Matahari sudah mulai terbenam, tetapi remaja-remaja itu masih berlarian saling mengejar. Guan yang sedari tadi tidak mengerti apa-apa tiba-tiba berhenti begitu saja.
Jie juga ikut berhenti sembari menatap Guan dengan aneh. "Guan ayo! Kenapa kita berhenti?" tanya gadis itu.
Guan menggeleng dengan pelan. "Jujur, gue gak ngerti dengan semua ini. Berurusan dengan Gangster itu bukan hal baik Jie. Kita bisa mati karena ini."
"Gue bakal mati kalo gak dapatin kolor emas itu."
"Apa lo sudah gila? Sudah Jie hentikan, mari kita pulang."
"Tidak akan Guan! Kalo lo mau pergi, pergi aja sendiri. Gue gak mau kehilangan kolor emas itu," ucap Jie.
"Lo memang keras kepala, tapi gue juga gak bisa biarin lo sendiri mengejar mereka."
"Yaudah tunggu apa lagi? Ayo!" Jie kembali menarik tangan Guan untuk mengejar A dan kedua sahabatnya. Semoga mereka tidak kehilangan jejaknya.
Seperginya Jie dan Guan, Hendrik bersama anak buahnya muncul dengan para Gangster. Mereka berhenti untuk mengontrol pernafasan mereka yang sudah tersenggal-senggal.
Terlebih-lebih lelaki paruh baya yang merupakan ketua Gangster serta ayah dari Hendrik itu hampir limbung ke tanah kalo Hendrik tidak gesit menahan tubuh ayahandanya itu.
"Papa. Papa tidak apa-apa?" tanya Hendrik.
Ayahnya menggeleng. "Siapa mereka Hendrik?"
"Mereka adalah teman Hendrik di sekolah Papa. Hendrik tidak tahu kenapa kolor emas milik Papa ada pada mereka," jawab Hendrik sambil menggenggam tangan ayahnya itu.
"A, dialah yang mencuri kolor emas Papa. Dia anak Miliarder. Ayahnya pengusaha ternama dan pemilik saham sekolah Hendrik Papa. Dia memiliki seorang kakak laki-laki dan seorang sahabat," lanjut Hendrik menceritakan.
"Lalu kedua pasangan itu, siapa mereka?" tanya ayahnya lagi.
"Oh itu, Guan dan Jie. Aku tidak apa hubungan gadis itu dengan kolor emas Papa."
Ayah Hendrik tersenyum smirk. Ia kemudian memerintahkan anak buahnya untuk menangkap Jie dan Guan. Entah apa rencana Gangster itu? Kenapa mereka menangkap Guan dan Jie?
Di samping itu, A dan Aksel kehilangan jejak Gilang. Mereka berdua sibuk mencari keberadaan Gilang yang selalu meresahkan itu. A bingung, bagaimana Gilang bisa terpisah dari mereka? Mencari kakaknya itu sudah menghabiskan banyak waktu dengan sia-sia.
A sangat khawatir karena mereka belum juga menemukan Gilang. Bagaimana jika Gangster itu menangkap kakaknya?
"Aksel, kau sudah menemukan Gilang?" tanya A saat melihat Aksel. Mereka tadi sempat berpencar untuk mencari Gilang.
"Tidak A. Aku tidak menemukan Gilang," jawab Aksel membuat A tambah khawatir. Jika benar dugaannya, bahwa kakaknya ditangkap oleh para Gangster itu. Maka, ia tak akan memberi ampun jika sampai mereka melukai Gilang.
Ting!
Sebuah notif pesan maksud di handphone A. Segera lelaki itu merogoh benda pipih tersebut dari saku celananya. Ia melihat pesan masuk di whatsappnya dan yang memberikan pesan itu adalah kakaknya.
'Gangster itu menangkap Guan dan Jie.'
Seketika mata A membulat sempurna diikuti oleh Aksel yang juga membaca pesan itu. Mereka saling bertatapan.
"Aksel, gue tahu gudang itu, gue pernah ke sana."
Mereka pun berlari menuju tempat gudang tersebut. A tahu persis dimana gudang itu karena ia pernah kesana. Waktu itu ia memcoba mencari tempat persembunyian Gangster itu hingga ia tak sengaja menemukan kolor emas di perjalanannya.
Setibanya A dan Aksel di gudang tersebut, Gilang tiba-tiba muncul dari balik semak-semak. Kedatangannya itu sempat membuat Aksel berteriak sehingga A terpaksa menutup mulut Aksel dengan tangannya. Kalau tidak maka habislah riwayat mereka karena ketahuan oleh para Gangster yang menjaga di sudut persudut gudang itu.
