"Iya, iya lalu kamu tadi kemana saja?" tanya Whue Jang, mengintrogasi putrinya.
"Ini, aku habis dari toko buku." Anzilla menunjukkan paper bag yang berlogo salah satu toko buku terkenal di Jakarta. Saat Ia menjawab pertanyaan Ayahnya itu. Bahkan dengan polosnya dia mengukir seulas senyuman, seolah-olah Ayahnya itu tidak sedang memarahinya.
"Dan, pakaian model apa yang sedang kamu pakai ini?" komentar Ayahnya, sembari memegang kerah baju yang dikenakan putrinya itu dengan raut kurang suka. Jelaslah dia tidak suka, pakaian yang dikenakan putrinya itu mirip berandalan yang ada di jalanan. "Sekarang kamu ganti baju dan kembali lagi kesini!" perintah Ayahnya kemudian, tanpa menerima bantahan.
"Harus banget ya aku ganti baju?" tanya Anzilla dengan polos. Alis lancipnya, sedikit naik ke atas. Ya mereka seperti tampak ngobrol bersama seorang teman, sering adu argumen dan merecoki hal yang kecil, tetapi pada akhirnya mereka akan kembali baikan.
"Veershintia Rahanzilla Annanjjila!" geram Whue Jang tertahan. Ya dia menahan amarahnya agar tidak membentak putri bandelnya itu. Biar bagaimanapun saat ini di rumahnya sedang ada tamu, sehingga tidak wajarlah dia mengomeli putrinya itu terlalu berlebihan, yang ada malah membuat tamu risih.
"Iya, iya aku pergi sekarang."
Secepat kilat gadis itu langsung pergi ke kamarnya. Sementara, Whue Jang kembali ke ruang tamu dengan sedikit memijat pelipisnya. Ia sedikit kewalahan, untuk menghadapi putrinya itu. Kadang dia merasa gagal dalam mendidiknya, tetapi sesaat dia sadar bahwa putrinya itu tidaklah menyimpang, hanya saja cara berpakaiannya saja yang kurang benar dikalangan kelas atas.
"Shen, Zean, mohon maafkan ketidaksopanan putriku." Whue Jang duduk kembali di sofa yang ada di ruang tamu. Zean Arrez tetap di posisinya, dia semakin tidak setuju dengan perjodohan ini. Gadis itu terlalu barbar untuk dijadikan istrinya, gadis itu jauh sekali dari tipenya. Dia menyukai gadis yang dewasa, kalem, pandai merias diri, anggun, sopan, lemah lembut, senyuman manis, modis, fashionable, pokoknya yang perfect dari segi apapun, bukan seperti itu.
"Tidak apa, malah aku semakin tertarik dengan putrimu itu Ah Whue." Dengan cepat Shen Pho menjawab, sehingga Zean Arrez tidak berkesempatan untuk menjawab. Padahal dia memiliki keinginan untuk mengeluarkan segala unek-uneknya.
Tidak lama, orang yang sedang mereka bicarakan datang dengan gaya yang baru. Terlihat lembut, penurut dan santai, tetapi Zean Arrez sudah mendapatkan pandangan sendiri tentang gadis itu, sehingga bagaimanapun gadis itu merubah penampilannya, di mata Zean Arrez tetaplah gadis itu barbar dan kurang beretika.
Sweater warna putih, dipadukan dengan rok line warna merah muda yang hanya sampai di atas lutut. Bahkan, tidak sampai. Rambut lurusnya yang sepinggang dibiarkan terurai dengan anggun di bahunya, alas kakinya sudah berganti dengan sendal rumahan.
"Nah, Shin'ra kenalkan ini Om Shen Pho Papanya Zean Arrez calon suami kamu." Whue Jang memperkenalkan kedua tamunya pada Anzilla.
Anzilla mengalihkan perhatiannya, Ia melihat pria yang di kenalkan Ayahnya kepadanya dengan sedikit intens, guna menilai penampilannya. Bukannya seperti itu? Pertemuan pertama dengan seseorang itu, pertama-tama saling ukur penampilan satu sama lainnya? Iyain ajalah.
Pria paruh baya, yang terlihat masih tampan dan terlihat energik. Hidungnya yang mancung, matanya sudah agak cekung, alisnya yang sudah sedikit memutih. Rambutnya yang masih lebat, bercampur uban, sedikit berkumis. Kulit putihnya yang mulai berkerut. Menurut penilaian Anzilla, pria itu sosok yang penyayang dan lembut, tetapi memiliki ketegasan yang kokoh.
