Chereads / Breaking the world / Chapter 3 - Chapter 3. Putaran Dimensi

Chapter 3 - Chapter 3. Putaran Dimensi

Sinar matahari sore menyaring lembut melalui dedaunan emas yang jatuh, menciptakan pola-pola cahaya yang menari di tanah yang tertutup lumut. Udara terasa hangat dan lembap, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang membusuk. Suara burung-burung berkicau memenuhi udara, menciptakan simfoni yang menenangkan.

Menara itu menjulang tinggi membuat gelap yang seolah menjadi payung Tempat Brenn berpijak.

Dengan sisa tenaga yang ada, Brenn akhirnya tiba di gerbang besi hitam yang menjulang tinggi, dua kali lipat tinggi manusia biasa. Sebuah ornamen perak berbentuk bulan sabit tergantung anggun di tengahnya. Jalan setapak batu bata berukir melingkar mengarah langsung ke pintu, seolah mengundang siapa pun yang berani melangkah masuk.

Saat jari-jarinya menyentuh ornamen perak, sebuah kekuatan misterius mengalir ke dalam tubuhnya. Dunia di sekitarnya berputar, dan ketika ia membuka mata, ia sudah berada di tempat yang berbeda.

Suara angin kencang menggemparkan pendengarannya, menggantikan keheningan sebelumnya. Pemandangan di hadapannya pun berubah drastis. Menara megah itu lenyap, digantikan oleh hamparan savana hijau yang luas dan sunyi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, hanya rerumputan yang melambai tertiup angin.

"Dimana aku ini?" gumam Brenn, suaranya terdengar parau. Pandangannya menyapu hamparan savana yang luas. Angin sepoi-sepoi membawa serta aroma rumput kering dan tanah yang basah, namun tidak bisa meredakan rasa bingung dan takut yang menguasai hatinya.

Namun, sebelum ia sempat memikirkan lebih lanjut, dunia di sekitarnya mulai berubah. Cahaya terang menyilaukan matanya, dan ketika ia membuka mata kembali, ia sudah berada di tempat yang berbeda. Bunga-bunga tulip berwarna merah menyala bermekaran mengelilingi air mancur, sementara kupu-kupu berwarna-warni beterbangan di antara bunga-bunga aster. Burung-burung berkicau merdu, seolah menyambut kedatangannya.

Brenn terkesima oleh keindahan taman itu. Namun, di balik keindahan itu, sebuah perasaan aneh menyelimuti hatinya. Ia merasa seperti sedang berada dalam mimpi, atau mungkin dalam dunia yang sama sekali berbeda.

Beberapa saat kemudian, dunia di sekitarnya berputar lagi. Ketika pandangannya kembali jernih, ia mendapati dirinya berada di sebuah padang pasir yang luas. Langit kelabu mendung seolah menekan dadanya, membuatnya sulit bernapas. Tanah di bawah kakinya retak-retak, kering dan tandus. Angin bertiup dingin, membawa serta debu-debu halus yang menusuk kulit. Tidak ada suara apapun, kecuali deru angin yang menyeramkan. Rasa takut dan kesepian mulai menguasainya. Di kejauhan, terlihat sebuah bangunan kuno yang menjulang tinggi, siluetnya tampak menyeramkan dalam kegelapan.

Brenn melangkah ragu menuju bangunan kuno itu. Setiap langkahnya terasa berat, seolah ada kekuatan tak kasat mata yang menariknya kembali. Angin semakin kencang, menerbangkan pasir hingga menyulitkan penglihatannya. Namun, rasa penasaran yang membara mendorongnya terus maju.

Setibanya di depan bangunan, Brenn tertegun. Pintu besar terbuat dari kayu tua, tanpa hiasan apapun, sangat kuno. Di atas pintu, terdapat sebuah jam pasir yang hampir habis pasirnya. Detik demi detik, pasir terus berjatuhan, seakan menghitung waktu yang tersisa.

Dengan hati-hati, Brenn mendorong pintu besar itu. Bunyi derit besi memenuhi udara, membuat bulu kuduknya meremang. Di dalam, ruangan gelap gulita. Hanya ada lilin yang menyala redup di atas meja batu. Di tengah ruangan, terdapat sebuah kursi singgasana yang terbuat dari tulang.

