Chereads / Breaking the world / Chapter 2 - Chapter 2. Gerbang Menuju Keajaiban Aluxia

Chapter 2 - Chapter 2. Gerbang Menuju Keajaiban Aluxia

Pintu gerbang Aluxia menjulang tinggi, ukiran-ukiran rumit berhias batu permata berkilau menyambut kedatangan Brenn dan Paman Sam. Di atas gerbang, patung singa bersayap emas mengaum seolah menjaga pintu masuk ke dunia sihir yang misterius. Udara kota terasa berbeda, semilir angin membawa aroma rempah-rempah eksotis dan gemericik air mancur yang tak terlihat.

Konon, Aluxia merupakan salah satu dari lima kota tertua di benua ini. Dikatakan dalam sejarah, Aluxia adalah benteng terakhir umat manusia saat menghadapi invasi iblis. Dikisahkan, para dewa turun ke bumi, menganugerahkan kekuatan dan menanamkan benih sihir kepada hati manusia, yang kemudian digunakan untuk mengusir para makhluk kegelapan. Dari reruntuhan perang, Aluxia bangkit sebagai simbol kemenangan dan harapan.

Brenn terkesima. Mata hazel-nya membulat, menatap kagum setiap sudut kota. Gedung-gedung menjulang tinggi dengan arsitektur unik, bercampur aduk antara gaya gothic dan oriental. Jendela-jendela kaca berwarna menampilkan pantulan cahaya matahari yang berkilauan, menciptakan ilusi warna-warni yang memukau.

"Lihatlah, Brenn," ujar Paman Sam, senyum lebar terukir di wajahnya yang penuh uban.

"Aluxia adalah kota di mana mimpi menjadi nyata. Di sini, sihir adalah bagian dari kehidupan sehari-hari."

Brenn mengangguk, takjub. Ia melihat orang-orang berlalu lalang dengan pakaian yang mencolok, ada yang mengenakan jubah panjang berumbai, ada pula yang memakai kostum ala penyihir dengan peralatan item sihir yang aneh. Beberapa di antara mereka membawa tongkat sihir yang menyala dengan cahaya berwarna-warni. Ada juga orang biasa, pengelana maupun pedagang yang sekedar menjalankan rutinitasnya.

"Kau akan tinggal bersama Bibi Elara di sini," lanjut Paman Sam. "Dia adalah seorang penyihir ulung dan akan mengajarkanmu banyak hal tentang sihir."

Hati Brenn berdebar kencang. Akhirnya, ia akan belajar sihir seperti yang selalu ia impikan. Namun, saat itu juga rasa sedih menyergapnya.

"Terimakasih paman telah mengantarku, Aku rasa mungkin aku akan merindukanmu, Paman," lirih Brenn.

Paman Sam mengusap rambut Brenn lembut. "Kau bisa saja, Aku juga akan merindukanmu, Nak. Tapi ingat, kau harus rajin belajar dan selalu berbuat baik. Aku akan mengirimkan surat dari ibumu untuk kedepannya"

"Salamkan kepada ibu ku aku akan baik baik saja disini" senyum Brenn.

Mereka berpelukan erat, Setelah beberapa saat, Paman Sam melepaskan pelukannya. "Sekarang, pergilah dan jelajahi kota ini. Bibi Elara sudah menunggumu."

Dengan berat hati, Brenn melangkah masuk ke dalam kota. Paman Sam melambaikan tangan hingga sosoknya hampir menghilang di antara kerumunan orang.

Brenn baru ingat. Bagaimana dia bisa menemukan bibi Elara di kota yang sebesar ini? Hingga Brenn pun berteriak

"Paman !!! Bagaimana aku bisa menemukan bibi Elara?"

Mendengar itu, paman Sam berteriak dengan lantang "tidak ada yang tidak tau bibi Elara di Aluxia ini"

Akhirnya perlahan paman pun tidak terlihat tanpa meninggalkan informasi yang jelas kepada Brenn.

Dengan berbekal informasi yang minim tentang bibi Elara, Brenn melangkah lebih jauh memasuki jantung kota Aluxia. Suara gemuruh keramaian semakin jelas terdengar. Aroma rempah-rempah, roti panggang, dan berbagai makanan eksotis memenuhi udara.

Bangunan-bangunan megah berjejer di sepanjang jalan utama, dihiasi dengan ornamen khas kota Aluxia dengan tembok tembok penuh dengan marmer. Ada toko-toko yang menjual ramuan ajaib, perlengkapan sihir, hingga buku-buku kuno tentang ilmu sihir.

