Happy reading!
Enjoy!
***
Kaki Mil yang kian melebar seiring langkahnya melaju, kini tengah memasuki terburu mansionnya. Kejadian mengerikan tadi membuat ia sedikit marah sekaligus kesal yang tak terkendali. Di sisi lain ia ingat akan pengabdian dan bantuan Phill terhadap hidupnya kini. Tapi perkataan Phill yang kurang ajar seolah membuat semua itu runtuh. Semuanya benar-benar kacau. Berantakan.
Western yang kala itu hendak menuju dapur melihat kepulangan Miler yang tidak biasanya. Miler selalu pulang larut malam. Tapi kini baru menjelang sore hari dan pria itu sudah kembali ke mansionnya dengan wajah yang menyiratkan ribuah amarah dan rasa pedih. Western tau jika kini tuannya itu sedang mendapat masalah. Wanita paruh baya yang rambutnya sudah beruban itu hanya mampu menatap lirih melihat betapa hancur dan kacaunya Miler saat ini.
Langkah Western kembali ke dapur dan menyelesaikan pekerjaannya. Setelah dirasa semua pekerjaan selesai, Western terburu menuju kamar Bella. Diketuknya berulang kali pintu kamar yang tertutup itu.
Bella yang kini sudah berdiri diambang pintu menatapi Western yang berwajah cemas. Gadis itu hanya mengenakan pakaian santai dengan rambut yang digelung ke atas. Mengekspose seluruh bagian leher jenjangnya.
Western menatap takut wajah Bella dengan sesekali menunduk dalam. Tubuh wanita paruh baya itu semakin bergetar hebat.
"Western? Ada apa?" suaranya panik dengan alis yang menyatu. Disentuhnya pundak Western lembut.
"Tuan sudah pulang," cicit Western memelan. Bella mengernyit dan terheran. Sebenarnya apa maksud dari ucapan Western. Memang apa yang harus dilakukan Bella jika Miler sudah pulang.
"Aku tidak mengerti apa maksudmu, Western." Bella sedikit menggeleng. Western mengangkat wajah dan menatap lirih Bella. Diraihnya lengan Bella dan mengusapnya lembut. Sorot mata Western mengartikan suatu permohonan.
"Western?-----"
"Apa kau ingin membantuku, nona?" ujar Western mendahului. Bella semakin berkerut heran. Beberapa kali kepalanya menggeleng tak paham.
"Tolong masuk dan temui tuan. Saya lihat sejak kepulangannya tadi wajahnya terlihat sangat kacau. Saya takut dia-----" menggantung. Lagi diusapnya lembut punggung tangan Bella.
"Saya mohon padamu nona. Tolong bantu saya, kau pasti bisa meredam emosi diwajahnya yang kalut." lanjutnya berkaca-kaca.
"Dia pulang dengan keadaan kacau?" tanya Bella memastikan. Western hanya mengangguk pelan.
"Tapi aku tidak tau dia kenapa. Jadi aku tidak bisa melakukan apapun." tolak Bella lembut. Bukan tak mau, tapi kembali rasa takut akan kejadian malam itu membuat nyali gadis itu selalu menciut.
"Tuan selalu merindukan sosok Ibunya yang penuh kasihsayang. Dulu ketika ia menangis, Ibunya yang selalu membuatnya mereda dan kembali tenang. Sikap lembut dan penuh kasihsayangmu-lah yang juga menjadi alasan kenapa tuan ingin membawamu ke mansionnya, meski kalian tidak saling mengenal. Aku mohon redakan emosi yang tersulut itu. Redam semua rasa sedih di wajahnya. Kau pasti bisa, nona. Aku percaya sikap lembutmu itu akan membuatnya sedikit tenang. Bekerja hampir berpuluh-puluh tahun di mansion ini membaut saya mengenal lebih banyak tuan semenjak ia kecil. Ia hanya membutuhkan kasihsayang dari orang-orang terdekatnya, yang mungkin semua itu sekarang terasa nihil dan tidak mungkin. Namun dengan kehadiranmu saya merasa yakin tuan akan mendapat kembali kasihsayang yang tulus itu. Saya mohon padamu." Western semakin mencekal kuat pergelangan Bella. Memohon sekuat tenaga agar gadis itu tidak menolak. Namun melihat dan mendengar penuturan Western akan kemarahan dan emosi Miler yang membludak seolah membuat keberanian gadis itu hilang.
