Dentang lonceng besar gereja menggema menjadi suara latar minggu pagi yang nampak cerah. Burung-burung kecil menyibak bulu, terbang sesuai kehendak hati kemudian mendarat demi mengistirahatkan diri juga mengamati lalu lalang makhluk-makhluk besar yang sibuk mematut diri sebelum memasuki gedung.
Satu dua orang nampak masih setia berdiri didepan pintu masuk, menunggu teman-teman atau juga keluarga yang akan ikut andil untu meramaikan tempat suci yang selalu mereka kunjungi di akhir pekan. Beberapa lainnya mulai memenuhi tempat kosong, mengambil posisi ternyaman sebelum acara kebaktian pagi dimulai.
Vano merupakan salah satu jemaat yang masih dengan setia berdiri didepan pintu. Helaan nafas beberapa kali ia hembuskan, merasa sedikit bosan karena harus berdiri selama 15 menit bagaikan anak hilang yang mencari orang tuanya. Vano melirik arloji ditangan kanannya –sebuah hadiah dari Echa yang tak pernah ia ganti padahal sudah 5 tahun berlalu, pukul sudah menunjukkan 7.45 dan wanita itu masih belum muncul padahal 15 menit lagi kebaktian akan dimulai.
Vano merogoh sakunya, berniat mengambil ponselnya untuk menghubungi Echa, namun niatnya ia urungkan ketika melihat sebuah mobil hitam yang sangat ia kenali memasuki pelataran parkir gereja. Lelaki itu menghela nafas lega, segera dilangkahkan kakinya menuju ke arah mobil itu terparkir.
Vano mengetuk kaca mobil sebanyak tiga kali. Senyumnya terpatri begitu pintu itu kini sudah terbuka menampilkan wanita bertubuh mungil dengan dress floral selutut berwarna putih.
"Lama banget. Gue ampe jompo nungguin lu." Vano menyambut Echa dengan gerutuannya, sementara wanita itu hanya tertawa menanggapi kalimat sahabatnya.
"Makanya rasain jadi ortu. Nanti lu juga tahu betapa ribetnya ngurus anak sampe bikin telat."
"Nyindir nih?"
"Bercanda kok bercanda. Yuk ah, udah mau mulai tuh." Echa segera menarik tubuh besar Vano, membawa keduanya memasuki aula gereja yang sudah mulai dipenuhi para jemaat.
❇
Suasana sejuk khas alam memenuhi netra begitu Echa dan Vano memasuki salah satu café yang berada tak jauh dari area tempat tinggal orang tua Echa. Keduanya memutuskan untuk bersantai setelah menyempatkan diri mengantar mobilnya dan bergabung dengan Vano untuk menghabiskan waktu bersama setelah cukup lama tidak berkomunikasi secara intens.
Keduanya mengambil posisi dekat jendela kaca besar yang menghadap langsung ke arah taman café yang begitu terawat.
"Suka?" Tanya Vano langsung begitu dilihatnya Echa yang kini tengah tersenyum menatap ke luar jendela.
Echa menoleh dengan senyum sumbringah menatap lelaki dihadapannya, mengangguk antusias. "Kok lu tau sih ada tempat kayak gini deket rumah mamah?"
Vano menyisir rambutnya kemudian tersenyum bangga. Merasa puas dengan respon yang diberikan oleh wanita itu. Tidak sia-sia usahanya begadang hingga larut malam untuk mencari tempat bagus untuk dikunjungi.
"Vano gitu. Apa sih yang nggak gue tau?" Vano menaik turunkan kedua alisnya.
"Dih. Nggak usah senyum gitu lu, kayak om-om pedo tau." Echa tertawa melihat ekspresi Vano yang kini sudah berubah masam. Lelaki itu berdecak sebal kemudian dengan bibir yang sedikit maju –mencibir Echa, ia membuang muka ke arah lain. Bersikap seolah ia sedang merajuk.
