Arga dan Saiga VS Alto
Serangan angin kuat yang dilakukan pria berkacamata itu membuat Arga dan Ayahnya langsung terdesak mundur. Rupanya mereka sudah merencanakan semuanya saat Saiga sedang membuat lingkaran angin untuk berlindung dari serangan gadis Noa tadi. Pria bernama Alto itu mundur sesaat, mengambil langkah aman untuk berhadapan dengan dua orang Urya seperti dirinya.
Arga dan Ayahnya menatap waspada. Arga sebenarnya sangat khawatir dengan Kazo yang harus berhadapan sendiri dengan gadis Dagger itu. Tapi itu mungkin bisa menjadi awal yang bagus bagi Kazo untuk memahami kekuatannya sendiri.
Dan Arga percaya Kazo tidak akan kalah. Karena dia selalu dijuluki sebagai bocah cerdas yang mudah memahami dan menghafal apapun dalam sekali lihat.
Pria berkacamata itu berdiri di salah satu jalan yang berada di seberang, di mana Arga dan Saiga berada. Mungkin jaraknya sekitar sepuluh meter, terpisah oleh air laut yang sejak tadi tampak bergolak akibat pertempuran Kyuron dan Lana.
Dibandingkan dengan gadis itu, sepertinya pria tidak terlalu suka dengan keributan. Itu bisa dijelaskan dari ekspresi wajahnya yang sejak tadi selalu saja datar dan kaku.
"Jadi dia juga seorang Urya?" tanya Arga sambil terus menatap waspada pada pria yang mengenakan kemeja berwarna merah gelap persis milik ayahnya.
Sebenarnya kemeja ini bisa dikatakan seperti seragam yang membedakan antara Bangsa Arya dan Rania. Bentuk dan modelnya sama, yang membedakan hanya warnanya saja. Hitam untuk Bangsa Rania dan Merah untuk Bangsa Arya. Tapi sekarang hanya para tetua atau orang yang berkedudukan tinggi saja yang masih memakai jenis pakaian itu.
"Ya, dia adalah Neptune Alto dan gadis berambut pendek tadi keponakannya, Neptune Lana," sahut Ayahnya.
"Jadi Ayah mengenalnya?"
"Kami dulu adalah teman," jawab sang Ayah yang langsung disambut wajah terkejut dari putranya.
"Teman?"
Saiga menatap pria itu tanpa berkedip, di matanya tampak terpancar sebuah kerinduan akan masa lalu indah yang pernah mereka alami dulu.
"Tibra Locana Saiga, sudah lama tidak jumpa bukan?" seru pria itu dengan suara berat yang terdengar santai dan juga halus.
Saiga mengangguk pelan. "Benar. Sudah lama sekali semenjak kau terpilih menjadi Penjelajah. Dan sejak saat itu kau tidak pernah kembali ke Porta Loka lagi."
Pria bernama Alto itu memberikan reaksi tak terduga dengan segaris senyum yang tampak diujung bibirnya. "Aku sudah mengambil keputusanku untuk menjaga Porta Loka dari dunia manapun. Dan sejak saat itu aku memutuskan untuk tidak kembali ke Antari."
Keduanya tersenyum, seperti sedang mengingat kembali kenangan di masa lalu. Pria berkacamata itu lalu menelengkan kepalanya sesaat pada Arga dengan kening berkerut." Dia mirip sekali dengan masa mudamu, apa dia putramu?"
"Ya. Dia Arga, putraku. Mungkin setidaknya kau harus tahu namanya. Tak kusangka setelah puluhan tahun kita harus bertemu di tempat seperti ini. Kenapa kau mengambil jalan ini Alto?"
"Aku tidak memilih Saiga, tapi itu sudah menjadi garis yang harus diambil oleh Bangsa Arya. Aku mempercayai apa yang juga dipercayai oleh para leluhurku dan aku tidak akan pernah mengubahnya. Aku cukup terkejut saat mengetahui bahwa kau yang menyembunyikan bocah itu. Kenapa kau melakukan itu Saiga?"
Saiga menatap lekat pada pria itu. Sikap dan perangainya masih sama dengan Alto yang dulu dikenalnya. Tapi perbedaan Bangsa dan juga keyakinan membuat mereka tidak bisa menempuh jalur yang sama.
