Sebuah keheningan tercipta selama beberapa puluh detik. Ingin Malik menjawab pertanyaan Justin. Tapi...
"Aku gak percaya takdir Lik. Aku percaya dengan fight for my love, fight for my happiness. Bukankah mereka bisa berpisah bila ternyata mereka menyadari kalau, bersama terlalu menyakitkan? Kalau memang takdir itu ada, biar takdir berpihak sama aku Lik, suatu hari nanti, kami pasti akan bersama lagi. Dan kali ini... untuk selamanya. Aku akan memperjuangkannya!", tutur Justin sambil melihat Malik dengan tajam.
Malik melirik HP miliknya yang bergetar. Ia menyambarnya dan melihat notifikasi yang baru saja masuk. Ternyata itu adalah pesan dari Bastian.
"Lik, Adelia disitu kan? Gue titip ya Lik. Pliss jagain dia. Kita tadi ada salah paham dikit, ceritanya panjang. Gue titip ya. Pliss kirimin alamat elo, nanti malam gue jemput dia ama Lisa", begitu isi pesan Malik. Cowok itu juga baru menyadari bahwa Bastian telah berusaha menghubungi beberapa kali dan mengirimkan beberapa pesan. Ia menyadari bahwa sebenarnya Bastian sayang dan begitu peduli dengan Adelia. Sebesar apapun perjuangan Justin, pada satu ini tetaplah Adelia di bawah tanggung jawab Bastian. Ia telah berjanji untuk membuat Adelia bahagia.
"Gue sebagai sahabat Adelia, cuma bisa berharap dia bahagia Justin. Tapi apa dia sekarang bahagia atau enggak, gue terus terang gak tau. Tapi gue yakin, pernikahan ini udah yang terbaik buat dia dan Bastian. Kita harus menghargainya", pujuk Malik kepada Justin. Ia benar-benar terjepit diantara dua sahabatnya, Justin dan Bastian. Keduanya begitu sayang kepada Adelia dan berhasrat memilikinya. Tapi semua tahu, hanya satu orang yang bisa jadi pemenangnya.
"Gua gak habis pikir kenapa dia mau aja sih di jodohin kayak gitu? Ini tahun berapa coba? Coba lu deh, lu ikhlas apa di jodohin ama keluarga lu ama Olive. Do you think you can be happy later on? (Apa kamu pikir kamu akan bahagian nantinya?)", tanya Justin. Malik mengangkat pundaknya dengan lemah. Perjodohannya dengan Olivia sedikit berbeda. Mereka sudah menjalani masa pacaran bertahun-tahun. Malik justru tidak sabar untuk lulus dari Curtin dan cepat-cepat menikahi Olivia, dan sebaliknya.
"Gue yakin gue bakal bahagia, karena gue akan memperjuangkan kebahagian itu Justin. Percaya ama gue, lu juga bisa gitu. Just find someone else, find your own happiness (Cobalah cari orang lain, dan carilah kebahagiaan lu sendiri). Takdir memang berperan di awal, tapi tetap kita perlu effort agar pernikahan itu solid dan bikin happy. Kebahagiaan itu gak turun dari langit my man!", jawab Malik lagi.
Adelia mendengarkan mereka berdebat dengan air mata yang berlinang. Tidak, ia tidak ingin Justin move on. Entah kenapa jiwa egoisnya ingin Justin bertahan untuk dirinya, walau sekarang ia tidak sendiri lagi. Justin benar, ini tidak adil. Tidak bisakah seorang gadis bersama selamanya dengan cinta pertamanya? Bila benar awalnya Adelia merasa ia jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Justin karena kemiripannya dengan Bastian, tapi siapa yang tidak menginginkan paket lengkap dari seorang Justin? Ia memiliki hati yang lembut dan sikap yang hangat, sesuatu yang tidak dimiliki sang suami dingin. Setiap inchi tubuh Adelia merindukannya, bahkan sampai sekarang!
"Perkawinan macam apa yang pasangannya belum apa-apa udah selingkuh?", tanya Justin dingin. Malik dan Adelia sama-sama terkejut. Adelia mencengkeram bantal dan terpekik dalam hening. Malik berdiri dan menghadap Justin dengan serius.
"Maksud lo apa? Adelia selingkuh gitu?", tanya Malik serius. Justin menunduk, seakan fakta yang akan ia katakan sebenarnya bukanlah gayanya. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong celananya. Ia berpaling menghadap Malik dengan perlahan.
