"TEETT TEETT TEET" bunyi alarm yang memekakan telinga membuatku terbangun. Cahaya pagi menyambut bagaikan sang pangera menyambut putrinya. Lembut sekali menyentuh kulitku, menerobos jendela kamar dengan pancaran cahaya kuning yang seakan memaksaku untuk segera bangun. Ditambah lagi dengan dentiingan alarm kecil yang terletak di meja sebelah kasurku. Aku membuka mata, walau rasanya berat sekali, seakan seperti ada yang duduk diatas kelopok mataku. Tanganku meraih alram, mematikannya. Sejenak aku duduk di atas kasur, mengucek-ngucek mata, mengingat-ngingat hari apa, jam berapa, setelah ini akan apa. Ya, begitu memang. Terkadang suka lupa diri jika baru bangun tidur. Melirik jam dinding, jam delapan. Aku bergeser ke tepi kasur, duduk, lalu meraih telpon genggam.
Sora: Ren aku tunggu jam 2 siang ya^^
Pesan dari Sora terpampang di layar telpon. Jati diriku seakan kembali lagi saat membaca pesan itu. Tergurat senyuman tipis di wajahku. Masih ada waktu untuk menyiapkan bahan belajar. Sora bilang ia kurang paham pelaran matekamika, maka hari ini akan ku bahas bersamanya.
Seperti biasa aku menjalanakan rutinitas pagi. Dan menunggu hingga jam dua siang nanti
>>>
Sungguh betapa menyakitkannya kenyataan. Masa lalu ini bagaikan sekalung emas yang dikamas rapih dengan kotak berwarna merah, lantas ditaruh di lemari paling atas. Sudah terlupakan, tak tersentuh lagi oleh tuannya. Namun seketika tersenggol, terkuak kembali, dan terjatuh. Di punggutlah kotak merah itu, dibukanya. Lantas, kau tau apa rasanya? Bukan, bukan kesenangan yang amat mendalam saat tuannya berhasil menemukan kalung itu kembali. Tetapi rasa yang sungguh amat berbeda. Rasanya hampa, pait. Kalung yang tadinya berkilau sekarang menjadi usang, kalung yang tadinya berwarna emas sekarang tinggal karat, kalung yang berharga nilainya, kini tak ada apa-apanya. Sungguh menyakitkan Sora, sama seperti masa lalu ini, sama seperti kita.
Aku menatap taman dengan mata nanar. Sekarang aku sudah lulus SMA, tetapi tak ada dirimu yang dulu pernah berjanji akan terus bersamaku. Ingatkah engkau Sora? Dulu kau pernah berjanji akan pergi menimba ilmu bersama di negeri seberang sana, ingatkah engkau? Sekarang, apa yang telah kau perbuat. Beginikah seharusnya akhir kisah ini? Kisah yang dibungkus rapih oleh kotak merah sekarang harus berakhir usang dan tak ternilai. Tidak Sora, aku tidak bisa membiarkannya berakhir begini. Ada atau tidak adanya dirimu di sampingku, aku akan terus berjalan, tersenyum, dan mengikhlaskan. Maka dari itu, biarlah sekali lagi aku menceritakan dengan jelas janji kita pada sore itu. Janji ditemani dengan seutas tali yang menjadi saksi. Tali yang digunakan untuk membuat ayunan harapan, namun sayangnya hanya dibuat menggunakan ban bekas.
>>>
Sore itu ia benar-benar datang. Sora datang dengan rambut panjang hitamnya yang tergerai sedikit bergelombang. Mengenakan gaun kuning pendek diatas lutut, dengan memakai topi berwarna coklat ala musim panas, serta membawa keranjang yang dirajut oleh rotan. Bisa ku tebak didalamnya terdapat makanan ringan, seperti buah-buahan, atau bahkan minuman. Dan tak lupa pena, pensil, dan buku matematika yang akan kami bahas bersama. Aku sudah mennunggunya sejak tadi, sampai di tempat ini sekitar jam dua kurang. Sora menyapaku saat baru menginjakan kaki di reremputan hijau. Ia diantar oleh ibunya dengan menggunakan pajero putih.
"Ren! Hallo" Sora melabaikan tangan dari kejauhan sana, aku sudah menunggunya diatas bukit kecil ini
"Ah, hai Sora" Aku ikut melambaikan tangan kearahnya, sambil berjalan mendekat.
"Ren sudah lama menunggu?"
"Tidak juga" Aku tersenyum kearahnya
Kami berjalan berdampingan menuju bukit kecil itu. Di gelarnya tikar merah dekat pohon besar yang sejak tadi bersemayam di dalam keranjang rotan milik Sora. Kami duduk diatasnya, mulai membuaka buku matematika. Berbicara santai sebelum masuk ke inti pembicaraan.
Detik merangkai menit, menit merangkai jam. Tak terasa satu jam sudah kami berbincang mengenai mata pelajaran matematika, mata pelajaran yang sangat di benci oleh kebanyakan anak sekolah seumuranku. Kami memilih untuk beristirahat sejenak, menikmati angin semilir sore. Sora tak sabaran mengajakku bermain dengan ikan-ikan kecil yang ada di dalam air mancur. Aku tersenyum setiap kali melihatnya tersenyum, kadangkala aku bertanya-tanya. Apakah tak ada kesedihan yang pernah menimpa Sora. Dirinya tampak seperti manusia paling bahagia di dunia ini. Ah tidak, bukan manusia melainkan putri. Putri senja, senyumannya selalu berhasil membuatku tenggelam dalam kehangatan. Kehangatan serupa seperti yang diberikan oleh sang senja setiap kali ku melihatnya.
Sore itu tepat sekali saat senja mulai tenggelam perlahan, menyisakan setengah lingkaran besar yang terukir di langit. Aku dan Sora membuat ayunan itu, dari ban bekas yang kami pungut dari taman bermain tua. Kami gantungnya ban itu di salah satu ranting pohon yang kokoh dengan seutas tali panjang yang kami dapatkan di taman tua itu juga. Aku masih mengingat dengan jelas, betapa lepasnya tawa kami sore itu. Sora yang menaikan ban itu terlebih dahulu, ia tertawa gembira. Aku mengayun ban dengan perlahan, namun berkali-kali Sora meminta untuk menambah kecepatan. Berhenti sejenak, menyisakan tawa kecil Sora, dan senyum di wajahku yang sembari tadi tak kunjung lepas. Sora mulai membuka suara
"Ren"
"ya?"
"Janji ya, kita harus sama-sama terus. Pokonya nggak boleh pisah apapun yang terjadi. Ya?" denga keadaan masih ada di dalam ayunan itu, Sora mengulurkan tangannya. Dan menyebutkan janji itu.
Aku terdiam sejenak
"Janji ya?" Sora mengulang kalimatnya
"Iya janji" Aku tersenyum kearah Sora membalas uluran tangannya. Mengaitkan jari kelingkingku dengan miliknya. Kami tertawa, tawa yang nantinya akan menjadi lara. Namun sayangnya kami masih terlalu polos untuk menyadarinya.
>>>
Jadilah janji itu dibuat, di ikrarkan seiring dengan tenggelamnya senja. Tepat pada saat cahayanya menyinari jemari kami yang saling bersentuhan. Sungguh penampakan yang menabjukan, betapa bahagianya momen itu. Saat kita tak mengerti arti kata "cinta" tak kenal akan kata "perpisahan" yang kami tau dan rasakan hanyalah "kebahagiaan" dan "keabadian"