Jodoh Pasti Bersatu : Perfect's Wife

🇮🇩Miy_Chan
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 3.3k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Pertemuan

Disebuah toko Buku nampak seorang gadis, tengah memilih buku di rak buku yang tersedia di sana.

"Veershintia Rahanzilla Annanjjila?!" tanya Seorang gadis dengan histeris, kepada gadis yang tengah memilah-milah buku di salah satu rak buku. Ia mengenakan gaun blue ocean tak berlengan dan hanya sampai di atas lutut saja. Sehingga kakinya terekspos sempurna. Dipadukan dengan high heels warna creamy senada dengan tas yang diselendangkannya dibahunya.

Rambut hitamnya yang agak bergelombang, dibiarkan terurai dengan indah. Berwajah oval, berkulit kuning langsat, hidung mancung, bibir yang merah merona. Sepasang mata berbola coklat dengan tatapan sayu, dibawah naungan sepasang bulu mata yang lebat dan tebal serta tak lupa sepasang alis yang terukir dengan rapi.

Bertubuh langsing membentuk kerja yang sempurna. Dengan tinggi badan hanya 160 cm.

"Ya," respon gadis itu ringan. Ia melirik gadis yang baru saja memanggil nama lengkapnya, " Tania Nadira? Serius ini Loe?"

Mereka saling tunjuk satu sama lain, tak percaya dengan apa yang sedang mereka lihat. Lalu detik berikutnya saling berpelukan, seperti teletubbies.

Kalau gadis yang bernama Tania Nadira, biasa di panggil Dira atau kadang Nida ini, adalah wanita modis dan fashionable. Sedangkan satunya lagi, bisa dibilang kebalikannya, tapi, Anzilla juga sedikit fashionably.

Gadis yang bernama lengkap Veershintia Rahanzilla Annanjjila yang biasa dipanggil Annan, Rahan, Shin'ra atau kadang Anzilla itu, mengenakan celana jeans yang bermodel sobek-sobek, Kaos oblong yang terbalut jaket jeans warna abu-abu, yang dipadukan dengan sepatu sneakers warna putih. Rambut sepinggangnya yang berwarna cokelat kemerah-merahannya di kuncir kuda. Sehingga leher indah nan jenjangnya, terekspos sempurna.

Wajahnya berbentuk bulat telur, beralis lancip terukir rapi dan sempurna. Sepasang mata yang jernih, dibawah naungan sepasang bulu mata yang lebat dan lentik. Hidung yang mancung dan bibir mungil yang tipis berwarna merah persik.

Wajahnya agak cubby, berkulit putih dengan tubuh idealis. Ia memiliki tinggi badan 165 cm.

Walupun penampilan mereka beda jauh tapi, mereka adalah sahabat dari kecil.

"Seriuss Ini Loe Zilla?! Bukan hantu Loe kan?" seru Nadira heboh, sembari memutar tubuh temannya itu sampai temannya sedikit pusing.

"Iya Nadira, ini gue. Gimana sih?" Anzilla menjawab dengan muka masam. Belum pusing dikepalanya hilang, gadis yang bernama Nadira itu sudah melemparkan diri padanya dengan tenaga yang cukup besar.

"Ouch," gumam Anzilla, yang hampir terhenyak ke belakang. Kalau saja dia belum sarapan, mungkin sudah terkapar di lantai yang keras.

Sungguh itu akan menjadi moment terburuk dalam hidup mereka, lebay bukan. Bukan lebay, tapi fakta loh. Secarakan di toko buku, pasti banyak pengunjungnya.

Nadira memeluknya dengan sangat erat, hampir membuat Anzilla sesak nafas.

"Bagaimana kabar loe hah? Sampai lupa gak ngabarin gue?" Mereka melerai pelukannya, Nadira memperhatikan penampilan Anzilla dengan teliti.

"Baik, gue baru 2 hari di sini dan Loe juga terlihat baik-baik aja, tambah cantik lagi " Anzilla memperhatikan temannya itu dengan semringah.

"Ya, dan besok gue sudah mulai bekerja di kantor Adiwiyata Grup," curhat Nadira, seperti biasanya akan menceritakan kegiatannya.

"Bagus dong," Anzilla merespon dengan cepat, Ia mengangguk dan matanya kembali lagi menyusuri buku-buku yang tersusun rapi di atas rak tepat dihadapannya.