"Beberapa hari yang lalu, gue liat suaminya sedang pelukan dengan pacarnya. Siapa namanya? Maretha or whatever gitu deh di deket gedung bisnis. Seinget gue mereka udah nikah kan? Jadi itu apa?", tanya Justin sinis. Adelia mengerutkan bibirnya dan mengutuk betapa idiotnya Bastian. Kenapa tidak sekalian saja pasang di buletin asrama kalau mereka masih bersama?
Malik berusaha mengalihkan emosinya sambil melihat notifikasi baru di HP miliknya. Sebuah pesan lagi dari Bastian.
"Lik, gue kayaknya gak bisa nih jemput Adelia ama Lisa. Tiba-tiba gue harus kelarin kerja kelompok gue nih. Due lusa. Tolong anterin dia pulang ya Lik. Thanks banget", tulis Bastian. Entah kenapa ada lautan emosi yang berombak di hati Malik. Cowok itu bisa membaca kata-kata yang tidak tertulis di pesan itu: gue lagi sama Maretha jadi gak bisa ngurusin Adelia. Disaat seperti ini, Malik menjadi sangat subjektif. Bukankah yang terpenting adalah Adelia bahagia?
Malik kembali mendekat Justin dan kembali menepuk pundak miliknya.
"Gini aja deh man, aku akan memastikan Adel bahagia. Kalau gue liat cecunguk itu nyakitin Adelia dan bikin dia nangis, gue yang pertama akan nganterin Adelia ke pintu apartemen lo. Gimana?", tanya Malik sambil menatap Justin serius. Justin menatap bola mata Malik, seakan mencari sebuah kebohongan atau ketulusan di situ. Ia melihat keseriusan yang berapi-api dari tatapan Malik.
"Gue serius Justin, gue serius! Kalo lo memang yakin takdir lo bersama Adelia, gue akan bantu lo perjuangkan. All Adelia have to do is to complain and tell us that she's not happy with her husband, that she doesn't want to be with him again (Yang perlu Adelia lakukan adalah mengeluh dan mengatakan kepada kita kalau ia tidak bahagia dengan suaminya, dan ia tidak ingin bersamanya lagi). Saat itu tiba....", Malik melangkah mundur dan merentangkan kedua tangannya
"Saat itu tiba, guee....gueee yang akan mengantarkan Adelia untuk lo", tutur Malik sambil menempelkan telunjuknya ke dada Justin. Sahabatnya itu bergetar karena secercah harapan. Ya, sebuah harapan bahwa ia masih bisa memiliki Adelia lagi, dan setidaknya ia sudah memiliki seorang pendukung.
"Tapi sampai saat itu tiba, biarkan dia seperti ini dulu. Ok?", pinta Malik sambil merapatkan kedua tangannya memohon kepada Justin. Justin tersenyum mengembang. Ini sudah cukup membuatnya bahagia.
"Thanks banget Lik, I know I can count on you (aku tau aku bisa mengandalkan kamu)", jawabnya sambil menepuk pelan pundak Malik. Justin kembali berjalan selangkah menuju ranjang sehingga ia bisa menatap wajah Adelia lebih dekat. Ingin dirinya mencium pipi dan bibir yang semu kemerahan itu. Wangi tubuh Justin dapat tercium oleh hidung Adelia, dan itu membuat hati dan tubuhnya bergerak tertahan. Ia pun ingin meraih laki-laki yang pernah mengisi relung hatinya itu. Rasa rindu membuatnya teringat akan cinta yang selalu ia tekan, sesuatu yang tabu dimilikinya saat ini. Tapi apakah ini berarti sekarang ia bisa memiliki harapan yang lain?
"Gue balik dulu ya, kalo terlalu lama disini, gue kuatir gue gak bisa kemana-mana lagi", tutur Justin sambil terus menatap wajah tidur Adelia. Ia tersenyum bagai orang kasmaran. Malik membuka pintu kamar selebar-lebarnya.
"Pergilah man, sebelum Lisa keluar dari toilet. Ini pasti canggung banget buat dia", jelas Malik. Adelia dan Justin sama-sama terkejut dengan perkataan Malik. Ya, benar juga. Mereka lupa bila ada sosok Lisa di sekitar mereka. Apa yang akan Lisa katakan dan rasakan bila mereka memaksa untuk bersama lagi?