Di tengah-tengah keramaian, Brenn tidak bisa mengalihkan pandangannya dari sebuah patung monumental yang berdiri kokoh di pusat kota. Patung itu menggambarkan seorang kesatria gagah berani yang menunggangi makhluk legendaris. Kesatria tersebut memegang pedang yang terhunus ke udara, seolah siap menghadapi segala ancaman.

Makhluk tunggangannya memiliki tubuh yang panjang dan bersisik, menyerupai naga namun dengan kaki yang lebih kuat dan cakar yang tajam. Mata makhluk itu memancarkan cahaya biru berkilau, seolah menyimpan kekuatan yang luar biasa.

Brenn terkesima melihat detail patung tersebut. Ukiran-ukirannya sangat rumit dan indah, menggambarkan adegan pertempuran epik antara manusia dan makhluk jahat. Patung itu terbuat dari batu hitam yang berkilau di bawah sinar matahari, seolah menyerap kekuatan magis dari kota Aluxia.

Itu adalah Patung Penjaga," ujar seorang gadis cantik dengan rambut perak berkilau yang diikat menjadi kepangan. Matanya berwarna biru cerah seperti langit musim panas, dan kulitnya seputih susu. Gadis itu mengenakan gaun panjang berwarna ivory muda yang berkilauan, membuatnya terlihat seperti seorang putri dari dongeng. "Namaku Anticlea " ucapnya sambil tersenyum manis.

Brenn terpesona oleh kecantikan Anticlea. "Anticlea ? Namamu indah sekali," pujinya.

"Terima kasih," balas Anticlea dengan nada riang. "Aku sering datang ke sini untuk mengagumi patung ini."

Brenn mengangguk, semakin tertarik dengan cerita Anticlea. "Bolehkah aku bertanya, siapa sebenarnya kesatria itu?"

Anticlea mengangguk antusias. "Tentu saja! Dia adalah seorang pahlawan yang sangat berani dan kuat. Dia memimpin umat manusia dalam perang melawan iblis dan berhasil mengusir mereka dari benua ini. Patung ini dibangun untuk menghormatinya dan menjadi simbol kekuatan dan keberanian bagi seluruh warga Aluxia."

Brenn semakin kagum dengan sejarah panjang dan misterius kota Aluxia. Ia membayangkan betapa hebatnya pertempuran yang pernah terjadi di tempat ini."

"Aku ingin sekali menjadi seperti dia," ujar Brenn dengan mata berbinar. "Kuharap suatu hari nanti aku bisa menjadi penyihir yang kuat dan membela kebenaran."

Anticlea tersenyum lembut. "Aku yakin kamu bisa, Brenn. Semua orang memiliki potensi untuk menjadi penyihir yang hebat, asalkan mau belajar dengan tekun dan memiliki hati yang baik."

"Omong-omong, kamu pendatang baru disini?" tanya Anticlea matanya berbinar penasaran.

Brenn mengangguk, senyum tipis terukir di wajahnya. "Iya, aku baru saja sampai di Aluxia. Apakah aku terlihat seperti orang luar"

"Maaf bukan itu maksudku, karena dari aksen bicaramu, kamu sepertinya bukan asli penduduk asli Aluxia" jawab Anticlea dengan nada sopan.

"Apakah cara bicaraku sangat aneh?" Brenn menggerutkan dahinya dengan menunjukan mimik wajah yang sangat lucu.

"Haha, kamu lucu sekali" saut Anticlea dengan senyum kecil sembari menutupi mulut dengan tangannya. Lalu Ia melanjutkan. "Jarang jarang Aku berbicara dengan orang lain dengan aksen bahasa seperti yang kamu tuturkan"

"Memangnya kamu dari mana?" Tanya Anticlea sekali lagi. Kali ini lebih bersemangat.

"Desa paling utara, Desa Stalgod," jawab Brenn, sedikit ragu. Ia tidak yakin apakah banyak orang yang tahu tentang desanya.

"Stalgod!" seru Anticlea, matanya membulat. "Wah, tidak kusangka bertemu dengan orang dari desa itu di sini. Aku pernah mendengar banyak cerita tentang kuil Dewi Ceia di desa kalian."

Brenn terdiam sejenak. Ia tidak menyangka pembicaraan akan beralih ke kuil tua di desanya. "Kuil itu sudah lama ditinggalkan, kok," jawabnya pelan.

"Benarkah?" tanya Anticlea, suaranya terdengar sedikit kecewa. "Aku selalu ingin mengunjungi tempat itu. Konon, kuil itu menyimpan rahasia besar tentang asal-usul sihir di benua ini."