"Oh ya, 4 tahun loe di korea. Loe kok gak berubah-ubah ya? masih sama kayak dulu —berandalan," kritik Nadira kepada Anzilla, yang tengah fokus pada buku-buku.

Anzilla menghentikan pergerakannya, lalu melontarkan kata, "Ceritanya ngeledek?"

"Ehh gue canda kali, abisnya loe gak bilang-bilang rindu gitu ke gue. Padahal kan, kita gak ketemu 4 tahun loh Zilla." Nadira mengacungkan 4 jarinya, dihadapan Anzilla.

"Gimana mau gue rindu? datang-datang loe langsung hujat gue habis-habisan" Anzilla membalas tanpa menolehnya. Ia, memasukan beberapa buku kedalam keranjang lalu berjalan kearah lain untuk mencari beberapa buku lagi.

"Yeh, iya kali loe jadi sensitif gitu?" Nadira memasang wajah cemberut, sembari mengikuti temannya itu.

"Hahah iya, gue rindu kok. Rindu kecerewetan Loe"

Anzilla yang mendengar rajukan temannya, segera menoleh dan mencubit pipi temannya itu dengan tawa gemas.

"Ya, kalau gue gak cerewet sepi dong" Mata Nadira berkedip-kedip menggoda temannya itu, menampakkan keimutannya.

"Iya iya," respon Anzilla dengan wajah kusut.

"Oh ya bay the way, loe keliatan murung gitu. Cerita sama gue ada apa sih? ayo duduk" Nadira mengajak Anzilla duduk, di salah satu kursi baca yang tak jauh dari sana. Anzilla tidak menolaknya dan ikut saja.

"Emmh gimanaa ya?" Anzilla malah balik tanya. Ia, mengusap rambutnya pertanda ia sedang dalam bingung. " Oh gini, Menurut Loe salah gak orang tua menjodohkan anaknya dengan anak dari teman masa kecilnya?" tanya Anzilla, sedikit ragu memulai ceritanya.

Nadira mengangguk, sepertinya ia mengerti dengan arah pembicaraan temannya itu. " Ceritanya, Loe mau dijodohin gitu?" Nadira menatap mata temannya itu dengan lekat, yang tampak tak bergairah untuk melanjutkan hidup.

"Ya gitu deh," Anzilla mengangkat kedua bahunya, Seolah-olah dia tak berdaya lagi. Lebay juga ya ni anak ;)

Nadira meraih tangan Anzilla, yang ada diatas meja. Dia berusaha untuk memberikan semangat kepada temannya itu,"Gini ya Zilla, hal itu wajar-wajar aja. Karena, setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya" ucap Nadira hati-hati.

"Iya sih, tapi masalahnya gue belum tahu seperti apa tu orang yang bakalan dijodohin sama gue. Ya, kali dia udah om-om, bisa mati kepayang gue gara-gara liat muka tuanya." Dengan gaya yang dibuat alaynya, Anzilla bergidik dengan ngeri. Menampakkan wajah yang siap muntah.

"Ah Loe, sejak kapan loe jadi lebay gitu?" Nadira yang dari tadi memegang tangan Anzilla, beralih memukulnya tanpa perasaan. Hingga membuat Anzilla meringis, dan ngomel.

"Ah, bisa gak sih loe gak harus mukul?" Ringis Anzilla dan berusaha menarik tangannya. Tapi, Nadira memegangnya lebih erat sehingga Anzilla tidak berkutik lagi.

"Sebaiknya, loe pastiin dulu deh sebelum menolak mentah-mentah. Kali, dia ganteng, baik, tajir mapan lagi" Nadira mencondongkan dirinya, lebih dekat kepada Anzilla dengan wajah-wajah mata duitan dan pandang fisik. Yeh, tapi emang realistis sih.

"Mapan sama tajir itu sama kali!" koreksi Anzilla, dengan nada datar.

"Ya iya. Mending loe pikir-pikir dulu deh saran gue," saran Nadira.

"Tapi, gue masih pengen melanjutkan pendidikan gue. Gimana dong?" Anzilla menatap Nadira serius, saat ini dia benar-benar butuh temen bijak.

"Ehhh gimana ya? Gue juga jadi ikutan bingung. Gimana kalau loe buat dia jengkel dan ilfeel sama loe" Nadira menyarankan, tangannya menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Terus kalau gue udah buat dia jengkel dan ilfeel sama gue. Dia bakalan batalin perjodohannya?" tanya Anzilla ragu, Ia menatap Nadira lebih serius lagi.

