Chereads / Mr. A / Chapter 10 - 10. Aksel koma

Chapter 10 - 10. Aksel koma

A menembak Gangster itu satu persatu hingga semua meninggal di tempat. Hendrik dan ayahnya tinggal berdua menghadapi A. Hendrik yang sudah ketakutan bersembunyi di balik punggung sang ayah yang sudah penuh luka memar di wajah.

Bak dirasuki iblis, A mendekati anak dan ayahnya itu. Matanya menatap begitu tajam. A menodongkan senjatanya di kepala Ayah Hendrik. Lelaki paruh baya itu menangis memohon ampun kepada A, kemudian ia bersujud di bawah kaki A diikuti dengan Hendrik.

"Kumohon lepaskan kami. Ambil saja kolor emas itu, saya tidak membutuhkannya," pinta Ayah Hendrik.

"A, kami berjanji tidak akan mengganggu kalian lagi," timpal Hendrik.

A hanya beroh riah sambil manggut-manggut saja. "Begitu? Kau dan ayahmu telah melakukan kesalahan besar dengan menusuk teman saya," katanya.

Dor!

A menembak bahu Ayah Hendrik hingga lelaki itu meraung kesakitan. Sudah tentu Hendrik panik melihat tubuh Ayahnya yang sudah dipenuhi dengan banyak darah.

"Hentikan A! Kumohon hentikan, jangan menembak Papaku. Biarkan dia hidup. Aku saja A, aku saja yang kamu tembak."

"Saya sangat terharu kepadamu Hendrik. Berani mengorbankan nyawamu dengan ayahmu. Namun, kali ini saya tidak akan memberikan ampun. Bukankan tadi saya sudah memberikan dua kesempatan kepada kalian? Tapi apa? Kalian malah menyia-nyiakannya."

"Akh!" Hendrik berteriak kala A menarik rambutnya dengan kuat.

Dor!

Mata Hendrik membulat sempurna melihat A menembak Ayahnya hingga mati di tempat. Hendrik menatap dengan nanar tubuh Ayahnya yang sudah tidak bernyawa itu.

"Akh!"

"Lihat! Lihat Ayahmu! Bukankah dia sangat tampan dengan mata tertutup? Seharusnya kau berterimakasih kepadaku karena telah membuat Ayahmu menjadi tampan."

"Ampuni aku A. Ampuni aku!" ujar Hendrik memohon.

"Mengampunimu?"

Dor!

"Tidak akan!" Batin A seraya melihat Hendrik tergeletak di samping ayahnya dengan peluru yang bersarang di kepala lelaki itu.

Kini semua sudah selesai. Lantas A mencium kembali pistol kesayangannya itu. A berjalan mengambil tasnya dan memasukkan kembali pistol itu ke dalam tas tersebut. Hampir saja A lupa dengan Jie dan Guan.

Lelaki tampan itu kemudian menatap Jie dan Guan yang tak sadarkan diri. Pertama, ia berjongkok lalu menepuk-nepuk kedua pipi Jie untuk membangunkan gadis itu. Namun, tak kunjung bangun juga. Kini ia menghampiri Guan yang juga tak sadarkan diri. Ia melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan kepada Jie.

A mengumpat. "Apa-apaan ini? Apa aku harus gendong mereka berdua kalo gak bangun juga? Sialan! Hei! Bangun!" A menendang-nendang Guan dengan kasar hingga tak lama lelaki itu terbangun.

Mata Guan terbuka diselingi sebuah senyum A ukir. "Bangun juga akhirnya. Bawa gadismu keluar dari sini. Selepas ini aku tidak akan bertanggungjawab jika sesuatu terjadi kepada kalian. Dengar?"

"Apa Gangster itu sudah pergi," lirih Guan sembari menatap A yang akan pergi.

Hanya deheman yang A berikan untuk menjawab pertanyaan Guan. Setelahnya ia pun pergi, tapi belum juga ia melangkah, Guan yang bertanya membuat A harus mengumpat karena kesal.

"Apa lagi sih?" tanya A dengan kesal.

"Ehk, ini ikatannya belum dilepas." A memutar bola matanya dengan malas lalu melepaskan ikatan Guan.

"Sekarang aku boleh pergi?" Guan mengangguk.

Di sisi lain, terdapat Gilang yang tengah menangis sembari menunggu operasi yang tengah dilakukan kepada Aksel.

