Jam Radio digital Adelia berbunyi tepat pukul 7 pagi, yang secara otomatis menghidupkan radio dengan saluran Mix 94.5 FM. Sebuah jingle yang sudah akrab di telinganya berbunyi, tanda sebuah segmen akan dimulai. Sang penyiar terdengar begitu antusias, seakan mencoba membangunkan seluruh kota dengan suaranya. Membeli jam ini merupakan salah satu pembelian terpintar Adelia. Alih-alih membeli jam weker konvensional yang berbunyi titttdit tidittt tiditt tidittt, dengan ini, Adelia bisa langsung semangat mendengarkan lagu-lagu hits.
Adelia membuka matanya dengan segar, setelah tidur nyenyak berkat 2 gelas wine. Ia bersyukur tidak mengalami pengar alkohol, mungkin berkat sushi yang ia makan sebelumnya. Beberapa bagian badannya masih sakit, terutama di tulang kering, paha yang terkena tendangan Hisyam, begitu juga dengan kepala akibat jambakan. Tapi hatinya benar-benar plong, karena ia (mungkin) sudah berhasil menyingkirkan cowok toxic itu. Apa kabar Hisyam? Sudahkah ia di deportasi?
Mungkin tidak sepenuhnya plong. Ia harus mencoba memperbaiki hubungannya dengan Lisa. Adelia sadar, sudah bukan saatnya bernaif ria menghadapi permasalahan ini. Ia harus mengatur strategi agar mereka dapat bersahabat lagi. Bukankah Adelia harus menjadi seorang public relations yang baik? Suatu hari nanti, ia akan berada di ujung perusahaan dalam menangani konflik dan membina hubungan yang retak. Bukankah ini mungkin sebuah kesempatan baik untuk belajar? Segera ia mengirimkan sebuah pesan singkat ke Malik.
Setelah berminggu-minggu, Adelia tiba-tiba ingin memasak sesuatu. Toh perkuliahannya hari ini akan di mulai pukul 4 sore. Mungkin memasak bubur ala Perth yang sudah lama tidak ia masak? Atau mungkin pancake, nasi goreng, atau pasta? Adelia mungkin akan menghindari roti gandum dan keju untuk sementara waktu hihihi. Namun ketika ia membuka rice cookernya, ia melihat tulang-tulang sapi terendam didalamnya. Sepertinya seseorang mencoba untuk membuat kaldu sapi, sehingga aroma mamalia itu sudah memenuhi seluruh dapur flat 27.
"Kotoko, did you made this?", tanya Adelia kepada teman serumahnya itu yang sedang menikmati sarapan paginya. Gadis jepang itu lantas menggeleng-geleng dengan kuat sambil mengibaskan tangannya ke segala arah.
"Ehmmm no no. Not me. I think it's Maretha. Diva is still asleep", kata Kotoko dengan tatapan tergidik. Sepertinya sedari tadi ia pun ogah dengan aroma sapi yang kemana-mana itu. Baru saja Adelia ingin berjalan menuju kamar Maretha…
"Jangan sentuh makananku!", seru Maretha yang tiba-tiba sudah nongol di dapur.
"Kalau kamu gak mau makanan kamu di sentuh, lain kali minta ijin dulu kalau mau pake barang-barangku. Sekarang, keluarkan...ehmm apalah ini, agar aku bisa masak bubur", perintah Adelia. Maretha tersenyum pongah, dan melipat tangannya di dada. Ia bersadar miring di salah satu kulkas besar itu.
"Kalo aku belon mau ngeluarin, memangnya kenapa?", tanyanya menantang Adelia.
"Kalo kamu gak mau keluarin dan cuci rice cooker ini dengan bersih, aku akan buang apapun yang kamu buat disini! Sudah cukup ya selama ini kamu pake tapi gak pernah mau bersihin", kata Adelia sambil mematikan rice cooker itu dan bersiap-siap mengangkat isinya. Sepertinya ia serius akan membuang kaldu itu ke wastafel.
"Tunggu! Ok aku akan beresin!", teriak Maretha. Ia sadar bahwa di lihat dari sudut pandang siapapun, ia pasti akan menjadi orang yang salah disini. Buru-buru ia memindahkan kaldu yang hampir jadi itu ke kontainer lain dan mencucinya.
Adelia menyaksikannya sambil menyiapkan bahan-bahan yang ia butuhkan untuk membuat bubur nasi. Ia kehabisan kaldu apapun. Tapi sukurlah masih ada sosis yang bisa di tumis BBQ, keju yang bisa di tabur, dan kecap manis untuk extra rasa. Bubur harus jadi pagi ini!
"Heeemm, gimana rasanya playing victim? Kamu suka semua orang bersimpati dengan penderitaan kamu? Adelia, tidak butuh waktu lama, semua orang pada akhirnya akan tahu, seperti apa kamu sebenarnya", kata Maretha sinis sambil menghempaskan panci rice cooker yang sudah ia cuci bersih itu. Hempasan itu cukup menimbulkan suara gaduh di meja makan.