A mengumpati Gilang yang berpakaian aneh. Juga hampir saja membuat nyawa mereka jadi taruhannya.
"Sorry. Gue gak sengaja." Gilang menyengir kuda sambil melepaskan semak-semak yang menempel di tubuhnya itu.
"Dasar! Bikin jantung gue berhenti aja," celetuk Aksel.
"Iya tuh, ngapain pake semak-semak segala lagi," timpal A.
"Sorry-sorry deh. Gue pake ini karena ini penyamaran gue. Ayo kita masuk," ajak Gilang.
Mareka masuk, tapi di sela-sela itu Aksel bertanya pada Gilang, "Tahu gak? Kami itu hampir menangis gara-gara nyari kamu yang tiba-tiba hilang. Dasar!" Gilang hanya bisa tersenyum kikuk mendengar kekesalan Aksel. Jujur, tingkahnya ini sangat ceroboh.
Gilang bisa saja ketahuan oleh para Gangster itu. Namun, Gilang juga tidak bisa diam saat netranya tak sengaja melihat Guan dan Jie yang berteriak meminta tolong. Ia tidak mungkin pergi begitu saja dan menyangkal seolah tak melihat apa-apa.
"Kakak seperti ninja aja, bisa menghilang begitu saja." A tersenyum simpul.
"Yah, tadi gue udah bilang berhenti berlari, gue kebelet pipis, tapi kalian gak mau dengar. Yaudah gue pipis aja dan kalian lari terbiri-biri," jelas Gilang.
Aksel dan A terkekeh. Jujur, mereka tak bisa menahan tawa saat melihat ekspresi Gilang yang sedang kesal. Sangat lucu!
Perlahan-lahan A, Gilang, dan Aksel masuk ke dalam gudang tersebut. Namun, kecerobohan Gilang lagi membuat mereka ketahuan dengan para penjaga itu.
A menepuk jidatnya. "Kakak!" Batinnya kesal. Aksel juga ikut-ikutin menjitak kepala Gilang.
"Ya'ampun, nasib gue gini amat ya?" Monolog Gilang kemudian menarik tangan Aksel untuk menghindari tempat pertarungan antara Gangster itu dengan A.
"Kok kita berdiri disini gak bantuin A?" tanya Aksel bingung.
"Anak itu jago bela diri. Lo jago bela diri?"
Aksel menyengir. "Hehe. Kagak."
"Yeh. Makanya diam aja kalo lo gak mau wajah jelekmu itu babak belur."
Bugh!
Bugh!
Bugh!
A menghajar dua Gangster itu dengan brutal tanpa memberi ampun.
"Gimana? Enak?" tanya A dengan angkuhnya kepada para Gangster yang sudah limbung ke tanah itu. Namun, masih bisa bangkit lagi.
Sekuat tenaga salah satu dari Gangster itu bangkit dengan ringisan yang terus keluar dari mulutnya. A mengedikkan bahu. "Ayo maju!" ucapnya berlagak sombong.
"Dasar bocah! Sombong banget lo," ketus Gangster itu. Ia mengajungkan tinjunya ke arah wajah A yang membuat A terus memghindar.
"Hadeh! Kebanyakan gaya lo!"
Bugh!
Satu bogeman A hantam ke wajah Gangster itu plus dengan sikukan di lehernya membuat Gangster tersebut langsung tak sadarkan diri.
Gilang dan Aksel menghampiri A setelah melihat kedua Gangster itu tergeletak tak berdaya. Setelahnya, mereka bertiga kembali masuk ke gudang lebih dalam. Di sana A melihat Jie dan Guan yang duduk dengan kedua kaki dan tangan yang terikat. Nampak sekali bahwa Jie dan Guan sudah dipukuli terbukti dengan bekas luka di kepala dan sekitar wajah mereka.
"Kakak sama Aksel di sini saja, biar aku yang memberi Gangster bodoh itu pelajaran."
"Tap...." Gilang terpaksa menghentikan ucapannya kala A sudah berlari menghadang banyak Gangster yang berjaga-jaga itu. Di sana juga ada Hendrik bersama ayahnya.
"Hais! Anak itu!" Ketus Gilang.
Sementara itu A sudah bersiap-siap menghajar para Gangster itu. A yang bermodalkan dengan tangan kosong menghadapi banyak Gangster yang memiliki senjata api.
"Lepaskan mereka!" teriak A.
"A, A! Tolong kami A!" Mata A beralih pada Jie yang berteriak minta tolong kepadanya.
"Gue berikan satu kesempatan, bebaskan mereka."
Bukannya mengikuti perintah A, Gangster-gangster itu malah tertawa terbahak-bahak membuat A mengerutkan dahi karena bingung. Sepikir A ini bukan lelucon untuk ditertawakan.
