Saat ini, jika dibilang baik-baik saja. Aku bohong. Tidak, saat ini aku sama sekali tidak baik-baik saja. Dua jam sudah aku menghabiskan waktu di taman itu. Semua kenangan tentangmu bercelaru di dalam kepalaku. Aku memutuskan untuk pulang, merehatkan kepala di atas bantal yang diselimuti oleh lembutnya seprai sutra. Tidak, sudah tidak bermotifkan super hero seperti dulu lagi. Aku memutuskan untuk menggantinya, menjadi warna biru gelap. Aku menyalakan mesin mobil, masuk kedalamnya, lalu menginjak pedal gas.
Kau tau, aku merasa tak pantas bicara prihal mengikhlaskan. Untuk apa aku membicarakan hal yang begitu suci, jika sejatinya diri ini belum sanggup untuk menerapkannya. Sudah teralu banyak kata "selamnya" di masa lalu kita yang sekarang akhirnya menjadi "sia-sia." Aku takut dengan kata itu, Sora. Selamanya selalu menjanjikan, namun sulit tuk di penuhi. Apakah kata "selamanya" hanyalah jelmaan dari kata "baik-baik saja?" Yang ketika kau mendengarnya seakan seluruh dunia akan menjadi tempat yang lebih baik. Apakah kata "selamnya" hanya ibarat obat pereda nyeri yang jika di gunakan akan hilang sakitnya namun tak lama rasa itu timbul lagi. Kalau memang benar adanya begitu, maka baiklah. Selamanya aku akan baik-baik saja. Iya benar, aku baik-baik saja Sora.
>>>
Mobilku teparkir di garasi rumah. Aku masih tinggal di rumah yang sama, sejak dulu hingga kini tak banyak yang berubah. Suasananya pun tetap sama, hanya saja kondisi hatiku yang tak kunjung membaik. Padahal kejadian itu sudah jauh tertinggal lima tahun di belakang sana.
"Aku pulang"
"Selamat datang Ren" Seperti biasa mama selalu menyambutku. Aku tersenyum
"Tidak makan dulu nak?" Ibu bertanya, aku hanya menggeleng dan melangkahkan kaki menuju anak tangga. Sesekali aku merogoh tas selempang, mencari kunci kamar. Didapatkannya kunci itu, lalu aku membuka pintu kamar, dan menghempas tas ke sembarang tempat. Duduk di pinggir kasur sejenak, menghembuskan napas lalu melemparkan badan keatas kasur. berusaha memejamkan mata.
Aku seperti tak tau arah dan tujuan. Kejadian itu membuat hidupku berantakan. Bahkan aku tak tau harus melakukan apa setelah lulus SMA ini. Mama menawarkanku untuk kuliah di tempat yang dikuliahi abang dulu. Ya, benar Amsterdam. Aku belum meng-iyakannya, aku masih harus memikirkan tentang hal itu. Entahlah apa yang lebih menyakitkan. Lari dari semua masa lalu yang kali ini mencengkram kuat kakiku. Atau tetap di sini, menunggu luka hati sembuh dengan sendirinya. Karena sejatinya obat terbaik untuk menyembuhkan luka ialah waktu. Walau aku tau, waktu yang dibutuhkan untuk melupakanmu tak secepat rintik hujan jatuh membasahi seluruh permukaan bumi. Namun aku belum bisa memutuskannya Sora. Hari ini, esok, atau lusa aku masih belum bisa menata kehidupanku. Kehilangan sosok dirimu memberikan berpengaruh besar kepada diri ini.
Hah, aku lelah. Lelah untuk berusaha menata pikiran yang bercelaru. Padahal sudah bertahun-tahun aku berusaha berdamai dengan masa lalu itu, sudah ku simpan baik-baik serpihan-serpihan pilu itu di bagian hatiku yang tak akan pernah ku kuak lagi. Namun, entah apa yang terlintas dalam pikiranku. Tadi, baru saja aku memutuskan untuk mengingatmu lagi. Berlagak sok kuat, berlagak tak akan rapuh seperti waktu itu lagi. Tapi aku salah, bahkan saat ini aku lebih rapuh dari sebelumnya. Maafkan aku Sora, yang masih belum bisa mengikhlaskanmu. Kalimatmu selalu terngiang-ngiang di kepalaku. Kalimat yang tanpa kau sadari mengubah kehidupanku.
Rasanya kepergianmu tak nyata bagiku. Semua itu terjadi begitu cepat. Tidak ada lagi kabar tentangmu dan keluargamu. Aku terus berusaha untuk menghubungimu, tapi ya...ku tau itu mustahil. Apa sebenarnya yang kuharapkan saat menghubungimu. Jujur tidak ada, aku tidak mengharapkan kau mengangkat telponku di sebarang sana karena ku tau, itu mustahil adanya. Namun, apapun yang terjadi, aku akan terus terus berusaha mengihlaskanmu. Hari ini hingga esok aku akan mencoba mengingat namamu dengan keadaan yang lebih baik. Hari ini hingga esok aku bisa menelan semua masa lalu itu tanpa harus memuntahkannya lagi. Karena ku tau hari ini hingga esok, aku harus terus berjalan. Apapun yang terjadi di sekitarku maupun kepalaku, aku akan terus berjalan, dan belajar untuk mengikhlaskan.
Sejenak aku Melirik jam dinding. Pukul lima sore, mungkin tidak masalah jika terlelap sejenak. Aku mulai membetulkan posisi. Mengambil posisi ternyaman, yang sebenarnya tak begitu nyaman. Setidaknya posisi itu nyaman untuk menutupi sesak yang dirasakan. Terlelap, aku benar-benar terlelap sore ini. Memaksakan mata terpejam berharap ingatan itu lenyap. Tapi ternyata aku salah. Ingatan itu tidak lenyap sama sekali, bahkan ingatan itu terus berputar-putar dalam tidurku.