Whue Jang memperkenalkan Putrinya dengan sopan, "Shen, Zean ini putriku Veershintia Rahanzilla Annanjjila yang sudah aku ceritakan pada kalian." Whue Jang menepuk bahu putrinya.
Pria paruh baya yang bernama Lin Shen Pho itu mengukir senyum, menatap Anzilla yang tengah berdiri dengan senyuman ramahnya. Dalam pertemuan pertamanya, Shen Pho sudah menyukai karakter gadis itu. Suka dalam artian, setuju untuk jadi mantunya. Pandangannya mengatakan bahwa gadis yang berdiri tidak jauh darinya, adalah sosok sempurna yang bisa dipercaya.
"Hallo Om, aku Veershintia," sapa Anzilla dengan sopan kepada Shen Pho, Ia sedikit membungkukkan tubuhnya. Tidak lupa sebuah senyuman tulus terukir di bibirnya. Sebenarnya dia sosok ramah yang bersahabat, hanya saja tergantung tempat dan moodnya seperti apa.
Shen Pho ini adalah berdarah Korea-Eropa, dan sekarang dia menetap di Jerman. Usianya, sudah berkepala 5. Namun, Ia masih terlihat tampan. Karena hal itulah kenapa kulitnya sangatlah putih, padahal sudah tua. Itu poin lain yang Anzilla dapatkan.
"Panggilannya jangan Om dong, panggil Papa, oke?" Shen Pho mengoreksi panggil Anzilla kepadanya dan dia menepuk lembut puncak gadis itu. Anzilla saat ibu sudah berdiri di sampingnya. "Dan ini Zean Arrez, putra papa." Shen Pho menepuk pelan bahu putranya, saat memperkenalkan putranya pada Anzilla.
"Iya. O- Papa." Anzilla mengangguk dengan patuh.
Anzilla beralih pada Zean Arrez, sejenak Ia memperhatikan pria itu dengan sedikit seksama tanpa menyembunyikan pandangannya. Jelaslah dia harus lebih teliti dalam menelaah pria itu, karena dia adalah orang yang nantinya menjadi suaminya. Kalau-kalau ada yang cacat sebelum dia bayar 'kan dia yang rugi, eh kok berasa lagi jual beli barang ya? Ya anggap saja begitu.
Rambutnya yang berwarna hitam legam, lebat terpangkas rapi, sedikit rambut bagian depannya menyentuh keningnya. Keningnya yang putih mulus. Sepasang alis hitam yang terukir alami seperti bulan sabit, sepasang mata jernih di bawah naungan sepasang bulu mata yang lebat, yang memiliki sorot tajam, dingin dan memiliki daya tarik tertentu. Hidung yang mancung, bibir tipis nan mungil, berwarna sedikit kemerahan alami dengan fitur wajah yang sempurna.
Rahangnya yang kokoh, dan bla bla ... Intinya Perfect. Itulah yang Anzilla tangkap dari hasil penglihatannya, dari luar sih ok. Dalam sekilas pandangan saja, Ia tahu pria itu adalah salah satu pria idaman kaum wanita.
Anzilla mengakui kalau pilihan ayahnya tidaklah terlalu buruk, ok good sesuai seleranya. Dalam pandangan pertama, Ia jatuh cinta, tetapi Ia tidak akan mengatakannya bahwa dia menyukai pria itu. Dia masih punya gengsi yang lebih besar, jadi untuk beberapa alasan ia akan menolaknya dan pura-pura tidak tertarik. Iyalah dia lebih baik jual mahal daripada murahan.
Tanpa sadar dirinya mengukir senyum tipis, 'Perfect' satu kata yang terlintas dalam benaknya. Namun, di luar Ia menampakan ekspresi tidak perduli sama sekali.
"Hallo Om Zean ... Aku Veershintia Rahanzilla Annanjjila." Anzilla sengaja menyapa Zean Arrez, dengan tambahan embel-embel Om untuk menguji seberapa sabar pria itu. Hal itu, membuat Zean Arrez yang sudah tidak menyukainya tambah tidak suka. Entah kenapa, dari pertama Ia melihat gadis itu berinteraksi dengan Camernya tadi yang menurutnya kurang sopan. Sudah membuat kesan buruk dalam catatannya. Dia sedikit mendengus, yang langsung dihadiahi tendangan kecil dari Papanya.
