"Kau bisa memasak air?" tanya Adrian seolah terkejut.
Alisha mendelik. Menatap tajam Adrian yang kini tengah menahan tawanya.
"Kau pikir, memasak air saja aku tidak bisa?"
Alisha merasa kesal. Adrian ternyata sama seperti Alvian, suka menggodanya.
Alisha membuka-buka laci dan lemari kitchen set. Adrian menatapnya tidak berniat berkata apa pun.
"Kau tidak punya kopi, Ian?" Alisha akhirnya menyerah, setelah membuka laci dan lemari terakhir. Tidak menemukan kopi apa pun.
"Aku gak ngopi. Jadi aku gak nyetok kopi. Maaf." Adrian mulai plating.
Menaruh nasi goreng buatannya di dua piring berbeda. Menambahkan telur mata sapi di atasnya dan taburan bawang goreng. Sungguh aromanya begitu menggoda.
Seketika perut Alisha terasa lapar. Baiklah, kita lupakan sejenak kopi di pagi hari. Alisha mematikan kompor dan memilih untuk duduk di meja makan, menunggu nasi goreng buatan Adrian.
Adrian tersenyum. Dengan masih mengenakan apron memasak, Adrian membawa dua piring nasi goreng spesialnya ke meja makan. Dan meletakkannya satu di hadapan Alisha, satu lagi di meja seberangnya. Adrian duduk tepat di hadapan Alisha. Menunggu.
Alisha mengambil sendok dan garpunya, mengambil satu sendok. Dan mencicipinya. Enak!
"Bagaimana?" tanya Adrian, duduk bertopang dagu, menunggu komentar Alisha tentang masakannya.
"Oke." Alisha mengambil sendok ke dua. Terlalu gengsi untuk memuji masakan suaminya.
Tho, hanya sepiring nasi goreng, yang spesial karena ada telur mata sapi di atasnya. Yang matangnya sempurna, Alisha suka telur mata sapi yang matang di luar, namun bagian dalamnya masih setengah matang. Ibunya dahulu selalu membuatkan telur mata sapi persis seperti buatan Adrian.
"Hanya oke? Bagaimana rasanya?" tanya Adrian menuntut. Sebagai koki di rumahnya sendiri, seharusnya Adrian patut mendapat pujian, bukan hanya sekadar komentar 'oke'.
"Baiklah. Nasi goreng buatanmu, enak. Aku suka telur mata sapinya." Alisha akhirnya memuji Adrian setelah suapan yang ke sekian.
"Kau tidak ikut makan?" tanya Alisha, karena nasi goreng di piring Adrian masih utuh, tidak tersentuh.
"Aku sampai lupa makan, karena ada wanita cantik di ruang makanku." Ucapan Adrian yang terdengar seperti gombalan, meski benar–Alisha memang wanita yang cantik, membuat Alisha memutar bola matanya.
Adrian pun akhirnya memakan bagiannya. Selesai makan, Adrian membereskan peralatan bekas makannya dan memasukkannya ke dalam mesin pencuci piring.
"Apa kegiatanmu di pagi hari?" tanya Adrian setelah menggantung apronnya.
"Aku? Biasanya lari puter komplek. Apa di sini bisa?" jawab Alisha. Perutnya masih terlalu penuh.
Biasanya Alisha makan berat pukul sembilan pagi. Jam enam pagi hanya diisi dengan segelas kopi dan roti atau kue. Setelah lari pagi, barulah Alisha sarapan pagi. Sepertinya jadwalnya hari ini sedikit kacau. Entah kerena perutnya yang lapar, atau karena hal lain.
Tidur nyenyak seperti semalam pun jarang Alisha dapati dalam jadwalnya. Selalu padat dengan berlatih, menulis, dan melakukan pengintaian. Itu dahulu, sebelum Alisha masuk ke dalam tim Hilman dan melakukan misi penyamarannya yang pertama.
Entah Alisha akan lolos atau tidak. Tergetnya adalah suaminya sendiri. Yang Alisha sama sekali belum mendapat petunjuk apa pun, kecuali beberapa informasi kecil dari Mia.
Dan, hei, ke mana rekan-rekannya? Sejak Alisha selesai mandi dan kembali mengenakan antingnya, Alisha belum mendengar suara apa pun dari sana.
Alisha memutuskan berganti pakaian dengan pakaian training, ia harus menjauh sebentar dari Adrian untuk mendapat petunjuk dari rekan-rekannya.
"Kau mau ke mana?" tanya Adrian saat melihat Alisha keluar dari kamarnya mengenakan pakaian training merah muda. Rambut dikuncir di belakang.