Brenn mengerutkan kening. "Rahasia besar?" tanyanya penasaran.

Anticlea mengangguk, matanya berbinar misterius. "Aku pernah membaca sebuah buku kuno yang menyebutkan bahwa di dalam kuil Dewi Ceia tersimpan sebuah artefak yang sangat kuat. Artefak itu konon bisa memberikan kekuatan tak terbatas kepada siapa pun yang memilikinya."

Brenn semakin tertarik. "Artefak apa itu?" tanyanya dengan penuh harap.

Anticlea tersenyum misterius. "Itu rahasia yang harus kau temukan sendiri," jawabnya sambil mengedipkan mata.

Percakapan mereka terhenti sejenak ketika mereka tiba di depan sebuah bangunan megah yang dihiasi dengan ornamen indah. "Ini dia, Akademi Sihir Aluxia," kata Anticlea sambil menunjuk ke bangunan tersebut. "Ayo masuk!"

Brenn mengikuti Anticlea memasuki gedung akademi. Di dalam, mereka disambut oleh suasana yang ramai dan penuh semangat. Para calon siswa berlalu-lalang, sibuk mengurus pendaftaran.

"Kau sudah membawa kartu pendaftaranmu?" tanya Anticlea kepada Brenn.

Brenn menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu harus mendaftar ke mana," jawabnya polos.

Anticlea terkekeh. "Jangan khawatir, aku akan membantumu," katanya sambil menarik tangan Brenn.

Mereka berdua akhirnya menemukan meja pendaftaran. Petugas pendaftaran, seorang wanita paruh baya dengan rambut perak, menyambut mereka dengan ramah.

"Nama kalian?" tanya petugas itu.

"Brenn," jawab Brenn.

"Anticlea," sahut Anticlea.

Petugas itu mulai memeriksa data mereka. "Baiklah, kalian berdua sudah terdaftar. Silakan mengikuti ujian masuk besok pagi."

Brenn dan Anticlea saling memandang dengan penuh semangat. Mereka tidak sabar untuk memulai petualangan baru di Akademi Sihir Aluxia.

Setelah beberapa menit kemudian, mereka perlahan keluar dari tempat pendaftaran akademi. Tak terasa hari mulai siang.

Langkah mereka terhenti didepan pintu masuk pendaftaran akademi.

"Omong-omong, kamu mencari siapa?" tanya Anticlea.

"Aku mencari Bibi Elara," jawab Brenn. "Dia adalah seorang penyihir dan aku akan menginap dirumahnya."

"Bibi Elara?" Anticlea mengerutkan keningnya. "Aku rasa aku pernah mendengar nama itu. Tunggu sebentar, aku akan coba mencarikanmu."

Anticlea mengeluarkan sebuah buku kecil dari tasnya. Buku itu terlihat kuno dan penuh dengan tulisan tangan yang indah. Ia membuka buku itu dan mulai membolak-balik halamannya dengan cepat.

"Ah, ketemu!" seru Anticlea. "Bibi Elara tinggal di menara sihir di ujung kota. Kamu bisa mencarinya di sana."

"Mungkin setelah ini aku akan pergi mencari rumah bibi Elara". Ucap Brenn

"Maaf, kali ini aku tidak bisa mengantarkanmu ke sana, karena hari sudah siang, mungkin sekarang Ibuku sedang mencariku," sahut Anticlea dengan sedikit kecewa. Walaupun begitu, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Tapi terima kasih sudah mau menemani aku."

"Tentu tidak masalah. Kamu sudah banyak membantuku, terimakasih Anticlea" jawab Brenn dengan senyum kecil.

"Sama-sama," balas Anticlea sambil melambaikan tangan. "Baiklah, Brenn. Dan panggil aku Clea saja, ya?" ujar Anticlea sambil tertawa kecil. "Semoga beruntung dalam mencari Bibi Elara!"

Brenn mengangguk semangat. Ia melambaikan tangan pada Clea dan berlari menuju menara sihir. Semakin dekat dengan menara, semakin terasa aura magis yang kuat memenuhi udara. Menara itu menjulang tinggi, puncaknya hampir menyentuh awan.

Semakin dekat dengan menara itu semakin jelas kemegahan menara itu, meskipun langkah Brenn semakin berat. Karena desakan kuat aura mana yang membentengi menara tersebut.

Memang benar apa yang dikatakan paman Sam. Di kota Aluxia, tidak ada yang tidak mengetahui tempat tinggal penyihir bibi Elara. Karena menaranya sangat mencolok, seolah menjadi sebuah pilar pilar yang menghiasi keindahan magis kota Aluxia.