"Iya tahu. Saya Zean Arrezoo Xuan Alvarez Lin Shen Pho," respon Zean Arrez datar, dan sengaja menyebutkan nama lengkapnya. Ia sedikit menyipitkan matanya, saat melirik Anzilla yang berdiri tidak jauh darinya duduk. Anzilla yang mendapatkan respon kurang baik, hanya mencak-mencak tanpa bersuara.
"Itu nama, apa kereta api sih? Panjang amat," gumam Anzilla tanpa sadar mengkritik nama orang. Ia tak sadar dengan nama sendiri yang juga panjang, itulah penyakit manusia kadang tidak sadar dengan dirinya sendiri.
"Shin'ra, duduk sini. Ayah belum selesai!" Ayahnya berkata dengan lembut, dia menepuk sofa di sampingnya. Anzilla segera menghampiri Ayahnya, dan duduk di samping Ayahnya duduk.
Walaupun dia sangar, galak, judes, bandel dan agak tomboy. Namun dia tahu cara sopan santun dan tata krama dalam menghormati dan berbicara pada orang tua. Ya walaupun dimata Zean Arrez tetaplah sama, dia tidaklah lebih dari seorang gadis barbar tak beretika.
Sejujurnya, dia adalah gadis yang baik, penyayang, rapuh, manja, dan ramah. Hanya saja, di luar rumah Ia menjadi sosok yang seenaknya, acuh, judes, galak, sangar dan agak tomboy. Namun, bukan berarti dia tidak pernah berpenampilan modis ya. Ia juga tahu caranya bergaya feminim. Namun, Ia terlalu malas untuk melakukan banyak hal. Dia lebih suka yang praktis dan santai. Intinya dia tipe orang yang menjunjung tinggi kenyamanan, selama dia nyaman dia pasti akan menetap tanpa perduli apa kata orang.
"Tadi kamu kemana saja?" Whue Jang mulai menginterogasi putrinya lagi, yang tadi sempat terputus. Ya, dia adalah tipe orang yang menuntut dan tak mudah untuk melupakan masalah untuk menyampaikan unek-uneknya.
Anzilla menatap Ayahnya dan menjawab, "Gak kemana-mana Yah. Tadi Shin'ra hanya ke toko buku doang," jawab Anzilla, Ia sedikit merenung. Mengingat-ingat kalo tadi sebelumnya, Ayahnya telah menanyakan hal itu, tetapi Ia tidak mengungkitnya.
"Lantas apa yang membuatmu lama?" cecar ayahnya dengan pertanyaan. Ia paling suka banget, mengintrogasi putrinya itu tanpa melihat keadaan di mana dan sedang ada siapa.
"Gak lama kok Yah hanya 3 jam 25 menit 20 detik saja," respon Anzilla enteng, tanpa mengurangi keramahan dan nada lembutnya. Saat berkata, Ia menampakkan wajah lugu dan penurut dihadapan ayahnya itu.
Cih benar-benar gadis ular! Itulah yang terlintas dibenak Zean Arrez.
Whue Jang yang sudah geram bercampur gemas, itu segera berkata, "Tapi, itu sangat lama bagi orang sedang menunggumu Veershintia-"
"Iya, ayah tidak perlu memanggil nama lengkap ku. 3 jam aku baca buku, lalu aku bertemu dengan Nadira kami ngobrol sekitar 15 menitan lah. Dan 10 menit lagi itu waktu untuk bolak-balik kesini Yah," potong Anzilla menyela ayahnya yang hampir saja melontarkan nama lengkapnya, Ia menjelaskan dengan singkat dan padat juga bisa dipahami dengan mudah.
"Oh, jadi kamu bawa motor ugal-ugalan? Iya? Sudah berapa kali Ayah bilang Veershintia Rahanzilla Annanjjila. Jangan ngebut-ngebut!" omel Ayahnya khawatir. Percayalah bukan hanya seorang ibu yang suka ngomel, tetapi seorang ayah juga tidak kalah dari seorang ibu, jika menyangkut tentang keselamatan anaknya. Salah satu contohnya, ya Whue Jang ini.
Dengan cepat Anzilla membantah dan menjawab dengan tanpa dosa, "Enggak kok Yah. Aku gak ngebut hanya 110 km / perjam saja,"
Gila, gadis ini memang sangat gila! celoteh Zean Arrez dalam hatinya. Dia mending sendiri membayangkan dibonceng oleh gadis gila seperti Anzilla. Andai Anzilla bisa dengan kata hati, mungkin Zean Arrez sudah dilempar cangkir teh.
