Chereads / Geotesha / Chapter 1 - 1. Echa dan Vano

Geotesha

🇮🇩rillarose
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 4k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - 1. Echa dan Vano

Suasana ruangan dengan ciri khas meja hijau itu berubah riuh tatkala suara ketukkan palu terdengar sebanyak tiga kali. Dua sosok yang duduk dihadapan sang penentu keputusan menampilkan ekspresi berbeda; seorang yang nampak lebih dominan terlihat lega, sementara satu orang lainnya yang berpenampilan anggun tak memberikan ekspresi apapun selain hanya sebuah helaan nafas yang keluar.

"Rin, makasih dan maaf." Kata si dominan begitu berdiri dari posisinya ketika prosesi sidang sudah selesai. Tangannya terulur dihadapan sosok bernama 'Rin' itu. Tak ada lagi sambutan ataupun sebuah tatapan hangat seperti sebelumnya, hanya sebuah anggukan juga pengabaian.

Tangan si dominan yang sempat menggantung diudara, ditariknya kembali. Senyumnya tersungging maklum begitu punggung mungil itu turut serta meninggalkan ruangan yang menjadi saksi perpisahan keduanya.

"Vano." Sosok bernama Vano itu menoleh begitu didengar namanya diteriakkan begitu dirinya keluar dari ruang sidang.

"Lu nggak- eh?" Sosok si pemanggil tertegun ditempatnya begitu tubuh besar itu kini membawanya ke dalam dekapan hangatnya. Wanita itu bersikap maklum, lantas memberi sebuah tepukkan dipunggung tegap itu -mencoba memberi kehangatan juga kekuatan yang mungkin saja coba ia cari sejak tadi atau mungkin juga dihari lalu.

"It's okay. Everything will be fine, lu nggak perlu khawatir." Ulangnya berkali-kali yang diangguki oleh sosok itu, Geovano.

Geovano melepas pelukannya, memandang wanita dihadapannya lembut kemudian berucap- "Makasih mau nemenin gue ya, cel." Ucapnya gemas sembari mengacak-ngacak rambut lawan bicara dihadapannya.

"Ah sialan lu! Udah untung ditemenin, malah ngeberantakin!" Protes wanita itu kesal. Jemarinya dengan cepat menyentuh rambutnya, mencoba kembali merapihkan tatanannya ke bentuk semula.

"Yuk ah. Sakit kepala gue disini kelamaan."

"Eh tapi kak Arin-" belum selesai kalimatnya terucap, tubuh mungil itu sudah terlebih dahulu ditarik menjauh.

Geovano Theodore Allison, lelaki berusia 27 tahun itu akhirnya melepas statusnya yang entah kenapa setahun belakangan ini terasa begitu mencekik. Dulunya, ketika ia memutuskan untuk meminang sang 'mantan' istri, dia tak pernah merasakan keraguan terhadap dirinya maupun Arin. Ia yakin mereka bisa saling menguatkan dikeadaan apapun, saling berbagi kasih juga berbagi segala hal yang membebani. Namun, setahun belakangan semuanya berubah. Tak ada lagi kehangatan, cinta, bahkan tak ada lagi cara bicara yang dilakukan secara baik-baik. Semuanya selalu berakhir menjadi caci maki.

"Kamu yang nggak sadar sama diri kamu sendiri!" Vano masih ingat kerasnya teriakkan Arin hari itu. "Tolong kamu antar surat itu besok. Aku udah muak." Ucapnya final, meninggalkan ruangan dengan sebuah debuman pintu yang terdengar nyaring menggema.

"Cha-" Vano menghela nafas. Ditatapnya lamat wanita dihadapannya yang sedari tadi sibuk berkutat dengan laptopnya. "Gue lagi sedih lho, Cha. Lu nggak niat ngehibur gue?"

Lattesha Louis Dinata atau yang biasa dipanggil oleh Vano dengan sebutan Echa balas menatap pria itu, menelisiknya dari rambut hingga ke wajah. "Rambut lu rapih -klimis, muka lu juga seger-seger aja. Terus sedihnya dibagian mana?"

"Lu nggak tau ada pepatah 'orang yang terlihat baik-baik saja, menyimpan luka lebih banyak'?"

"Tau."

"Terus kenapa masih diem?"

"Hhh." Echa menghela nafas. Lelaki dihadapannya ini benar-benar terlihat seperti bocah 5 tahun yang sedang merengek sekarang, dan jika Vano sudah seperti ini dia bisa menjadi orang yang sangat menyebalkan. "Lu butuh dihibur kayak apa? Gue nggak pernah menghibur seseorang entah itu yang patah hati karena putus ataupun kayak lu sekarang... Duda."

"Duda keren tepatnya." Mata Echa mengerling jengah. Ini sebabnya dia nggak memberikan penghiburan apapun yang sedari tadi diminta Vano padanya.

"Mana ada orang sedih abis cerai sepede lu ini? Lu doang emang."

Vano terkekeh, melihat wajah kesal Echa sebenarnya sudah menjadi hiburan tersendiri baginya. Oleh sebab itu ia memilih mengganggu wanita itu yang sedari tadi mengacuhkannya dan lebih memprioritaskan pekerjaannya.

Vano menyenderkan punggungnya pada sandaran sofa restoran tempat mereka berada sekarang. Mata tajamnya menelisik ke arah Echa yang kembali mengacuhkannya.