"Dan ternyata tidak butuh waktu sama sekali, agar semua tau orang seperti apa liciknya kamu, Maretha. Kamu cuma kabar buruk di flat ini", jawab Adelia sambil tersenyum manis seperti seorang psycho. Ia menyesap teh aroma melati dengan anggun sambil duduk berhadapan dengan Kotoko. Gadis Jepang yang tidak paham bahasa Indonesia itu, benar-benar menyangka Adelia sedang memuji teman serumah mereka itu, atau setidaknya mengatakan sesuatu yang manis.
"Kita lihat aja nanti siapa yang benar-benar ketawa terakhir, j*lang!", kata Maretha emosi sambil berlalu menuju kamarnya. Kotoko lantas bingung. Kata-kata ramah apa yang di ucapkan oleh Adelia sampai membuat Maretha begitu marah?
"Hemm, I don't understand Adelia. You are always so nice, but that witch treats you very very very bad", kata Kotoko. Adelia mengangkat bahunya dengan lemah, seakan-akan ia tidak paham dengan sikap Maretha, namun ia pasrah. Dalam hati, Adelia tersenyum penuh ide. Ia sadar, di negara ini, tidak akan ada orang yang secara cuma-cuma membela dan membantunya. Ia mungkin tadinya terlalu "let it flow" dengan keadaannya, sehingga ketika tragedi terjadi, ia tidak siap. Sekarang ketika ia berada di titik terbawah, tidak ada jalan lain selain memanjat keatas.
Ya, ia akan memulai "berjuang" dan "membela dirinya sendiri" dari hal-hal terkecil. Ia harus bisa meyakinkan orang-orang bahwa ia tidaklah selemah yang terlihat, tidaklah sejahat yang mereka tuduhkan, dan tidaklah sepasrah yang mereka kira. Ia harus bisa memperbaiki kesalahannya, meyakinkan orang tentang posisinya dan perasaannya, dan harus bisa membalikkan keadaan menjadi lebih baik untuk dirinya sendiri. Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang turun dari langit begitu saja. Ia harus diperjuangkan dan di pertahankan.
Sebaliknya, Maretha yang pagi-pagi sudah geram bukan main dikerjain oleh Adelia. Maretha tidak menyangka ternyata Adelia yang terlihat dari luar seperti gadis mungil manja, kaya, lemah dan tak berdaya, ternyata bisa memiliki taring juga. Sekilas ia tidak mempunyai kartu As yang bisa membalikkan Maretha, dan terlihat tidak berbahaya. Namun wajah lugu dan sikap malaikatnya itu justru membuat semua orang selalu membelanya. Maretha benar-benar geram, karena sekarang, justru ia terlihat seperti musuh dalam flat.
"Kita lihat saja nanti Adelia, sampai mana kamu bisa bertahan dengan permainanmu. Aku akan tunjukkin kalo disini, aku yang pintar, aku yang bisa menguasai permainan. Jangan sampai gadis jalang sepertimu mengacaukan rencana-rencana yang udah aku susun untuk masa depanku", gumam Maretha geram.
---------------------------
Salah satu kebahagiaan yang Adelia peroleh hari ini adalah tepukan antusias teman-teman sekelasnya akan hasil presentasi kelompoknya. Sudah hampir 2 minggu ia dan anggota kelompoknya sibuk mempersiapkan presentasi tentang hasil penelitian kecil mereka. Adelia kebagian mengolah data dan membuat tampilan power point agar terlihat menarik. Ia belum terlalu pede untuk menyampaikan di depan kelas, ia biarkan Cherry sang bule lokal untuk mempresentasikannya. Tapi ia berjanji, suatu hari nanti, ia akan berdiri di depan kelas dan memukau semua orang!
Lisa yang kali ini tidak sekelompok dengan Adelia hanya bisa mendengus. Kelompoknya tampil ala kadarnya tadi, entah kenapa. Padahal di kelompoknya, terdapat bule-bule lokal yang tak kalah pintarnya dengan anggota kelompok Adelia. Sejak mereka memasuki kelas, gadis itu selalu membuang mukanya dan enggan menatap Adelia walau sedetikpun. Selama presentasi pun, Lisa ogah menatap Adelia yang ikut berdiri di depan kelas. Adelia maklum, ini semua tidak akan mudah. Namun ia akan berusaha untuk "melobi" gadis itu.
Adelia menolak ajakan Cherry dan anggota-anggota kelompoknya untuk merayakan presentasi malam ini. Mereka mengajak untuk minum-minum di Waterford atau mungkin makan malam di tengah kota. Selain jauh, Adelia juga masih belum terlalu fit. Fokus Adelia sesungguhnya tertuju kepada Lisa yang sedang membereskan laptop dan buku-bukunya. Adelia berjalan mantap ke arah Lisa yang sudah menuju pintu keluar.