"Lari pagi,"–Alisha memperhatikan jam tangannya–"Masih ada waktu satu jam."
"Aku ikut." Adrian segera masuk ke kamarnya dan kembali dengan mengenakan traning.
Oh, tidak. Gagal sudah rencana Alisha pagi ini. Tapi, tidak ada yang bisa Alisha lakukan kecuali membiarkan Adrian ikut bersamanya lari pagi.
"Kau tidak bekerja?" tanya Alisha basa-basi saat mereka berada di dalam lift menuju basemant.
"Jam kerjaku dimulai pukul delapan," jawab Adrian.
"Jadi kau tidak libur?" tanya Alisha kembali.
"Tidak."
Alisha menghela napas lega. Saat Adrian bekerja, Alisha bisa mulai menyelidiki apartemennya. Ah, ternyata semudah ini, dan waktunya pasti sangat panjang. Berapa lama biasanya programmer bekerja? Hingga pukul lima atau enam sore?
Mereka tiba di basemant. Keluar dari basemant dan memulai pemanasan sebelum lari pagi. Tujuan Alisha menjauh sejenak dari Adrian. Akan tetapi hal itu cukup sulit. Suaminya ini selalu berlari tepat di sampingnya. Seperti mengawasinya.
Apa Adrian berpikir, Alisha akan kabur dari Bandung saat lari pagi? Tanpa pikir panjang, Alisha mengatur napasnya dan dengan segera mengambil langkah seribu. Berlari sekencang yang ia bisa. Melesat meninggalkan Adrian.
Berhasil! Alisha berhasil meninggalkan Adrian jauh di belakangnya. Di depan, Alisha berbelok ke arah taman terbuka. Tampak beberapa orang tengah berolah raga juga di sana. Sendirian, berpasangan, atau berkelompok.
Alisha menekan alat di antingnya. "Mia?" Jeda beberapa saat, dan hal itu mulai membuat Alisha kesal. Ada apa dengan timnya? Mengapa tiba-tiba lambat merespon.
["Ya, Al?"] jawab Mia.
"Apa kabar kandunganmu?" Mia terkekeh mendengar pertanyaan Alisha yang kentara sekali hanya berbasa-basi.
["Kandunganku baik. Anakku baik. Bagaimana malam pertamamu di Bandung? Suaramu terengah-engah."] Alisha menghela napas. Membuat Mia penasaran, dan bertanya apa yang terjadi di apartemen Adrian.
"Gak ada yang spesial. Gue sepertinya dibuat pingsan semalaman. Gara-gara obat anti mabuk sialan itu!" Alisha menendang udara kosong, untuk menunjukkan betapa kesalnya Alisha pagi itu.
"Tunggu sebentar."–Alisha menyadari sesuatu–"Lo gak sedang menuduh gue melakukan sesuatu di apartemen Adrian, bukan?"
Mia kembali terkekeh. ["Dasar amatir!"] Mia mulai menggoda Alisha.
"Hei, Mia! Denger, ya, gue lagi lari pagi. Dan, ya, Adrian ikut sama gue tadi. Tapi gue tinggalin di belakang." Alisha tertawa setelah mengucapkan kalimat terakhirnya.
["Lo apa, Al?"] Mia tidak percaya, Alisha meninggalkan Adrian. Pastilah Alisha menggunakan kekuatan supernya lagi.
"Maaf. Kalau gak gitu, gue mana bisa hubungin elo, kan, Mia. Lagian, dari tadi gak ada suara di sana. Kasih petunjuk apa, kek. Kan, gue jadi keder sendiri." Alisha tidak ingin dipersalahkan dalam hal ini. Salah 'mereka' sendiri, terlalu sunyi.
"So, apa Hilman jaga di sana?" tanya Alisha penasaran. Supervisornya, cintanya, dan sialnya, adik dari suaminya.
["Ngapain nanyain pak Hilman?"]
"Ya, kali aja ...."
["Beliau sibuk."] Mia memotong ucapan Alisha.
"Cukup basa-basinya. Tugas gue hari ini apa?" tanya Alisha kembali ke topik utama tujuannya ke Bandung, dan memasuki pernikahan perjodohan ini.
["Cukup awasi Adrian aja. Perhatikan kebiasaannya dalam sepekan ini. Bapak Hilman belum kasih instruksi lain."]
Alisha mendesah. Adrian dari kejauhan tampaknya berhasil menyusulnya hingga ke taman terbuka. Wajahnya tampak tidak baik-baik saja.
"Mia, gue off. Ian udah berhasil nyusul gue."