Pria tampan dengan rambut acak-acakan tersebut sedang berbaring di ranjang rumah sakit. Lengannya di perban sempurna. Matanya terpejam erat, tak memiliki tanda-tanda akan terbuka. Sudah dua jam sejak operasi di lengan dan perutnya selesai, namun pria tersebut masih belum menunjukkan tanda-tanda akan siuman.
"Dia baik-baik saja 'kan Dok?" Matanya berkaca-kaca, terlihat panik dengan wajah yang pucat pasi.
"Ini sudah yang ke empat belas kalinya kau bertanya, My Rose. Tenanglah, Alaric tidak akan mati dengan mudahnya." Sahut Darren yang baru saja datang. Di usapnya lengan Rosea perlahan, mencoba menenangkan gadis cantik dengan manik mata berwarna biru safir tersebut.
Dokter di depan keduanya terkekeh pelan. Dia mengangguk, kemudian tersenyum. "Tenanglah, Mr. Cashel baik-baik saja." Ucap Dokter tersebut.
Rosea masih belum bisa tenang jika Alaric belum membuka matanya. Dia terus uring-uringan, merasa bersalah. Karenanya, Alaric terkena tembakan sebanyak dua kali di bagian lengan dan perut. Dia sangat kesal dan marah secara bersamaan. Bara, Rosea berjanji akan menghancurkan Bara sampai ke akar-akarnya.
"Bara sialan." Umpat Rosea secara tiba-tiba. Mendengar Rosea yang mengumpat, Darren terkejut. Dia mencoba untuk membuat jarak, menghindari kemarahan Rosea. Sungguh, gadis ini selalu menyeramkan saat marah.
"Apa dia masih berada di tempat yang biasa?" Rosea berbalik, menatap Darren yang terlihat kaget.
"Ya. Aku membawanya ke tempat biasa." Jawab Darren.
"Aku akan ke sana dan menikamnya berkali-kali!" Kesal Rosea. Baru satu langkah dia menjauh dari Alaric, sebuah tangan mencekal pergelangan tangannya, membuat Rosea terkejut bukan main.
"Astaga, Alaric?!" Rosea terlihat sangat lega. Di tatapnya wajah Alaric dengan seksama, kemudian mengeceknya satu persatu.
"Kau baik-baik saja? Ada yang sakit?" Tanya Rosea. Alaric mengangguk. Dia menunjuk jantungnya, membuat Rosea panik.
"Hatiku sakit karena memikirkanmu dan Darren. Kalian tidak diam-diam bercinta saat aku tidak sadar 'kan?" Biadab. Bisa-bisanya Alaric berpikir seperti itu di saat Rosea mengkhawatirkannya hingga tak bisa bernapas dengan baik. Di pukulnya pelan lengan Alaric, membuat pria itu melenguh kesakitan.
"Sakit, My Rose." Keluh Alaric sembari meringis.
"Aku akan memanggil Dokter terlebih dahulu untuk mengecek mu." Darren meninggalkan Rosea dan Alaric berdua.
Tinggalah Rosea dan Alaric yang sama-sama saling pandang dengan pikirannya masing-masing. "Bisa-bisanya kau berpikir seperti itu." Protes Rosea. Meski kesal dengan Alaric, gadis cantik itu merasa lega karena sahabatnya satu ini baik-baik saja.
"Aku tidak akan mati, My Rose. Jika aku mati, kau tidak akan memiliki jodoh." Kata Alaric.
Rosea mendelik, merasa tidak terima dengan ucapan pria tampan di depannya ini. "Percaya diri sekali." Balas Rosea sembari mendengus kesal.
"Kau baik-baik saja My Rose?" Pertanyaan ini membuat Rosea merasa tidak percaya. Bagaimana bisa pria ini mengkhawatirkannya di saat dirinya sendiri sedang sekarat seperti ini?
"Berhenti mengkhawatirkanku, Alaric. Kau sendiri yang hampir mati." Kesal Rosea.
Dokter telah datang, Rosea segera menyingkir untuk memberikan ruang pada Dokter dan para perawan agar dapat memeriksa Alaric dengan baik. Darren selalu mendampingi Rosea, berdiri di sampingnya.
"Si sialan itu tidak akan mati begitu saja, My Rose. Berhenti mengkhawatirkannya secara berlebihan." Ucap Darren secara tiba-tiba.
Rosea melirik Darren sejenak, tersenyum hangat pada pria itu. "Terima kasih telah menyelamatkanku, Darren. Aku bersyukur kau tidak terluka." Kata Rosea.
Darren mengusap rambut Rosea dengan lembut, menatap balik manik berwarna biru safir yang selalu menenangkannya. Di tengah situasi yang romantis ini, suara Alaric lagi-lagi mengacaukannya. Bagaikan orang buta nada yang bernyanyi, Alaric berhasil membuat telinga Darren merasa sangat sakit.
"My Rose, jangan tersenyum seperti itu pada Darren!" Teriak Alaric.
Rosea dan Darren melirik Alaric dengan malas. Keduanya mendekat, kemudian bertanya pada Dokter. "Bisa tolong suntik mati dia saja Dok?" Tanya Darren, membuat Dokter melongo tidak percaya.
"Hah? Bagaimana?" Balas Dokter yang menangani Alaric.
"Dia sainganku untuk mendapatkan cintanya. Tolong suntik mati saja agar aku tidak memiliki saingan lagi." Jelas Darren.
Dokter tersebut terkekeh pelan, kemudian pamit dan meninggalkan mereka begitu saja. "Seenaknya saja kau mau menyuntik mati aku. Aku juga terluka seperti ini karena berusaha menyelamatkanmu, bodoh!" Alaric merasa tidak terima. Dia mengoceh tanpa henti, membuat Darren merasa tertekan.
"Diamlah, atau kau akan benar-benar aku suntik mati sekarang." Kesal Darren.
Rosea menghela napasnya, melihat pertengkaran yang tak ada habisnya itu. Gadis itu kini baru merasakan bagaimana tubuhnya yang terasa sangat nyeri, terutama pada bagian leher. Menyadari hal tersebut, Darren mengusap rahang Rosea, membuat gadis itu mendongak seketika.
"Lehermu terluka, My Rose." Kata Darren.
"Bukankah luka di leherku lebih baik daripada bekas kissmark?" Balas Rosea diakhiri sebuah kekehan kecil. Dia sangat suka sekali menggoda Darren seakan mendapat kesenangan tersendiri.
"Jika itu adalah kissmark dariku, pasti terlihat sangat indah." Sahut Alaric membuat Darren melotot tajam.
"Diamlah. Tebar saja sperma mu itu kepada para pelacur di luaran sana." Ketus Darren, merasa bahwa emosinya sudah sampai ubun-ubun.
"Bara, apa yang akan kita lakukan padanya?" Suara Rosea menghentikan perdebatan antara Alaric dan Darren. Keduanya kini bertatapan dengan arti pandangan yang sama.
"Tentu saja kita akan membunuhnya, My Rose. Siapapun yang berani menyentuhmu, menyakitimu, maka dia harus berhadapan dengan kematian." Jawab Alaric.
Darren mengangguk, menyetujuinya. "Tentunya tidak dengan kematian yang mudah. Dia harus tersiksa hingga menginginkan kematian itu sendiri." Geram Darren dengan matanya yang menggelap.
Rosea merinding melihat kedua sahabatnya. Ini yang dia takutkan jika ada orang yang berani kurang ajar padanya. Alaric dan Darren diam-diam menyimpan jiwa psikopat yang menyeramkan. Mereka tak akan memiliki belas kasihan pada korbannya.