"Lisa, kita pulang bareng yaaa", pinta Adelia sambil menyentuh pundak Lisa ketika mereka sudah berada di koridor gedung.
"Ishh jijik aku sama kau. Pergi kau sana!", bentaknya sambil mencoba melepaskan tangan Adelia dari pundaknya. Adelia tidak bergeming, Ia tetap berdiri di samping Lisa sambil mencoba tersenyum ramah. Adelia tetap mengikuti gadis itu dari belakang.
"Hi Adelia...Hi Lisa, uda selesai ternyata. Aku juga baru beres. Yuk.", tiba-tiba Malik muncul di hadapan mereka. Lisa kontan berjalan menuju cowok itu dan bersembunyi di balik pungung lebarnya. Sepertinya mereka sudah janjian.
"Malik... apa kabar?", Adelia memanggilnya, namun ia tidak tahu apa yang harus ia ucapkan setelahnya. Sudah berminggu-minggu Adelia tidak melihat cowok itu karena fase zombie-nya. Sesungguhnya Adelia merindukan masa-masa mereka selalu bertiga kemana-mana.
"Kamu udah gak apa-apa kan? Justin udah cerita semua...", kata cowok itu lemah. Adelia mengangguk-angguk pelan. Justin...gumamnya dalam hati...
Mendengar nama Justin di ucapkan, Lisa semakin emosi. Ia berusaha untuk menyeret Malik dari tempat itu. Lagipula cowok itu berjanji akan mengajaknya jalan-jalan malam ini. Yang Lisa tidak tahu adalah, Malik sebenarnya juga berencana untuk mengajak Lisa bersama. Ia sedang berusaha untuk merekatkan kembali Lisa dan Adelia, bagaimana pun caranya.
"Ayo pigi kita dari sini Lik, muak aku nengok muka dia", kata Lisa sambil mengapit tangan Malik dan mencoba menyeret cowok tegap itu untuk pergi. Tapi Malik tetap berdiri sambil menatap Adelia. Ia sebenarnya iba dengan gadis itu, karena ternyata dari awal, ia mengikuti cerita Justin. Ia tahu sebenarnya ini semua bukan kehendak Adelia, juga bukan kehendak Justin. Semua terjadi…begitu saja. Siapa yang bisa menyalahkan kemana arah cinta terpanah?
"Eh eh eh aku udah lama deh gak pergi sama kalian lohhhh. Yuk bareng yuk Del, Minum-minum kita dulu yuk", ajak Malik sambil memutar-mutar kunci mobilnya seperti adegan di film-film lama Warkop DKI. Norak sekali.
"Dimana? Gak usah aja bibik-bibik itu ya", jawab Lisa sewot sambil menunjuk Adelia dengan dagu bundarnya. Adelia hanya tersenyum melihat sahabatnya yang masih ngambek itu. Bibik-bibik yang dimaksud Lisa saat ini adalah Adelia yang sedang mengenakan power suite untuk presentasi. Dibalik jas hitamnya, ia mengenakan sebuah gaun formal berwarna merah maroon yang cocok sekali dengan sepatu kerja berwarna hitam runcing itu. Sebuah ransel kulit hitam tersampir di bahunya. Rambut Adelia yang panjang dan berkilau, ia ikat satu agak tinggi seperti Ariana Grande.
"Ih Lisa....Lisaaa... jangan marah-marah dulu donk, kita duduk bareng dulu bertiga, ngobrol-ngobrol sambil meluruskan fikiran, siapa tau ketemu solusi. Gimana gimana?", tanya Malik sambil beberapa kali mencubit dagu bundar cewek Batak itu. Bolak-balik Lisa menghindar tapi cowok itu selalu berhasil mencubitnya. Kontan saja Lisa geram.
"Iya DIMANA?", tanya Lisa dan Adelia berbarengan. Mereka kaget karena mengucapkannya secara bersamaan dan refleks saling berpandangan, dan kemudian Lisa membuang mukanya. Adelia dan Malik tak tahan untuk tidak tersenyum geli. Oh semoga saja cewek ini bisa luluh malam ini. Malik dan Adelia tampak seperti seorang cowok yang akan menembak gebetannya.
"Ya gak usah jauh-jauh lah, udah malam ini. Subway aja kita, minum coca-cola", kata Malik sambil menggiring 2 gadis itu di lengan kanan dan kirinya bak raja minyak,
"Bah, yang kukira kau mau traktir aku minum di Waterford. Pelit kauuu Malik…", protes Lisa, namun ia tetap mau digiring Malik ke tempat parkir. Adelia berdoa dengan kencang dalam hati. Malam ini, ia harus mendapatkan hati Lisa kembali. Cowok bisa datang dan pergi. Namun sahabat sejati, sudah untuk di cari.
"Kan lu tau gue gak minum alkohol butettttt", kata Malik sambil terus menyeret kedua gadis itu keluar dari gedung Curtin Business School.
Mereka akhirnya menuju mobil butut Malik dan meluncur ke arah coles, dimana toko roti lapis Subway masih buka.