"Bisa jadi iya bisa tidak," jawab Nadira, sedikit nyengir.

"Ah Loe. Bikin gue pusing aja." Dengan paksa Anzilla menarik tangannya " Ya udah deh, gue balik duluan ya? Kapan-kapan kita ngobrol lagi ok?" pamit Anzilla, Ia bangkit dari kursinya dan tak lupa membawa buku-buku di keranjang belanjanya.

"Kok buru-buru amat sih? Gue masih kangen tahu gak?" rengek Nadira dengan manja dan sudah nemplok lagi tuh anak di bahu Anzilla.

Anzilla sedikit jengkel, tapi Ia tetap membiarkannya "Nyokap nyuruh gue untuk segera pulang, katanya di rumah ada tamu," ujarnya, sembari melangkah tanpa menyingkirkan tubuh Nadira yang nemplok padanya. Dia sudah terbiasa dengan tingkah temannya ini. Ya,, walaupun orang-orang menatap mereka dengan aneh sih. Tapi, biarlah. Orang mereka normal kok!

"Tamu? Tamu dari mana?" Seketika Nadira mengangkat wajahnya dari bahu temannya, dia menunjukkan wajah kepo.

Anzilla meliriknya sekilas, lalu menyerahkan keranjang yang berisi buku-buku yang sudah dipilihnya untuk ia bayar kepada kasir.

"Mana gue tahu, bilangnya cuma cepatan pulang kalau tidak. Gue bakalan gak diperbolehin ngelanjutin S2 gue," jawab Anzilla polos, Ia mengangkat bahunya dan Sang kasir yang kebetulan seorang pria yang masih muda tersenyum setelah mendengar omongan mereka. Akhirnya dia tahu kalau kedua gadis itu normal. Berarti sebelumnya, dia mengira dua gadis itu lesbi dong haha.

Anzilla menyodorkan kartu kreditnya kepada Sang kasir, untuk membayar buku-buku yang diberikannya kepada kasir untuk di bungkus.

Nadira tampak berpikir, lalu wajahnya berubah menjadi berbinar-binar " Kayaknya,,, Aha! gue tahu mungkin itu keluarga yang mau dijodohin sama Loe," terka Nadira sok tau, tapi emang bener sih.

"Tau ahh, gue pamit?" respon Anzilla, tidak perduli sembari mengambil kartunya dari Kasir bersamaan mengambil paperbag yang berisi buku-buku yang sudah dibayarnya.

"Ok, jangan lupa sampaikan salam gue buat calon suami loe!" teriak Nadira, saat Anzilla sudah berjalan jauh menuju motornya terparkir.

💫💫💫

Rumah Anzilla sekeluarga

"Oh ya, AH Whue dimana putrimu? Dari tadi kami belum melihatnya," tanya seorang paruh baya, namun terlihat masih sangat tampan dan berenergi.

"Ya begitulah, Shen pagi-pagi dia pamitan mau ke toko buku. Tapi, sampai sekarang dia belum juga pulang" Whue menjelaskan dengan malu, Ia menoleh kearah pemuda yang tengah duduk disamping Shen Pho. Pria itu masih asyik dengan dunianya, bermain ponsel atau sesekali meneguk teh.

"Zean tolong maafkan putri nakal Ayah ya?" pinta Whue, tidak enak hati.

"Tidak apa Yah," Pemuda itu membalas dengan senyuman tipis. Ia melirik Ayah Anzilla sejenak.

"Ayah, Bunda ... Rahan pulang!" teriak Anzilla ari luar, terdengar nyaring dan tak lama terlihat pemilik suara itu lewat keruangan sebelah.

Ya, pribumi bisa langsung masuk tanpa harus lewat keruangan tamu terlebih dahulu. Tapi, masih bisa terlihat atau ketahuan karena ruang tamu memiliki dinding yang terbuat dari kaca.

Whue Jang mendengar putrinya pulang, segera menghampirinya.

"Veershintia Rahanzilla Annanjjila kemana saja kamu? Kenapa baru pulang? Kamu berjanji tidak lama. Tapi, buktinya apa?" Whie Jang menuntut putrinya.

"Iya, Shin'ra memang salah. Tapi, Ayah tidak perlu menyebut nama panjangku juga," cicit Anzilla dengan suara lembut. Dia menundukkan wajahnya, dengan raut bersalah.

"Iya, iya lalu kamu tadi kemana saja?" tanya Whue Jang, mengintrogasi putrinya.