Echa tak menggubris lagi, lebih memilih memesan beberapa menu yang bahkan ia sendiri tak memerlukan pendapat Vano tentang apa yang ingin pria itu makan mengingat dirinya sudah paham betul segala hal yang Vano sukai dan tidak sukai. Echa memberikan senyum manisnya pada pelayan yang mencatat pesanannya juga berucap terima kasih ketika menyerahkan kembali buku menu itu yang direspon dengan ramah oleh si pelayan.
"Ama pelayan senyumnya manis banget. Giliran sama gue malah dicuekkin."
"Lu nya ngeselin sih."
"Emang kalo gue manis bakal lu sayang-sayang?"
"Geli yang ada."
"Nahkan. Jadi sia-sia juga dong gue bersikap manis kalo ujungnya juga bakal dijijik-jijikin."
"Lu sakit ya?" tanya Echa mulai sebal akan sikap Vano yang sedari tadi suka membual. Ya walaupun dihari biasanya ia juga bersikap seperti itu. Tapi menurut Echa, pria itu jadi lebih aneh hari ini.
"Nih rasain sendiri." Vano menarik pergelangan tangan Echa tiba-tiba, membawa telapak tangan wanita itu menyentuh dahinya yang suhunya dirasa cukup normal. "Kalo gue sakit, dari pada jalan kesana kemari ya mending tidur dirumah."
Echa menarik tangannya, kembali ke posisi duduk semula. "Kali aja. Abisnya lu jadi berkali-kali lipat menyebalkan dari biasanya."
Vano hanya mengendikkan bahunya. Atensinya kini mencari fokus lain ke arah taman yang kini mulai nampak ramai. Anak-anak kecil nampak berlarian mengejar satu sama lain. Orang tua yang nampak mengawasi sembari menikmati suasana café juga makan siang mereka. Beberapa muda-mudi yang nampak tertawa senang, seperti sedang mendiskusikan sesuatu yang lucu hingga bisa membuat mereka tertawa terpingkal-pingkal.
Ah. Vano jadi teringat ketika dirinya masih remaja dulu. Dirinya yang lebih sering berada diluar ketimbang dirumah, memilih menghabiskan waktu bersama teman-teman juga menemani Echa kemanapun ia akan pergi. Mereka punya lingkar pertemanan yang nyari sama sejak sekolah, jadi lebih mudah untuk keduanya terus bersama diluar jam sekolah. Hal itu juga yang membuat Vano dan Echa disebut memiliki hubungan 'bestfriend zone' lantaran keduanya yang memiliki chemistry bagus ketika bersama tetapi tak bisa merealisasikan hubungannya ke tahap lebih dari seorang sahabat demi mempertahankan kedudukan satu sama lain.
Menyebalkan. Pada awalnya Vano berpikir begitu. Tapi lama kelamaan, ketika dirinya dia berada di usia dimana ia sudah tak bisa lagi mendengar celotehan teman-temannya sesering dulu, ia jadi sedikit menyesal dan menganggap candaan mereka pada akhirnya menjadi salah satu kenangan yang cukup berkesan baginya. Entah untuk Echa, karena ia tak pernah tau pandangan Echa tentang candaan kekanakan itu.
"Kalo Marvel sama Marsel udah gede, kayaknya mereka bakal lari-larian nggak ada henti kayak anak-anak itu deh." Vano melirik Echa yang kini sedang menopang dagunya, tersenyum manis sembari menatap gemas ke arah anak-anak yang dengan tawa riangnya terus berlarian menelusuri taman.
Vano turut tersenyum. Membayangkan dua bayi kecil itu tumbuh kemudian berlarian kesana kemari dengan tawa mereka yang khas seperti sebuah keajaiban tersendiri bagi dirinya. Sebuah keajaiban jika dirinya bisa ada disana, menyambut keduanya dengan senyum sumbringah juga mendapatkan sebuah pelukkan hangat setiap kali kedua anak itu menyambutnya ketika datang ke rumah.
"Pasti menyenangkan ketika itu terjadi." Jawabnya dengan senyum lembut terpatri membuat Echa yang melihatnya juga tersenyum semakin lebar.
