya soal itu, kecuali permaisuri menginginkannya untuk memberitahu.

"Tidak apa, Yang Mulia. Lapangan pacu ini akan sangat berguna bagi calon pangeran atau putri anda di masa depan," kata Yera. Bukan tanpa sebab dia mengatakannya. Putra putri kerajaan harus bisa melakukan dasar berkuda dan berpedang.

Arunika mengulum senyum, membayangkan putra putrinya dengan Gasendra nanti. Akan mirip siapa putra putri mereka?

"Ya, lapangan ini harus tetap dirawat walaupun aku tak pandai berkuda," ujar Arunika yang terselip perintah di sana.

"Jika Yang Mulia mengizinkan, bolehkah saya menunjukkan kemampuan saya dalam berpacu?" tanya Eni tiba-tiba. Dia memohon dengan menyampirkan tangan dan mengangkat ujung gaunnya.

Arunika menatap Eni dengan terkejut. "Kau pandai berpacu rupanya," ucap Arunika dengan samar-samar.

"Ini pertama kalinya kau memohon dengan semangat seperti itu. Aku jadi menantikannya."

Eni tersenyum lebar dengan mata yang berbinar. Dia sungguh senang dan bersemangat untuk menunjukkan kemampuan yang sudah lama diasahnya sejak umur delapan tahun itu. Besar di keluarga yang kebanyakan laki-laki, membuat Eni ikut memperdalam apa yang dilakukan oleh abang-abangnya.

"Tentu saja! Saya tidak akan mengecewakan anda." Eni mengangkat gaunnya untuk berlari ke kandang kuda yang tak jauh dari lapangan pacu.

"Eni! Kau mau berpacu dengan menggunakan gaun?" tegur Arunika dengan wajah khawatir.

Eni berbalik. Dia mengacungkan ibu jari sambil tersenyum lebar. "Tenang saja, Yang Mulia. Mau memakai baju apapun saya tetap melakukannya dengan baik!" Dia melanjutkan pelariannya ke kandang kuda, membuat tiga wanita yang berada di tempat mendesah khawatir.

"Kalau begini aku kan jadi khawatir," keluh Arunika mencengkram gaunnya. "Ayo kita mendekat ke lapangan pacu!"

Arunika berjalan cepat menuju pagar pembatas lapangan pacu, diikuti oleh Gray dan Yera. Dia bersorak saat melihat Eni yang menaiki kuda berwarna cokelat keluar dari kandang ditemani oleh penjaga kandang yang sudah terlihat cukup tua.

"Nona, anda yakin bisa mengendalikannya dengan benar?" tanya kakek itu dengan khawatir. Kuda adalah hewan yang bersahabat, tapi juga sangat sensitif. Jika melakukan kesalahan sedikit saja saat berkuda, akibatnya akan fatal. Itu membuat sang kakek merasa khawatir dan terkejut saat mendengar dayang muda itu ingin menggunakan kuda untuk berpacu.

"Tenang saja, Paman. Saya sudah bersahabat dengan hewan satu ini sejak berusia delapan tahun, sama dengan paman yang sudah lama merawat kuda. Makanya saya sangat yakin bisa mengendalikannya. Saya juga sudah belajar dari abang bagaimana menenangkan kuda yang sensitif," jelas Eni dengan bangga.

Kakek itu mengangguk pelan. Dia melepaskan tali kekang yang sejak tadi dipegangnya. "Ya sudah. Hati-hati, Nona."

"Ya, Paman." Eni menarik tali kekang dan mengarahkan kudanya untuk memasuki arena berpacu. Dia mengacungkan ibu jari pada ketiga wanita yang menontonnya dengan semangat bercampur khawatir.

Gray memegang dada. "Jantung saya berdetak dengan kencang. Saya jadi khawatir dengan anak itu."

"Aku juga," sahut Arunika mencengkram gaunnya sampai-sampai terlihat kusut.

Yera ikut mengangguk. Pandangannya tak terputus dari Eni. Dia cukup khawatir dengan Eni karena jika anak itu terluka, urusannya sebagai kepala dayang akan semakin banyak.

"Saya juga mengkhawatirkannya."

"Ya Dewa... tolong jaga anak itu," ujar Arunika sembari menyatukan tangan di depan dada.

"Anda sudah siap, Nona?" tanya pengawal yang menjaga lapangan berpacu. Dia yang akan memberikan aba-aba untuk Eni memacukan kuda.

Eni mengangguk. "Saya sudah siap."

Penjaga itu melipir dari pintu masuk pacuan kuda, kemudian mengibaskan bendera berwarna kuning.

"Tiga...! Dua...! Satu..!" teriaknya sembari mengangkat tinggi-tinggi bendera itu.