"Saya mohon. Kau pasti akan baik-baik saja. Tuan tidak akan pernah menyakitimu. Sekali pun ia menginginkannya, tuan tidak akan pernah melakukannya padamu." lanjut Western.
Bella berusaha melerai cekalan Western di tangannya dan menjauhkan lengan wanita paruh baya itu. Bella memaksakan seutas senyuman hangat. "Tapi aku tidak berjanji. Akan ku coba. Jika amarahnya masih tersulut, maka aku tidak akan lagi mencobanya." pungkas Bella tenang. Hal itu juga membuat Western sedikit lega dan mengangguk patuh.
Kini langkah gadis itu menuju kamar yang sebelumnya ia tempati. Tepatnya kamar pria yang Western tebak emosinya sedang kacau itu. Setelah berada dan berdiri diambang pintu yang ber cat putih elegan itu, Bella hanya terdiam dan sedikit berpikir lagi. Bagaimana jika perkataan Western salah dan justru pria itu akan melampiaskan semuanya padanya.
Dengan sekali tarikan nafas Bella akhirnya memberanikan diri membuka knop pintu itu. Pintu tidak terkunci dan memuat Bella merasa lega karena tidak harus mengetuknya dan meminta si pemilik kamar untuk membukanya.
Langkah gadis itu memelan dan bahkan tidak terdengar suara derap langkah sama sekali. Langkahnya teratur dengan nafas yang masih teratur pula. Meski rasa takut dan cemas itu kembali datang, namun Bella berusaha menepisnya.
Dilihatnya dengan terkejut wajah Miler yang benar-benar berantakan. Ntah kenapa tapi Bella juga ikut merasakan betapa hancur dan kacaunya pria itu kini. Semalam dan pagi hari saat Miler pergi dari mansion, wajahnya masih baik-baik saja dan tenang. Namun kini apa yang terjadi. Sesuatu yang serius seolah sudah mempengaruhi mood dan kondisi pria itu.
Pandangan Bella beralih pada beberapa botol dan mariy*ana serta heroin yang berserakan di tepi ranjang dan lantai. Bella tau jika kini obat-obat itu merupakan narkotika yang cukup berbahaya bagi otak dan kesehatan. Bekerja di club untuk memenuhi kelangsungan hidupnya, membuat Bella sudah hafal dengan setiap jenis narkotika dan obat-obatan.
Tubuh Bella kembali bergetar takut. Namun ia berusaha terus melangkah mendekati keberadaan Miler yang terduduk di depan ranjang. Tepatnya di bagian bawah ranjang dan bersandar disana.
Melihat Miler yang masih terdiam ketika dirinya sudah ikut berjongkok dengan lutut yang menjadi topangan membuat Bella mengernyit. Gadis itu akhirnya menyentuh pelan dan lembut bahu Mil.
Sretttt!
Suara desisan angin yang ditimbulkan dari botol wine yang siap dilayangkan Miler pada Bella membuat gadis itu membuang wajahnya ke samping. Kini gadis itu kembali bergetar dan terdiam.
Miler yang melihat jika Bella yang ternyata menyentuhnya akhirnya pergerakannya tertahan diawang-awang. Miler menahan botol itu untuk tidak mengenai wajah Bella. Kembali pria itu menyimpan botolnya dan menatap kosong ke arah depan. Deru nafas yang sempat tertahan kini berhasil diloloskan Miler.
"Ada apa?" suara berat Miler memelan. Bella mendongak dan melihat pria itu sudah menyimpan kembali botol wine-nya. Gadis itu menarik nafas dan menghembuskannya lega.
"A—A-aku-----" suara Bella terputus seiring Miler yang kembali memalingkan tatapannya menatap wajah gadis itu. Bella hanya mampu menelan salivanya yang terasa pahit.