A tersenyum sinis, sembari mengangguk A mengangkat tangannya dengan kolor emas ia kibarkan ke atas. "Kalian mau ini bukan? Kalo begitu lepaskan mereka."
"Kamu punya nyali juga A?" Hendrik tertawa dengan sombongnya.
"Sudah tentu. Bukanmu sepertimu yang masih bersembunyi di kedua kaki ayahmu."
Sontak, emosi Hendrik memuncak kala A menghinanya. Ia kemudian menghampiri Jie dan Guan lalu menendang mereka hingga kursi itu terbalik diikuti dengan tubuh mereka.
"Jadi, lo gak sayang sama nyawa kedua temannu itu." Kursi Jie dan Guan kembali diangkat.
"Sialan!"
Cuih!
A meludah sejenak lalu mengambil sebuah balok lalu menghajar para Gangster yang berani menghadangnya.
Bugh!
Bugh!
Meski para Gangster itu sebagian ada yang KO, tetapi mereka tetap bangkit untuk melawan A yang juga terkena sedikit pukulan
Jleb!
"Akh!" A berteriak nyaring saat sebuah pisau tertusuk di lengannya. Gilang dan Aksel yang tak tahan melihat kesakitan yang dirasakan oleh A, mereka pun keluar dan langsung menghajar para Gangster itu tanpa ampun.
Gilang menepi dari pertarungan demi mengecak keadaan A.
"Kamu tidak apa-apa?"
A menggeleng. "Aku akan menyelamatkan mereka," ucap A.
"Ya baiklah. Biarkan kami mengurus ini. Jadi, berhati-hatilah."
A berlari menyelamatkan Jie dan Guan. Ia masih bisa bertahan meski darah segar terus keluar dari lengannya.
Namun, belum juga ia menyelamatkan Jie dan Guan, A dihadapkan oleh Hendrik dan ayahnya.
"Hufftt." A menghembuskan nafasnya, merenggangkan segala ototnya yang terasa kaku.
Dengan lihai dan gesit A terus menghajar ayah dan anak yang tidak kapok dengan bogeman yang di berikan A.
Hendrik mengedipkan matanya kepada salah seorang anak buahnya yang sibuk bertarung dengan Aksel dan Gilang. Anak buah itu mengeluarkan sebuah pisau lalu menusuk bagian perut Aksel.
Kejadian itu membuat A langsung hilang fokus saat melihat darah segar terus keluar dari perut Aksel.
Bugh!
Hendrik tersenyum kemenangan kala A terjerembab ke tanah. Tanpa ampun, Hendrik bersama ayahnya terus memukul dan menendang A hingga lelaki itu tak berdaya. Darah segar keluar dari mulut A.
Hendrik mencekram dagu Guan lalu berkata, "Kesombonganmu membawa malapetaka bagi dirimu sendiri."
Kepala A terasa sakit sekali, seluruh tulang-tulangnya seolah mati rasa. A menatap Gilang yang menangis karena Aksel yang tidak sadarkan diri. Kembali netra lelaki itu menatap Jie dan Guan yang juga tidak sadarkan diri.
Sejenak A memejamkan matanya mengingat Aksel yang tertusuk serta Jie dan Guan yang tidak sadarkan diri. Hatinya sangat hancur melihat teman-temannya itu terluka. Tidak! Ia tidak boleh lemah seperti ini. Ia harus bangkit!
"Akan ku bunuh kalian!" teriak A lalu menggenggam tangan Hendrik lalu menekuk hingga bunyi seperti tulang patah terdengar. Lantas Hendrik berteriak kesakitan.
A bangkit dengan tertatih menuju tasnya yang tergeletak di sembarang arah. Ia kemudian membuka tasnya lalu tersenyum saat melihat sebuah pistol berada di dalam tasnya.
A tersenyum bagai iblis dengan sorotan matanya yang begitu tajam lalu mencium pistol itu dengan sangat tulus dan begitu menyeramkan. Pistol kesayangannya kini beraksi setelah lamanya tidak ia gunakan.
Gilang yang melihat A yang berubah bak iblis menelan salivanya dengan susah payah.
"Kakak bawa Aksel ke rumah sakit. Sekarang!" teriak A menatap kakaknya. Buru-buru Gilang langsung mengangkat tubuh Aksel dan membawa lelaki itu ke rumah sakit sesuai yang diperintahkan oleh A.
Kini tinggallah A bersama dengan para Gangster yang masih bisa berdiri. Hendrik yang merasakan tulang tangannya patah bersembunyi di balik punggung ayahnya.
Dor!
Dor!
Dor!
A menembak Gangster itu satu persatu hingga semua meninggal di tempat. Hendrik dan ayahnya tinggal berdua menghadapi A.