Chereads / the weakest throne / Chapter 2 - Chapter 1 episode 1 "Child"

Chapter 2 - Chapter 1 episode 1 "Child"

Gerbang istana terbuka lebar menyambut kepulangan pangeran kedua mereka. Kian memperlambat laju kudanya dan berhenti di tengah-tengah taman kerajaan. Seorang pelayan laki-laki yang melihat kedatangan pangeran langsung menghampirinya. Dia adalah Rein Frederin. Salah satu dari dua pelayan pribadi pangeran kedua. Rambut merahnya yang panjang, badannya yang tinggi dan kekar merupakan salah satu ciri mencolok dari pelayan pangeran. Dia juga merupakan salah satu dari sedikit orang yang peduli terhadap Kian. Kian memperhatikan sekelilingnya sejenak. Benar saja, terlihat ada beberapa pelayan yang berbisik-bisik sambil melirik-liriknya.

'Lihatkan, bahkan pelayan yang lain memalingkan wajah mereka saat melihatku. Tidak sopan! Haahhh....'

Rein sedikit terkejut saat mendengar desahan dari tuan mudanya. Sebenarnya ia khawatir akan nasibnya jika tuan muda yang ia layani berada dalam mood yang buruk. Sudah pasti kesalahan sedikit saja yang ia lakukan akan berakhir hukuman dari tuannya.

"Rein tolong kudanya, omong-omong dimana Airi?"

Airiana merupakan salah satu dari pelayan pribadi Kian sekaligus partner Rein dalam bekerja.

"Seperrinya ia masih mengurus beberapa dokumen di kantormu, tuan muda."

Tanpa berkata apa-apa Kian pergi meninggalkan Rein dan kudanya.

'Cih, bahkan saat aku lewat mereka tidak memberikan salam kepada pangeran mereka sendiri. Sebegitu tidak pedulinya kah mereka padaku? Untung saja penjaga gerbang masih mau membukakan gerbang untukku.'

"Kau tahu saat itu... pst! lihat ada pangeran!"

"Hah?! Dimana? Pangeran Wiraem?"

"Sayang sekali itu adalah Si Kian. Hahaha!"

'Dasar anak bangsawan tidak sopan!'

"Hei lihat siapa yang dia gendong? Anak pungut? Anak pungut mungut anak pungut juga? Hahaha!"

'Tenang Kian, kau harus sabar sebelum akhirnya kau membuat mereka menderita.'

Kian berusaha sekuat tenaga untuk mengabaikan ocehan-ocehan anak-anak bangsawan yang melewatinya.

'Sebenarnya ada apa ini? Memangnya ada acara spesial? Kok tiba-tiba anak bangsawan jadi pada ngumpul disini?'

"Wah, hebat! Memang pesta kerajaan Shryea otu yang terbaik."

"Yap, hei kau lihat tadi putri Alin ternyata lucu juga ya!"

Terlihat dua orang putri bangsawan sedang mengobrol sambil tertawa tanpa sekalipun menoleh ke arah Kian.

'Pesta? Pesta yang diadakan dengan mengundang para bangsawan tapi tidak dengan saudaranya sendiri? Yah, aku tidak peduli juga, kalaupun aku dapat undangan juga aku tetap tidak akan datang.'

Kian semakin mempercepat langkahnya, tidak mau berpapasan dengan anak-anak bangsawan lainnya karena menurutnya itu akan merepotkan.

Brak!

"Tuan muda, ada apa? Kau tidak perlu membanting pintu seperti itu."

Berbanding terbalik dengan Rein yang penurut dan sering tegang saat melihat tuannya marah, Airi lebih berterus terang dan tidak segan-segan untuk menasehati Kian.

"Para bangsawan menyebalkan! Rasakan saja nanti!"

"Tuan muda, sebaiknya kau tidak usah marah-marah begitu. Kau membawa apa?"

"Ini bukan 'apa' tapi 'siapa'. Dia anak kecil yang kubawa dari hutan."

"... Anak pungut?"

"Aaghhh! Jangan panggil dia begitu, kau membuatku kesal saja. Intinya tolong urus dia!"

Segera setelah berkata begitu, Airi langsung menggendong badan kecil anak itu sambil sesekali menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut.

"Kau tahu kan dia itu berusia sekitar 12 tahun dan bukan bayi?"

"Memangnya kenapa? Aku bahkan masih menggendong dan menepuk-nepuk punggung tuan muda saat anda menangis sehabis kehilangan ibumu. Saat itu kau lebih tua dari anak ini loh. "

"..."

Airi langsung keluar dari ruangan itu setelah tidak mendengar adanya jawaban dari Kian.

***

Jadi, setelah aku mendapatkan anak itu aku harus bagaimana?

Kalau tidak salah aku pernah membaca tentang kekuatan kuno di suatu buku di perpustakaan. Haruskah sekarang aku kesana? Aku malas berpapasan dengan para bangsawan itu. Cih.

Tok... tok... tok...

Pintu ruanganku terbuka dan menampakkan sosok yang paling tidak ingin aku lihat hari ini.

Kakak perempuanku Shryea. Rambut hitamnya yang panjang dibiarkan tergerai dan gaun pestanya yang mewah dengan perhiasan yang mengkilap. Mataku sakit melihatnya.

Mau apa dia kesini?