"Ok, gue balik ya", tutur Justin tanpa menunggu lebih lama lagi. Secepat kilat ia meninggalkan kamar Malik dan berjalan cepat keluar dari rumah itu. Entah kenapa begitu menyadari bahwa Lisa masih ada di dalam rumah itu, ia merasa tidak nyaman. Ia menyadari bahwa memiliki Adelia memang tidak mudah, dan ada kemungkinan banyak hati yang akan tersakiti. Orangtua Adelia, orangtua Bastian, Lisa...
Malik menatap Adelia yang masih tertidur dan berpaling menatap pesan dari Bastian. Ada sebuah rasa bersalah ketika memberikan lampu hijau kepada Justin, tapi ia juga tersulut emosi karena Maretha.
"Hidup lo rumit banget sih Del?", tutur Malik sambil menutup pintu kamarnya dengan perlahan, terlalu perlahan bahkan sampai pintu itu tidak benar-benar tertutup.
Ya, hidup gue memang rumit Lik. Mau di urai bagaimanapun, benangnya semakin kusut, gumam Adelia dalam hati. Ia kembali membuka matanya setelah menyadari pintu kamar kembali tertutup. Ia kembali mengambil HP miliknya, namun kali ini ia enggan melihat gosip artis lagi. Ia membuka sebuah folder yang sangat tersembunyi di HP miliknya: foto-foto dirinya bersama Justin di berbagai kesempatan. Air mata Adelia kembali mengalir ketika ia menyentuh pelan layar HP itu, seakan jari-jarinya dapat menyentuh wajah Justin. Sebuah foto yang menunjukkan mereka sedang duduk berdua di atas karpet pantai, dengan pemandangan laut biru Cottesloe. Adelia mengenakan sebuah topi super lebar, dengan gaun putih bertali satu. Justin memeluk pinggang dan mencium pipinya dengan posesif, sementara Adelia tersenyum karena geli. Ia hampir saja menjatuhkan HP miliknya saat itu saat mencoba mengabadikan momen itu. Ya, salah satu momen paling bahagia dalam hidupnya, bahkan lebih bahagia dari pada peristiwa pernikahannya sendiri!
"Justin mana?" tanya Lisa yang baru saja turun dari lantai atas. Penampilan gadis itu sudah berubah 180 derajat! Ia masih mengenakan baju yang sama, namun rambutnya sudah tertata dengan lebih rapi. Tidak hanya itu, setidaknya Lisa mengoleskan 3 lapis make-up untuk membuat wajahnya terlihat segar bugar. Malik menatap sedih kepada sahabatnya yang satu itu.
"Udah pergi, pratikumnya bentar lagi mau mulai. Dia udah telat katanya. Dia kirim salam...", jelas Malik pelan. Tampak gurat kecewa dari tatapan Lisa.
"Dia tau Adelia ada disini?", tanya Lisa berhati-hati. Malik terkesiap, namun ia menggeleng pelan. Ia sendiri tidak mengerti apa arti gelengannya kepada Lisa tersebut...
"Jangan bilang lu masih ada rasa ama Justin, Lis?", tanya Malik serius. Ia berjalan meninggalkan pintu kamarnya mendudukkan dirinya di sofa. Terlalu banyak yang harus di cerna hari ini. Malik menyisir-sisir rambutnya dengan kasar menggunakan jari-jari besarnya.
"Aku gak ada bilang aku masih suka sama bang Justin…", kilah Lisa.
"Tapi mata lo gak bisa bohong, girl. Lu keluar langsung kayak mau ngelenong gini, lu kira buat siapa?", tanya Malik. Lisa ikut mendudukan dirinya di sofa dekat Malik. Ia menggeleng lemah.
"Benci kali pun aku sama si Jusitn itu Lik. Tega kali dia bohongin aku. Tapi makin benci aku sama dia, gak sangkal aku, rindu jugak. Aneh kali ya memang?", tanya Lisa kepada Malik. Cowok itu kembali menggeleng. Kali ini, ada satu orang lagi yang harus ia fikirkan, Lisa. Andai saja semua orang bisa bahagia dalam waktu bersamaan tanpa mengorbankan kebahagiaan orang lain. Kalau ia mendukung Adelia dan Justin, berarti bukan hanya Bastian yang tersakiti, tapi Lisa juga!