"Kabar si kembar gimana?" Echa yang sedang menyeruput minumannya spontan menyemburkannya akibat terkejut. Vano yang juga terkejut buru-buru menyerahkan beberapa lembar tissue dan membantu membersihkan tempat yang terkena sembur oleh Echa.

Echa mendelik begitu ia sudah selesai membersihkan dirinya. Merasa kesal sendiri dengan topik pembicaraan Vano yang terasa begitu tiba-tiba. "Baik. Sangat baik malah."

"Syukur deh." Vano dan Echa terdiam. Vano yang sudah terlalu paham dengan Echa yang akan menghindari topik jika sudah berkaitan dengan si kembar, juga Echa yang selalu merasa enggan untuk sekedar mengingat segala hal yang mungkin saja akan jadi topik tiba-tiba Vano.

Vano masih terdiam dibalik roda kemudi. Diamatinya dengan seksama rumah bergaya minimalis dengan hamparan hijau dihadapannya sebelum memutuskan untuk turun dari mobil Range Rover hitamnya.

Sudah cukup lama ia tak datang berkunjung kesini semenjak sibuk mengurusi keperluan perceraiannya. Maka dengan waktu yang luang, juga keberadaan sang tuan rumah yang ia yakini pasti sedang kerepotan, Vano memutuskan memasuki pekarangan rumah dengan suasana yang terasa hangat juga hijau itu.

Ditekannya bel sebanyak tiga kali hingga sebuah bunyi kunci terbuka menandakan jika sang pemilik rumah akan segera menyambutnya. "Lho? Lu ngapain-"

Vano tersenyum sumbringah begitu mendapati wajah masam Echa lah yang menyambut kedatangannya. Penampilan wanita itu terlihat santai; memakai daster dengan rambut yang dicepol menggunakan jepitan rambut. Beberapa anak rambut yang tak bisa dicakup oleh jepitannya menyembul berantakan sama seperti poni belah duanya.

"Yang bener tuh 'selamat datang, Vano!' Lu nggak suka ya gue melipir kesini?" Ucap Vano yang dengan tidak tahu malunya sudah masuk ke dalam. Mengabaikan seluruh kalimat protes yang diberikan sang pemilik rumah yang siapa lagi jika bukan Echa.

"Kesayangan gue mana?" Vano akhirnya berbalik badan menghadap Echa yang kini justru terhuyung akibat menabrak tubuh besar Vano yang tiba-yiba berhenti.

"Duh badan segede gaban pake ngerem mendadak segala." Echa berdecak sebal, memegangi keningnya.

"Ya lagian lu ngapa ngekorin gue, Cha? Udah tau badan kecil mungil macem liliput."

"Heh!"

"Duh Cha! Ampun ampun. Iya gue yang salah." Vano mengerang kesekitan begitu Echa dengan tidak manusiawinya memberikan pukulan bertubi pada lelaki itu yang kini sedang berlari berusaha menghindar dengan gelak tawanya yang memenuhi rumah.

Keduanya berhenti bergelut begitu suara tangisan bayi menggema memenuhi ruangan. Echa dengan cepat menuju lantai dua, menuju kamar bernuansa putih biru dengan beberapa perlengkapan bayi didalamnya.

Wanita berusia 27 tahun itu dengan sigap meraih bayi yang menangis dikeranjang ujung, sementara Vano turut membantu menggendong bayi satunya yang turut serta menangis akibat mendengar tangisan saudaranya.

"Ssshht sshht sayang bunda." Echa menimang-nimang tubuh mungil itu. Memberi kecupan beberapa kali pada kening si kecil juga tepukkan hangat dipunggungnya. Vano melakukan hal yang sama tanpa merasa canggung. Dirinya sudah terbiasa menolong Echa untuk menjaga kedua anaknya jikalau sang nenek sedang tidak berada dirumah seperti sekarang.

"Ssshht sshht Marvel sayang pasti kaget ya. It's okay, bunda disini." Echa menghampiri Vano, tangannya juga turut serta menepuk-nepuk punggung mungil itu ketika dirasa bayi dipelukkannya sudah mulai tenang.

Marvel dan Marsel Louis Dinata. Putra kembar Lattesha Louis Dinata, keduanya baru menginjak usia 6 bulan seminggu yang lalu, salah satu alasan Vano berkunjung ke rumah ini. Pria itu berniat memberikan selamat pada perkembangan dua bayi yang sudah ia rawat sejak tiba di dunia.

"Marsel cepet antengnya ya." Tangan besar Vano mengusap punggung bayi digendongan Echa lembut. Senyumnya terkembang setiap kali melihat wajah keduanya, salah satu hal yang selalu bisa membangkitkan mood Vano.

"Gampang anteng juga gampang kaget. Moodnya cepet banget berubah. Yuk ah." Echa melangkah lebih dulu, membawa Marsel menuju ruang keluarga karena kedua anaknya sudah terlanjur bangun.

"Mau makan apa?" Tanya Echa to the point setelah merebahkan anaknya diatas karpet bulu dengan kasur bayi diatasnya. Vano ikut merebahkan Marvel juga dirinya, mulai bermain dengan sepasang anak kembar itu.

"Apa aja deh. Yang penting kenyang. Tuan akan menerima segala masakkan bibi kok." Cengir Vano yang dihadiahi sebuah timpukan bantal sofa dari Echa.

"Kalo nggak ada si kembar udah gue hadiahi kata-kata kasar."

"Kasar. Tuh udah gue bantu."

"Vanoooo!"

"Hahaha"

•••••