Eni menarik tali kekang yang mengikat leher kudanya. Kuda cokelat itu setengah berdiri, kemudian mulai berlari membawa Eni dan mengangkat debu pasir yang kini berterbangan menghalau penglihatan.

"Hyaa!" teriak Eni memacukan kudanya dengan semangat. Gaunnya yang panjang sama sekali tak mengganggu aktivitasnya dalam berpacu. Tubuhnya sedikit limbung ke depan sembari mengelus perpotongan leher kuda cokelat itu.

"Bagus!" puji Eni sambil tersenyum senang. Napasnya satu dua disesuaikan dengan pacuan kuda yang semakin cepat. "Sebentar lagi kau harus melompat tinggi!" ujar Eni pada hewan berkaki empat itu.

"Yang Mulia baik-baik saja?" tanya Gray memegangi tubuh Arunika. Dia khawatir jika Arunika akan limbung.

"Aku tidak apa-apa, Gray. Ini lebih seru daripada yang kubayangkan! Bagaimana bisa dia sehebat itu?" tanya Arunika dengan terkagum-kagum.

"Dia akan melompat! Dia akan melompat...!" seru Yera menutupi matanya dengan tangan.

"Oh, astaga! Sepertinya aku harus memarahinya setelah ini!" seru Gray dengan napas tersengal-sengal. Dia jadi ikut panik mendengar seruan permaisuri dan Yera.

Eni dan kudanya melompati balok besar setinggi satu setengah meter dengan selamat. Tubuh Eni benar-benar fleksibel dengan pergerakan kuda. Hanya melihatnya saja, semua orang mengetahui jika dia berbakat dalam hal itu.

"Itu bagus!" Eni menepuk leher kudanya. Tubuhnya dia condongkan ke depan sambil memegang erat tali kekang. "Kau harus melompat lebih tinggi lagi setelah ini!" Mata Eni tertuju pada balok kayu setinggi dua meter yang menghalau jalan di depannya.

"Hati-hati, Eni!" teriak Arunika dari pinggir lapangan.

"Yang Mulia, apa saya boleh memarahi Eni setelah ini?" tanya Gray ragu.

Arunika menoleh dan mendelikkan mata, mengancam Gray untuk tidak memarahi Eni yang begitu hebat dengan kemampuannya.

"Ya Tuhan... Ya Tuhan... balok itu lebih tinggi daripada yang tadi!"

"Hyaaa!" teriak Eni bersamaan dengan kudanya yang melompati balok kayu tanpa kesulitan sedikitpun. Sinar matahari sore menambah kesan cantik dan pemberani bagi gadis muda itu.

Eni tertawa riang. Dia menarik tali kekang untuk memperlambat pergerakan kuda. Perlahan kuda itu berhenti dan Eni turun dari sana dengan melompat, membuat ketiga wanita itu memekik kaget.

Dia mengelus perpotongan leher dan kepala kuda, lalu menciumnya. "Kerja bagus, Kawan!" Dia menarik kuda itu untuk keluar dari arena berpacu. Kemudian, menyerahkannya pada kakek penjaga kandang yang memuji kemampuannya.

Arunika berlari kecil menghampiri Eni. Begitu pula kedua dayangnya yang mengikuti.

Eni mengelap peluh di dahi menggunakan gaunnya. Dia berbalik dan menemukan ketiga wanita yang tadi masih berada di pagar pembatas, kini berlari penuh semangat ke arahnya.

Mata Eni terbelalak. "Yang Mulia!" seru Eni terkejut, kemudian segera berlari menghampiri. "Anda bisa terluka kalau berlari seperti itu."

"Kau baik-baik saja?" tanya Arunika dengan napas tersengal-sengal.

"Y--ya..? Saya baik-baik saja...?" jawab Eni dengan lambat.

"Syukurlah...!" seru mereka sambil menghela napas panjang. Walaupun sama-sama khawatir, tapi alasan mereka untuk mengkhawatirkan Eni itu berbeda-beda.

"Bagaimana pertunjukan saya? Bagus tidak?"

Arunika menggenggam tangan Eni, dia mengangguk semangat. "Tentu saja! Kenapa kau tak pernah bilang kalau punya kemampuan spektakuler seperti itu?"

"Hehehe... saya memang ingin merahasiakannya. Namun, saat melihat lapangan berpacu sore ini, saya tak bisa merahasiakannya lagi."

Arunika berbalik menghadap Yera. "Yera, lapangan pacu ini bisa dipakai oleh siapa?"

"Siapapun bisa memakainya selama mendapat persetujuan dari penguasa sementara di istana itu."

"Bagus!" Arunika tersenyum lebar. Dia berbalik menghadap Eni yang tangannya masih digenggam.

"EniHera, mulai hari ini... aku sebagai penguasa sementara Istana Alba mengizinkanmu untuk memakai lapangan pacu ini untuk mengembangkan potensimu."

———