❇
Vano membaringkan tubuhnya dikasur empuknya. Netranya menatap langit-langit kamar bernuansa putih dan hitam itu dengan sebuah senyum terpatri diwajahnya. Mengingat tentang percakapan yang terjadi antara dirinya dan Echa saat berada di café tadi membuatnya jadi berpikir, akan seindah apa kehidupannya jika mamahnya masih hidup.
Ia ingin bertanya banyak hal pada sang ibu yang sudah bersusah payah melahirkan juga mengurusnya. Meski keduanya tak memiliki waktu yang cukup lama untuk menghabiskan waktu bersama, setidaknya mereka memiliki waktu-waktu yang cukup bahagia juga hangat. Jika diputar ke dalam bentuk video, mungkin itu akan terlihat seperti film keluarga yang begitu menyenangkan. Ibunya yang begitu menyayangi juga memprioritaskannya dan ayahnya yang selalu bangga menyebut dirinya sebagai pahlawan kecilnya.
Tapi sayang sekali itu semua hanya tinggal kenangan. Semua kehangatan yang dulu ia dapatkan bahkan sudah lama menghilang, turut terkubur bersama jasad ibunya yang dingin juga kaku. Bahkan ayahnya yang dulu selalu berceloteh banyak hal dan membanggakannya sudah berubah menjadi sebuah mesin pekerja keras yang tak memiliki hati. Semuanya sudah terlalu dingin juga beku untuk bisa dia cairkan kembali.
Rasanya sudah begitu lama Vano merindukan keluarga kecilnya yang hangat. Jika saja bukan karena Echa dan keluarganya yang selalu berada disisinya sejak dulu, mungkin sekarang ia sudah berubah menjadi orang bodoh yang selalu melakukan hal-hal buruk untuk menghilangkan stressnya. Mungkin Vano sudah menjadi seorang pemabuk juga pecandu jika saja ia tak memiliki keluarga Dinata disisinya.
"Gue tau lu itu nggak pinter-pinter amat, tapi jangan ngelakuin hal bego juga buat lari dari masalah lu. Vano, lu masih punya gue bahkan ortu gue selalu ngekhawatirin lu. Awas aja kalo lu ngelakuin hal bodoh. Gue akan jadi orang pertama yang nyeret lu kekuburan nyokap lu dan ngasih tahu betapa anaknya ini bahkan nggak bisa nepatin janji untuk hidup dengan baik. Lu mau nyokap lu disurga sana sedih?"
Vano tersenyum setiap kali mengingat kata-kata yang terlontar dari mulut Echa dan betapa garangnya muka wanita itu saat itu. Echa yang dulu nampak begitu gembul dengan pipinya yang penuh yang selalu menjadi target cubitan Vano. Echa yang selalu nampak bersemangat setiap kali disuruh memecahkan soal matematika yang menurut anak-anak lain sulit. Echa yang berpenampilan tomboy namun tetap memiliki hati yang selembut kapas.
Mengingatnya membuat Vano sadar jika dirinya benar-benar sudah pergi terlalu jauh dari masa lalu. Bagaimana dirinya yang sekarang tumbuh begitu baik juga sukses merintis karirnya. Juga bagaimana Echa tumbuh begitu baik menjadi wanita cantik yang nampak begitu anggun, juga lebih lembut semenjak si kembar datang mengisi kerumpangan dihatinya.
Vano bersyukur. Pria itu bersyukur untuk setiap oksigen yang memenuhi paru juga darah yang selalu berdesir akibat dipompa oleh jantungnya. Ia bersyukur atas setiap waktu juga momen yang ia miliki hingga sekarang. Ia bersyukur atas kebaikkan keluarga Dinata yang selalu memperlakukannya seperti anak sendiri juga Echa yang selalu begitu berbaik hati menuntunnya untuk menjadi sosok yang sekuat sekarang. Vano bahkan yakin jutaan kalimat terima kasihpun takkan bisa mengungkapkan betapa ia bersyukur atas segala kebaikan Echa ataupun keluarganya.