"Karena akupun juga memiliki keyakinan Alto. Aku tidak tahu apakah anak itu akan menjadi penyelamat bagi Porta Loka atau malah akan menghancurkannya. Tapi meski begitu, tidak pernah sedikitpun rasa keyakinanku luntur pada anak itu. Dan aku sudah berjanji untuk melindunginya sampai aku membawanya kembali ke Porta Loka. Jadi kumohon jangan halangi jalanku, Alto."
Mendengar itu Alto tidak mengatakan apapun hingga beberapa saat. Pria itu masih tak bergeming di tempat, pikirannya berkecamuk mencoba memilah tentang jalan yang harus diambilnya.
"Maafkan aku Saiga. Tapi aku tidak bisa mengabulkan permohonanmu. Aku tidak akan pernah menganggapmu sebagai musuhku Saiga, tapi aku tetap akan membawa bocah itu kepada Yang Mulia. Apapun caranya, meski itu harus melawanmu."
Saiga lalu mendesah pelan. "Jadi benar-benar tidak ada jalan lain ya."
"Memang tidak ada. Lagipula sejak dulu aku juga selalu ingin bertarung denganmu. Jadi... Lebih baik kita mulai saja sekarang!" Alto berteriak sambil melebarkan kakinya mengambil langkah kuda-kudanya. Melihat itu Saiga langsung mengambil posisi waspada. Dia mengeluarkan tongkatnya yang memang selalu di sembunyikan dibalik kemejanya.
"Mundur Arga!" perintahnya.
"Tapi Ayah, aku juga..."
"Jangan membantahku dan tetaplah di sana! Ini adalah pertarungan tentang harga diri dan juga pertemanan. Lagipula, lukamu belum pulih sepenuhnya. Kau bisa terluka semakin parah jika tetap memaksa."
Saiga melirik pada Arga yang sebenarnya tidak setuju dengan keputusan sang Ayah. Namun, akhirnya Arga tidak mengatakan apapun dan langsung mundur beberapa langkah sambil menatap dua orang di hadapannya yang sudah siap bertempur.
Kedua orang itu tampak bersiap, menatap waspada dan saling meneliti satu sama lain. Mencoba membaca pergerakan apa yang akan mereka lakukan. Ini tentang harga diri Bangsa dan juga keyakinan masing-masing. Bukan tentang persahabatan yang harus hancur karena perbedaan yang menjadi batas diantara keduanya.
Setidaknya itulah yang masih tersisa dilubuk hati mereka. Meskipun akan berakhir dengan darah dan pertempuran, mereka masih tetap bisa bersahabat dengan menjaga Bangsa dan juga keyakinan masing-masing.
Alto melesat maju dengan kecepatan tinggi. Kedua tangannya terkepal kuat menarik udara di sekitar melalui celah-celah jarinya. Saiga juga ikut melesat dengan tongkat berada di tangan kanan yang menjadi tumpuan dari energi untuk melepaskan kekuatan anginnya.
Dua pusaran angin terbentuk saat keduanya mulai melancarkan serangan. Arga terbelalak menatap pusaran energi angin yang begitu besar di antara mereka berdua. Kekuatannya melahap dan menghancurkan dua jalan yang menjadi penghubung menuju Verittam.
Bahkan Arga sampai terdorong mundur karena kekuatan hembusan angin yang semakin lama semakin kuat dan berat. Arga memicingkan mata, tapi ia tidak bisa menemukan Ayahnya dan juga Alto karena pusaran angin yang mereka buat terlalu tebal seperti dinding. Arga benar-benar terbelalak takut, apa yang akan terjadi jika dua pusaran itu akhirnya bertemu?
Tapi sebelum semua itu terjadi, tiba-tiba Arga merasakan hawa dingin yang begitu kuat. Hawa dingin yang sama seperti yang ia rasakan saat pertempuran melawan Bangsa Arya di Aras. Suara air laut yang sejak tadi bergejolak mulai tidak terdengar, diganti dengan suara seperti kaca retak yang datang dari arah belakang. Dan saat ia menoleh, bukan laut biru yang menyambut matanya. Tapi hamparan lapisan es tebal membekukan seluruh lautan itu.
Kazo!