"Iya serah kamu. Sekarang kamu temani Zean'er ngobrol ya? Ayah sama Papa Shen mu mau ke halaman belakang." Whue Jang berhenti berdebat lagi dengan putrinya itu, untuk kali ini Ia akan membiarkan dulu putrinya untuk lolos interogasinya. Mungkin lain waktu, bisa dilanjutkan kembali.
"Ok," jawab Anzilla sembari mengangguk dengan patuh, sehingga ayahnya sedikit tenang untuk meninggalkan Gadis itu dengan Zean Arrez.
Anzilla melirik sekilas, kearah kepergian dua orang paruh baya tadi. Namun, sudah tidak terlihat lagi. 'Ternyata langkah mereka cepat juga ya' kalimat itu sempat terlintas dibenaknya.
Dia menghela nafas lega, dengan cepat ia langsung mengikat rambutnya membuatnya menjadi lebih ringan. Dari tadi Ia mengurai rambutnya, membuatnya sedikit gerah. Tidak lupa, dia juga menggulung lengan sweaternya sampai siku. Setelah di rasa penampilannya sudah nyaman, tangannya mencari sesuatu dibalik bantal dan ... Tuing ....
Ia menemukan sebuah buku tentang sejarah Indonesia 3. Kenapa bisa itu buku ada di sana? Karena, Ia tahu akan ada tamu. Jadi, Ia menaruh buku tersebut di balik bantal sofa. Sebenarnya bukan hanya di situ saja, tapi di setiap balik bantal. Untuk sekedar jaga-jaga saja.
Ia langsung membacanya dengan anteng, tanpa mempedulikan orang lain dan sesekali tangannya mengambil biskuit, nastar dan apa saja makanan ringan yang ada dimeja.
Ia tampak santai dan menikmati momen mengacuhkan orang lain. Lebih tepatnya, ia menganggap Zean Arrez sebagai makhluk transparan yang tidak terlihat atau mungkin ... dia tidak menganggap kehadiran pria itu sama sekali. Jahat memang, tetapi itulah kebiasaannya terhadap orang luar.
Zean Arrez yang awalnya asyik dengan ponselnya dan sesekali melirik Anzilla, lama-kelamaan Zean Arrez tidak tahan lagi diabaikan, yang mungkin gadis itu menganggapnya sebagai tunggul yang terkena hujan. Itu mungkin masih mending, seenggaknya ada wujudnya. Namun, gadis itu menganggap pria itu semacam makhluk tak kasat mata. Kejam juga dia!
"Kamu?" panggil Zean Arrez agak ragu, Ia juga enggan untuk memanggil gadis itu dengan namanya. Sebenarnya dia lupa, siapa nama gadis itu. Karena bukan kebiasaannya untuk menghapal nama orang.
Anzilla yang sedari tadi, terfokus pada buku sedikit mendongak dan bertanya, "Loe ngomong sama gue?" Ia sedikit menaikan sebelah alisnya. Tidak ada sorot tertarik ataupun memuja di sana.
Zean Arrez sedikit memutar matanya kesal dengan respon gadis itu, yang katanya akan menjadi istrinya itu. Dia sangat berharap ada bencana besar yang bisa membuatnya lepas dari perjodohan itu. "Bukan, saya ngomong sama hantu. Ya iyalah sama kamu," respon Zean Arrez datar. Ia benar-benar di buat kesal oleh gadis itu. Andai membunuh tidak dosa dan tidak akan membuatnya dijatuhi hukuman, dia akan dengan senang hati membunuhnya.
Anzilla yang sudah mengalihkan perhatiannya pada pria itu, menatapnya dengan ekspresi bingung. Tangan kirinya tertumpu pada sandaran sofa dan menyangga kepalanya. Tangan kanannya, masih diam memegang buku yang masih terbuka di atas pahanya. Ia tidak menjawabnya dan menunggu kalimat selanjutnya yang akan dilontarkan pria itu. Anzilla mengambil kue nastar di meja dan memakannya dengan santai. Dia tidak bisa hidup tanpa mengemil, hahay canda elah.
"Kalau kamu masih mau menjadi istri saya. Kamu harus menjaga sikapmu!" ujar Zean Arrez ketus, dan tidak mau di bantah. Matanya menatap sinis ke arah gadis itu. Anzilla menanggapinya dengan sorot tidak perduli.
Zean Arrez paling tidak suka dengan orang yang kurang sopan, dia juga tidak suka diabaikan. Karena, baginya diabaikan itu ibarat makhluk astral, ada tetapi tak dianggap. Benar-benar menyebalkan bukan? Iyain sajalah!
