"Lo mau makan dimana?" Tanya Naara sedikit berteriak karena suaranya dikalahkan oleh suara ribut kendaraan di jalan raya.
"Dimana aja kan lo yang traktir." Jawab Orion juga berteriak.
"Lo ada rekomendasi tempat makan enak gak?" Tanya Naara lagi.
"Ada sih."
"Yaudah kesitu aja."
"Tapi...."
"Tapi?"
"Pinggir jalan gapapa?"
"Ya elo gimana?"
"Kok gue? Gue mah gapapa, lo yang gimana?"
"Yaudah gue juga gapapa, sering kok gue makan di pinggir jalan."
"Oke deh."
Dan berhentilah motor Orion di sebuah kedai nasi goreng di pinggir jalan. Mereka berdua menyimpan helmnya dan berjalan masuk ke kedai itu.
"Lo mau pesen apa?" Tanya Orion pada Naara.
"Yang biasa aja satu, pedes." Ujar Naara kemudian ia duduk di sebuah kursi.
"Bang biasa satu pedes, lada hitam satu banyakin acarnya." Ujar Orion yang kemudian menghampiri Naara dan duduk di depannya.
"Lo suka nasi goreng lada hitam?" Tanya Naara yang tak sengaja mendengar ucapan Orion tadi.
"Iya nyokap gue suka masakin itu waktu kecil." Naara mengangguk paham.
Tiba-tiba Naara teringat ibunya, apakah wanita itu sudah makan? Apakah wanita itu ada di rumah? Apakah semuanya baik-baik saja? Gelisah menjadi teman Naara kala itu.
"Lo ngapa?" Tanya Orion yang merasakan Naara tiba-tiba terlihat gelisah.
"Enggak, kepikiran proposal ajaa gua." Bohong Naara.
"Lo tuh ya anjir jangan kebanyakan kerjain proposal deh. Sampe lupa waktu gini terus gelisah juga kan?." Ujar Orion menasihati dengan nada bercanda.
"Terserah gue ya njir. Seneng kok gue sibuk gini daripada gue gak ada kerjaan terus gabut." Jawab Naara.
"Iya deh terserah lo. Tapi jangan sampe kecapean aja." Naara kemudian tersenyum jahil ketika mendengar ucapan Orion.
"Ciee... Lo khawatir ya?" Goda Naara menjahili Orion.
"Iya lah kalau lo sakit siapa yang gue gangguin di kelas?" Ujar Orion menanggapi.
"Ah lo mah diem-diem khawatir kan sama gue. Udah gausah ngaku, gue bakal pura-pura gak tau kok." Ujar Naara dengan cepat ketika Orion hendak mengelak.
Naara kemudian tertawa dan mau tak mau Orion ikut terkekeh.
Malam itu entah kenapa tiba-tiba udara terasa dingin, sementara Naara lupa membawa jaket ataupun almamater nya. Melihat Naara yang beberapa kali mengusap lengannya agar tidak kedinginan, Orion memberikan jaketnya pada Naara.
"Nah gitu dong peka, thanks kodomo." Ujar Naara memakai jaket Orion.
"Kodomo?" Orion keheranan.
"Iya, teman baikku." Sontak Orion tertawa.
Namun saat Orion tengah tertawa ada satu yang menarik perhatian Naara. Baju orion saat itu terlihat transparan, dan membuat tubuh bagian atas Orion sedikit terlihat jelas.
Ada beberapa memar yang dapat Naara lihat di tubuh Orion, saat Naara akan bertanya, tiba-tiba pelayan nasi goreng datang dan membawa pesanan mereka. Naara dan Orion melahap makanannya membuat sejenak melupakan apa yang mereka pikirkan.
*✿❀ - ❀✿*
"Gue gak perlu terimakasih sama lo karena gue udah bayarin lo nasi goreng." Ujar Naara ketika sampai di depan rumahnya.
"Ya setidaknya lo bilang hati-hati gitu ke gue atau tawarin gue mampir dulu." Pinta Orion bercanda.
"Mau tangan apa kaki?" Ujar Naara mengepalkan tangannya dan mengangkatnya ke depan wajah Orion.