Tusukan itu membuat Aksel kehilangan banyak darah dan keadaannya semakin memburuk. Mau tak mau, Gilang terpaksa menyetujui untuk segera melakukan operasi terhadap Aksel. Karena mau bagaimanapun Gilang tak ingin sesuatu terjadi kepada Aksel yang sudah ia anggap adiknya itu.

Di sini, ia mempunyai tugas yang sangat penting, yaitu melindungi kedua saudaranya. Melihat keadaan Aksel seperti itu, membuatnya hampir hilang akal. Gilang merasa ia tidak berguna dalam menjaga adik-adiknya itu.

Gilang meraup wajahnya dengan kasar. Tangannya gemetar karena khawatir jika sesuatu terjadi kepada Aksel. Di sisi lainnya juga, ia sangat mengkhawatirkan keadaan A yang ia tinggalkan sendiri dalam menghadapi para Gangster sialan itu.

"Kenapa A lama sekali. Semoga dia baik-baik saja," ucap Gilang khawatir.

Sungguh! Gilang tidak bisa tenang. Lelaki itu terus menerus berjalan tidak karuan di depan ruangan operasi.

"Aksel bertahanlah. Kau pasti kuat."

Saudaranya di dalam sana tengah menghadapi antara hidup dan mati. Namun, ia di sini baik-baik saja? Rasanya tidak adil bagi Aksel. Kenapa Aksel yang harus tertusuk dan bukan dia?

"Arrghh!" teriak Gilang sembari memukul dengan keras dinding rumah sakit hingga darah segar mengalir begitu saja.

Tiba-tiba Gilang tersentak kaget kala handphonenya berdering. Ia segera mengangkat panggilan yang ternyata dari A. Sembari tersenyum A berucap, "Hallo."

"Kak, Ini aku A. Bagaimana keadaan Aksel?" tanya A di seberang sana.

"Kamu cepetan ke sini. Nanti kakak bakal jelasin semuanya."

"Aksel baik-baik saja, 'kan? Rumah sakit mana?"

"Rumah sakit pelita."

Tut!

Panggilan dimatikan sepihak oleh A.

Gilang menunggu begitu lama hingga A tiba di hadapannya dengan nafas tersenggal-senggal. Bagaimana tidak? A berlari di sepanjang perjalanannnya untuk ke rumah sakit pelita. Sama halnya dengan Gilang m, A juga sangat khawatir dengan keadaan Aksel.

"Kakak!" teriak A.

"Aksel dimana?" tanyanya kemudian.

Gilang menghampiri sang adik lalu memeluknya dengan erat. "Aksel, Aksel ada di dalam sana."

Mata A membulat sempurna. Runtuh sudah pertahanannya saat mendengar Aksel di operasi. Pikirannya sudah melayang kemana-mana. Bagaimana kalo operasinya tidak berjalan dengan lancar? A tidak ingin kehilangan sahabatnya.

Tangisan A sudah tak dapat dihentikan lagi. Ia menangis begitu lama hingga lelaki itu tertidur di pangkuan Gilang. Dengan lembut Gilang mengelus pucuk kepala adiknya itu.

"A pasti sanagt capek," ucapnya.

Bersamaan itu, pintu operasi terbuka dengan keluarnya seorang Dokter bersama dua suster di belakangnya.

"Keluarga pasien," seru sang Dokter.

Lantas Gilang mengangkatnya tangannya. "Saya Dokter," jawab Gilang kemudian menghampiri sang Dokter, tapi sebelum itu ia melepaskan kepala A dari pangkuannya. Lalu mengambil tasnya untuk menjadikan bantal sang adik.

"Bagaimana keadaan adik saya?" tanya Gilang.

"Operasinya berjalan lancar, tapi pasien masih belum bisa sadarkan diri. Pasien belum melewati masa kritisnya. Keadaannya sekarang dalam keadaan koma," jawab Dokter tersebut.

"Apa Dok? Dia koma?" Dokter itu mengangguk.

"Lalu kapan dia bisa bangun?"

"Tergantung, bisa besok atau lusa. Luka tusukan itu begitu dalam, hampir saja melukai organ tubuhnya. Namun, itu tidak apa-apa. Kami akan lebih mengawasinya selama 24 jam."

"Dok lakukan yang terbaik untuk adik saya."

"Hmm. Kami akan melakukan yang terbaik untuk pasien, tapi ngomong-ngomong siapa yang tertidur itu? Sepertinya lengannya terluka. Bawa dia untuk diobati sus."

Gilang menatap A yang tertidur pulas. Benar, lengan A terluka. Gilang kemudian mengangkat sang adik membawanya untuk diobati.