Miler semakin menghunus tajam dan menelik dalam manik gadis itu. "Keluar sekarang!" ucapan titahan itu akhirnya lolos. Miler kembali menajamkan tatapannya menakuti Bella. Gadis itu yang semakin takut hanya terus berusaha menahannya. Bella ingin membantu Western dengan melakukan apa yang ia bisa. Lagi pula Western sudah begitu baik padanya. Padahal Bella disini hanya orang asing, bukan nyonya besar. Tapi Western begitu menghormatinya.
"Ta—ta-pi-----"
"Tidak ada pengulangan! Keluar sekarang!!" menekan setiap katanya tegas.
"Mi—Mil-----" disentuhnya lembut pundak pria itu. Bella menatap sendu wajah pria yang kini tersentak dengan sentuhannya itu. Western bilang pria itu akan luluh dengan sikap lembut dan kasihsayangnya. Bella ingin tau apa hal itu benar atau hanya sebuah omongan belaka.
Perlahan dielusnya lembut pundak Miler yang kini terpaku itu. Tatapan pria itu masih menghunus dan tak kalah tajamnya. Namun Bella berusaha tidak peduli dan bersikap acuh akan tatapan itu. Kini tangan gadis itu terus mengusap, menyentuh pelan wajah Mil. Ditangkupnya wajah pria yang terlihat hancur itu. Airmuka dan airmata kini sudah menyatu dengan bau wine yang seperti sengaja disiramkan ke wajah tampannya itu. Bella menatap sendu dan lembut wajah Miler.
Puk!
Dikalungkannya kedua lengan gadis itu ditengkuk Miler. Bella kini ikut terduduk di samping Miler dengan tangan yang terkalung serta kepalanya yang bersandar di bahu Miler. Sungguh tindakan tiba-tiba itu membuat Miler teringat akan semua yang ia rindukan. Kini sentuhan penuh kelembutan itu pertama kali dirasakannya lagi setelah bertahun-tahun lamanya hilang.
Miler terpejam dan membayangkan kembali bagaimana dulu ia menangis dipangkuan Ibunya. Hingga semua itu harus direnggut oleh kedatangan kawanan mafia yang berusaha merebut kekuasaan sang Ayah dan mengakibatkan kedua orangtuanya harus tiada. Tanpa di duga airmata yang penuh kerinduan itu mengalir menyentuh pipi Miler, lalu terjatuh mengenai pucuk kepala Bella.
Bella yang merasa tubuh itu sedikit tenang akhirnya menarik kembali tubuhnya dan wajahnya dari bahu Miler. Tangannya yang semula juga terkalung kini sudah dijauhkannya. Bella menatap Miler dengan senyuman hangat.
"Kau tidak perlu sehancur ini ketika mendapat masalah. Seharusnya kau bisa menepis semua masalah hidupmu. Masalah harus takut padamu hingga ia tidak akan hadir dan membebanimu lagi. Kurang lebih itu yang dikatakan Ibu dan Ayahku dulu. Tapi aku juga percaya, jika aku bisa membuat masalah takut padaku, maka masalah itu tidak akan datang lagi padaku. Aku rasa kau juga harus berpikir seperti itu. Sebesar apapun masalah yang tengah kau hadapi kini, aku yakin kau bisa menghalaunya. Buat masalah itu selesai dan lenyap." Bella semakin menatap lembut dan tersenyum tulus. Semua yang dikatakannya kini adalah murni apa yang dikatakan kedua orangtuanya dulu padanya untuk menyemangatinya. Dan berharap Miler juga akan seperti itu. Karena lari dari masalah bukan hal yang benar. Masalah harus dihadapai. Tidak peduli resikonya besar dan sulit atau tidak.
Bella menepiskan senyuman terakhirnya sebelum kini ia berlalu dari kamar itu. Sebelum menutup pintu Bella kembali menoleh.
"Aku tau sebenarnya kau orang yang baik. Jadi bijaklah dalam menyelesaikan masalahmu." tersenyum hangat. Gadis itu kini keluar dan kembali menutup pintu rapat. Meninggalkan Miler yang kini terdiam mencerna setiap kalimat yang dilontarkannya. Suara lembut dan perkataan Bella seolah kobaran angin yang seketika meredam emosinya meski sudah tersulut dalam.
***To Be Continued***