"Hih galak banget, dah lah gue balik." Orion menyalakan motornya namun sedetik kemudian ia kembali menoleh pada Naara.
"Balik ga lo!?" Ancam Naara yang membuat Orion terkekeh dan melajukan motornya meninggalkan rumah Naara.
Sementara itu naara tengah mengatur nafasnya yang tiba-tiba terasa sesak ketika melihat halaman rumahnya.
Naara melihat mobil kedua orangtuanya terparkir di halaman rumahnya. Ia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya secara kasar. Di dalam garasi sana sebenarnya ada mobil Naara yang diberikan ayahnya sebagai hadiah ulang tahun, tapi Naara tak pernah memakai mobil itu.
Naara kembali menarik nafas sebelum membuka pintu rumahnya. Dan memantapkan diri untuk masuk.
Gelap.
'Mungkin udah pada tidur' Batin Naara.
"Apa selama ayah ga pulang kamu selalu pulang malam seperti ini?" Naara tidak terkejut, justru Naara akan terkejut bila ia dengan mudah kembali ke kamarnya tanpa sepengetahuan ayahnya.
"Pulang sama siapa? Kenapa mobilnya gak pernah dipake?" Naara masih diam membelakangi sang ayah.
"Begini kelakuan kamu? Pacaran dan pulang malam? Kamu kira ayah gak liat tadi pagi kamu dijemput pacar kamu, dan barusan juga kamu diantar pacar kamu kan? Ayah menyekolahkan kamu untuk belajar, bukan pacaran." Naara memejamkan matanya berusaha tidak terpancing emosi. Lalu perlahan ia berbalik menatap ayahnya.
"Ayah, Naara capek. Naara mau istirahat dulu ya." Ujar Naara dengan tersenyum.
"Sebenarnya selama ini apa sih yang ibu kamu ajarkan? Atau apa ia pernah ngajarin kamu atau ngasih tau kamu? Jangan-jangan dia yang mengajarkan kamu begini? Ibu kamu gak becus." Naara yang hendak berjalan ke tangga kemudian berhenti dan menatap ayahnya.
Tak ada lagi senyuman, Naara menatap tajam ayahnya itu. Tangannya terkepal erat. Air mata perlahan turun membasahi pipinya.
"Shut up dad. You don't know me. You don't know mom. Why are you back? If you don't know what am I doing, just shut your mouth. Jangan ikut campur urusan Naara. Dan berhenti nyalahin ibu atas apa yang gak dia lakuin. It's all your fault." Ucap Naara yang kemudian berlari ke kamarnya.
'You don't know me, I'm doing this for you. If you don't know what am I doing, just be silent. Jangan ikut campur urusan ayah, kamu cuma anak kecil yang gak tau apa-apa.' Kembali bayangan kejadian yang lama itu kembali, saat dimana Naara merasakan patah hati pertamanya. Sepuluh tahun yang lalu.
Dibalik pintu kamar itu, Naara menangis. Meratapi apa yang baru saja terjadi padanya.
Biasanya Naara tidak pernah hilang kendali seperti tadu, ia akan bersabar jika ayahnya memarahinya. Tapi itu tidak berlaku ketika ayahnya membahas ibunya dengan menyalahkan wanita itu. Padahal Naara begitu karena ulah ayahnya.
Lalu tiba-tiba ponselnya berbunyi, membuat Naara berhenti menangis dan memeriksa siapa gerangan yang mengiriminya pesan.
Itu Orion. Ia bilang besok ia akan menjemput Naara untuk berangkat sekolah. Naara membalas pesan itu dan menyetujuinya. Lagipula apa salahnya toh ia hanya berteman dengan Orion.
Seketika Sana teringat memar di tubuh Orion. Sana hendak menanyakan soal luka memar itu.
'Gue tadinya mau nanya soal luka lo. Keliatan banget. Lo gapapa kan?' Ketik Naara pada aplikasi chatting berwarna hijau dan berlogo ponsel itu.
Namun pada akhirnya, pesan itu tak pernah ia kirim. Naara melempar ponselnya ke atas kasur dan memilih membersihkan tubuhnya untuk kemudian segera tidur.
Orion janji akan menjemputnya besok.