Anzilla yang tengah mengunyah kue nastar seketika tersedak, mendegar kalimat lontaran Zean Arrez.
Uhuk ... uhuk ... uhuk ...!
Bagaimana bisa pria itu mengatakan seolah-olah dirinyalah yang sangat mengharapkan pria itu menjadi suaminya. Tidak! Tidak sama sekali, dia masih memiliki harga diri yang tinggi, sampai harus rela segitunya berubah apalagi patuh sama orang yang bentukannya kayak pria itu.
Dengan cepat, ia langsung mengambil cangkir teh yang ada di meja dan meneguknya dalam satu kali tegukan.
Untung tehnya, sudah lumayan dingin kalau tidak, bisa melepuh mulutnya. Dan itu teh yang diminumnya cangkir milik Zean Arrez. Entah bagaimana tangannya itu, bisa mengambil cangkir orang yang jelas jauh dari hadapannya. Anggap saja itu karena spontan atau kebetulan saja.
Di sisi lain, Zean Arrez sudah semakin tajam menatap gadis itu. Ia benar-benar tidak suka, dengan perilaku sembarangan gadis itu. Ia menjadi berpikir, kalau seandainya gadis itu jorok mau tempel bibir sana sini, bahkan sama bekas orang.
Setelah Batuk Anzilla reda, Zean Arrez kembali bersuara, "Dan sebagai perempuan, kamu itu harus hati-hati, tertib dan tetap mempertahankan keanggunan."
Anzilla menegakkan tubuhnya, menatap Zean Arrez sekilas, sebelum melontarkan kalimat asalnya, "Simpan semua omong kosongmu itu untuk dirimu sendiri. Lagi pula aku tidak mau menjadi istrimu," Anzilla menggeleng pelan, saat pikirannya tiba-tiba membayangkan ia menjadi seorang istri dari pria aneh seperti Zean Arrez itu. Bisa mati muda dia, walaupun sebenarnya dia yakin dia tidak bisa menghindari itu.
Mulutnya berucap, tangannya mengambil nastar coklat.
"Kenapa? Aku tampan, baik, mapan, keren lagi," ucap Zean Arrez narsis. Ia menatap Anzilla dengan sorot percaya diri.
Anzilla yang sedang memegang nastar cokelat, yang tadinya untuk ia memakan. Tidak jadi melakukannya, Ia menatap Zean Arrez dengan mata menyipit. "Terus? Hanya karena itu gue harus suka, gitu? Konyol!" Anzilla menggeleng pelan. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikiran pria itu. Selain bermulut tajam, dia juga memiliki tingkat narsis yang heroik. Sungguh terlalu!
"Gak nyuruh. Lagian saya sudah punya seorang kekasih yang jauh lebih cantik dan sempurna darimu," ucap Zean Arrez dengan bangganya. Anzilla yang ada di seberangnya sedikit membeku.
Deg ...!
Seketika itu juga Anzilla harus di buat kecewa, padahal dia tadi sempat memuji Ayahnya dalam mencarikan cowok untuknya. Namun, saat itu juga dia harus menyayangkan semua itu.
'Ayah, ayah, seleranya bagus tapi sayang kasih cowok yang udah ada pawangnya.' Gumam Anzilla dalam hatinya.
Dengan cepat Anzilla mengukir senyumnya, untuk menutupi sedikit rasa kecewanya. "Terus? Gue harus bilang wow gitu?" Ia menatap Zean Arrez tajam, untuk memanipulasi rasa yang sesungguhnya. "Hellow, ini rumah gue dan wilayah gue. So, di sini yang paling cantik dan sempurna adalah gue. Titik gak pake koma," tambah Anzilla tidak kalah narsisnya, dengan perasaan kesal dia melahap kue nastar coklatnya yang sempat terlupakan dengan sedikit kasar. Sebenarnya bukan maksudnya dia merendahkan orang lain, hanya saja dia tidak suka di posisikan atau dianggap paling buruk.
Zean Arrez yang baru pertama kalinya melihat seorang gadis yang begitu berani dan narsis dihadapannya sempat tertegun, sebelum akhirnya tertawa terbahak-bahak. "Hahahhahaha."
"Sudah gak tau diri, gila lagi." Anzilla menggeleng pelan. Ia lanjut membaca buku, tanpa tertarik sama sekali dengan tawa pria itu. Dia sudah terlanjur kecewa!