"Hei adikku~"

"Aku bukan adikmu."

"Tetap saja, walaupun kau 'anak haram' ayah tapi kan kau tetap anak ayah. Jadi aku tetap kakakmu."

Apa perbuatanmu padaku bisa disebut sebagai seorang kakak?

"Pergilah."

"Tunggu sebentar, ini aku memberimu undangan pestaku. Kasihan kan kalau keluarga kerajaan sendiri malah tidak diundang."

"..."

"Oh iya, ayah juga ingin bertemu denganmu. Hah, kenapa harus aku sih yang menyampaikab pesan ini. Oh, aku lupa. Kan memang tidak ada yang peduli padamu. Berterima kasihlah pada kakakmu ini! Hahaha..."

"..."

Apa semua sikap orang-orang disini memang seperti ini? Pantas saja kerajaan kita mudah ditipu.

Aku masih ingat waktu itu ada seorang bangsawan yang memberitahu salah satu rahasia kerajaan kita kepada kerajaan sebelah.

Dulunya ada sebuah gua tersembunyi yany menyimpan banyak permata kekuatan. Permata kekuatan adalah permata yang bisa memberi sedikit kekuatan tambahan pada penggunanya. Karena sifatnya yang hanya sementara dan kekuatan yang diberikan hanya sedikit, pada akhirnya permata itu diberikan untuk para prajurit. Tapi sekarang, gua itu sudah menjadi milik kerajaan sebelah. Karena letaknya yang berada di tengah-tengah perbatasan, kerajaan sebelah mengklaim kalau gua itu milik mereka. Padahal secara teknis gua itu masih berada di wilayah kerajaan kami.

Dasar manusia mata duitan. Sepertinya bangsawan itu sekarang sudah dihukum atau memang sudah mati? Aku sudah tidak mendengar kabar tentangnya lagi.

"Sudah ya aku pergi dulu. Tidak penting juga aku disini. Kalau kau tidak datang ke pestaku juga tidak apa-apa toh aku tidak peduli padamu."

Shryea berkata dengan nada yang dingin kepadaku. Berbeda dengan ayah dan kakak laki-lakiku, Shryea dan ibu tiriku menunjukkan kebencian mereka terhadapku secara terang-terangan. Yah, masih mending sih mereka tidak peduli padaku jadi aku juga tidak usah repot mengurusi urusan mereka.

tok.. tok.. tok...

Siapa lagi ini?

Pintu terbuka dan menampakkan Airi yang menggandeng seorang anak kecil yang sudah terlihat rapi dengan baju kemeja,dasi, rompi dan celana selutut yang berwarna hitam tidak lupa kaus kaki hitam dengan tinggi 5cm di bawah lututnya.

"Oh, kau sudah datang. Perkenalkan namaku Kian, aku adalah pangeran kedua dari kerajaan ini sekaligus orang yang membawamu. Bagaimana kalau kita minum teh di taman sambil membicarakan banyak hal. Aku yakin ada banyak yang ingin kau tanyakan bukan?"

Aku membungkukkan badanku sedikit untuk menyamai tinggiku dengan Aku mengulurkan tanganku berniat untuk berjabat tangan dengannya tetapi anak ini malah menggenggam tanganku. Sepertinya dia pikir aku akan menggandengnya sampai taman. Yah, tidak masalah sih.

Airi membungkukkan badannya padaku sebelum pergi meninggalkan kami. Sepertinya dia akan menyiapkan jamuan kami jadi sebaiknya kita berjalan pelan-pelan saja kesana, sekalian memberikannya sedikit waktu.

"Jadi, siapa namamu anak kecil?"

"... tidak tahu."

"Hm? Dimana asalmu?"

"... hutan."

"Dimana kelahiranmu? Apa kau tidak mengingatnya?"

"Habis terbakar. Ayah dan ibu. Darah. Desa hangus. Kematian."

...

Sebenarnya aku tidak mau melanjutkan topik perbincangan ini tapi emosiku sedang naik sekarang, setidaknya aku harus mengetahui pelaku dari kejahatan ini.

"Apa kau tahu siapa pelakunya?"

"Kereta emas. Kuda coklat. Bendera mawar putih."

?!

Bendera mawar putih kan lambang kerajaan sebelah. Kerajaan Rosewana. Aku tahu mereka licik tapi aku tidak menyangka mereka akan melakukan hal seperti ini. Dasar serakah.

Jadi rumor itu benar ya?

Rumor yang mengatakan bahwa raja baru mereka, raja Yishekan merupakan putra mahkota yang mendapat tahtahnya setelah dia membunuh kakaknya. Sejak dia berkuasa, rumor itu menjadi diabaikan atau lebih tepatnya mereka dipaksa untuk tutup mulut. Aku beruntung bisa mendengar rumor itu sebelum mereka hangus. Dan sekarang kerajaanku malah bekerja sama dengan dia. Dasar bodoh.

Mereka saja tidak segan-segan melakukan korupsi secara terang-terangan. Cih.

"Kakak kenal? Mereka?"

"...Begitulah. Tenang saja, suatu hari akan kubalas dendammu pada mereka."

"Tidak perlu. Aku sudah tidak peduli."

"..."

Tetap saja aku akan melakukannya setelah atau sebelum aku menghancurkan kerajaan ini.