"Sekarang Adelia udah kawin sama Bastian, entah kek mana, kok aku berharap ya aku bisa balek lagi sama Justin. Aku salah ya Lik? Aku egois ya? Menurut kau, mau gak si Justin sama aku?", tanya Lisa serius. Malik mengangkat pundaknya dengan lemah. Kali ini Lisa langsung berdiri dan mendudukkan dirinya persis di samping Malik. Ia menggoyang-goyangkan lengan tegap Malik.
"Malik, mau gak kau bantuin aku untuk balikan sama Justin. Plissss. Kau bilang lah yang bagus-bagus tentang aku sama abang itu. Plis Malik, entah kenapa nengok dia hari ini, kok aku jadi pengen sama dia lagi Lik…."bujuk Lisa yang membuat Malik terdiam seribu bahasa. Ia jadi berfikir, perempuan mana yang akan ia antarkan langsung ke depan pintu apartemen Justin?
Tidak hanya Malik, Adelia yang ternyata sedang berdiri di balik pintu kamar Malik pun terdiam seribu bahasa. Pintu kamar Malik yang tidak tertutup sempurna, mampu menyampaikan setiap perkataan Lisa kepada Malik. Sebuah harapan yang tadi sempat ia pupuk, kembali luruh. Sempat ia merasakan secercah kesempatan untuk bisa berbahagia lagi bersama cinta pertamanya, hilang bersama keinginan realistis dari Lisa. Ya, tidakkah Lisa juga berhak untuk merasa bahagia juga?
Adelia kembali mendudukan tubuhnya di ranjang milik Malik. Ia kembali merenungkan apa yang telah terjadi pada dirinya sejak ia bangun di tempat tidur vila Margaret River. Membuka mata untuk menemukan sang suami di sampingnya, merasakan begitu banyak kehangatan cowok itu melalui pelukan dan ciumannya. Dalam waktu tidak lama lagi, mereka akan tinggal bersama, benar-benar hanya berdua. Namun di saat yang sama, ia merasakan realita bahwa Bastian masih belum bisa melupakan Maretha, yang ia yakin merupakan cinta pertamanya juga.
Disaat yang sama ia menyadari bahwa cinta pertamanya sendiri, masih sangat mengharapkannya dan ingin memperjuangkannya. Untuk pertama kalinya dalam hidup Adelia, ada seorang cowok yang memperjuangkannya… Namun di saat yang sama, begitu banyak rintangan agar mereka bisa kembali bersama. Dan walaupun akhirnya mereka bisa bersama dengan mengenyahkan Bastian, mereka akan bahagia di atas penderitaan Lisa, sesuatu yang tidak diinginkan oleh Adelia. Bagaimanapun Lisa adalah sahabatnya, yang selalu ada dalam tiap suka duka selama di Perth.
Adelia kembali membuka HP miliknya, dan memeriksa beberapa pesan dari Bastian…
"Dimana Del?"
"Udah sampe rumah Malik?"
"Udah makan belum? Nanti malam aku jemput ya. Minta alamat Malik donk…"
"Del sorry nanti aku gak bisa jemput. Tugas belum beres. Nanti pulang ama Malik ya, jangan naik bus atau taksi"
Adelia menutup aplikasi pesan WA dan kembali membuka instagram miliknya. Kali ini ia ingin memeriksa sesuatu: Akun instagram Maretha. Seperti yang sudah ia duga, Bastian sedang bersamanya. Sebuah postingan yang menunjukkan meja makan asrama, dengan hidangan nasi soto dengan asap mengepul-ngepul. Foto itu tidak menunjukkan sebuah wajah pun, hanya hidangan dengan plating (penataan piring) ala-ala hotel. Sepasang tangan tampak sedang memegang peralatan makan, sebuah momen yang sengaja diabadikan Maretha. Dari meliriknya sekilas, Adelia yakin itu adalah tangan milik Bastian bila melihat dari jam tangan yang selalu digunakannya.
"Early dinner", begitu penjelasan foto tersebut. Hati Adelia menjadi hambar. Entah kenapa ia tidak merasakan emosi bergejolak, marah, kesal dari postingan itu. Ia hanya merasa hatinya hambar, karena sekali lagi ia memiliki kepercayaan: Tidak ada kebahagiaan yang berpihak pada dirinya, selamanya.