Seorang sosok berdiri di samping singgasana, membelakangi Brenn. Sosok itu mengenakan jubah hitam panjang, wajahnya tertutup bayangan.

"Akhirnya kau datang," suara berat terdengar dari kegelapan.

Brenn menelan ludah. "Kau siapa?" tanyanya dengan suara bergetar.

Sosok itu berbalik perlahan. Wajahnya pucat, mata merah menyala seperti bara api. Rambutnya panjang dan kusut, menutupi sebagian wajahnya.

"Aku adalah penjaga waktu," jawab sosok itu dengan suara serak. "Kau telah melewati tiga dunia, Brenn. Dunia cahaya, dunia kegelapan, dan dunia antara. Sekarang, kau harus memilih."

Brenn bingung. "Memilih apa?"

"Memilih jalanmu," jawab sosok itu. "Kau bisa kembali ke dunia asalmu, atau tetap tinggal di sini dan menjadi bagian dariku."

Brenn terdiam. Ia memikirkan semua yang telah dialaminya. Perjalanan panjang, dunia-dunia yang aneh, dan sosok misterius di hadapannya.

"Kenapa aku harus memilih?" tanya Brenn.

"Karena waktu tidak menunggu siapa pun," jawab sosok itu. "Jam pasir hampir habis. Keputusanmu akan menentukan nasibmu."

Brenn menatap jam pasir. Pasir terakhir jatuh, dan ruangan menjadi gelap gulita. Hanya suara angin yang berhembus kencang yang terdengar.

Tiba-tiba, sebuah tangan dingin menyentuh bahunya. Brenn tersentak, tubuhnya menegang.

"Anak muda, tahan nafasmu selama yang kamu bisa!". Suara wanita parau itu menggema di kegelapan, penuh dengan perintah.

Brenn terbelalak. Siapa wanita itu? Apa maksudnya? Dengan ragu, Brenn mencoba menahan napas, namun rasa takut dan bingung membuatnya sulit berkonsentrasi.

Ketika ia merasa hampir kehabisan napas, dunia di sekitarnya berputar dengan cepat. Cahaya menyilaukan memenuhi pandangannya, dan saat ia membuka mata, ia sudah berada di tempat semula. Didepan pintu menara sihir tempat kediaman bibi Elara.

Syukurlah kau keluar," ucap Bibi Elara, suaranya bergetar karena kelegaan. Tangannya erat menggenggam bahu Brenn yang basah oleh keringat dingin.

Brenn terbatuk-batuk, nafasnya tersengal-sengal. Pandangannya masih kosong, berusaha mencerna pengalaman surreal yang baru saja dialaminya. Tubuhnya terasa lemas, setiap inci ototnya berteriak kesakitan.

Bibi Elara dengan hati-hati mengangkat Brenn, tubuh ringkih pemuda itu terasa begitu ringan. Langkah kakinya tergesa, membawa Brenn masuk ke dalam menara. Cahaya remang-remang dari lilin menerpa wajah Brenn, menyoroti kepanikan yang masih terpancar dari matanya.

Beberapa jam kemudian, Brenn terbangun dengan perasaan bingung. Dia berada di kamar tidur yang asing, dikelilingi oleh perabotan kuno dan aroma wewangian yang aneh. Dia mencoba mengingat apa yang terjadi, tetapi kepalanya terasa berat dan pikirannya buram.

Tiba-tiba, pintu terbuka dan seorang wanita tua masuk. Dia memiliki rambut putih panjang yang terurai, mata biru yang tajam, dan kulit halus yang menawan. Dia mengenakan gaun hitam panjang yang terkesan kuno. Meskipun Bibi Elara umurnya sudah tidak muda lagi, namun wajahnya masih cantik berseri bagaikan gadis, ia terlihat awet muda.

"Selamat datang, Brenn," kata wanita itu dengan suara lembut namun tegas. "Aku Bibi Elara."

Brenn menatap wanita itu dengan bingung. Dia tidak ingat pernah bertemu dengannya sebelumnya.

"Aku tahu kamu bingung," kata Bibi Elara, seolah-olah membaca pikiran Brenn. "Aku akan menjelaskannya nanti. Tapi pertama-tama, kamu harus makan."

Dia membawa Brenn ke meja makan yang sudah tertata rapi dengan makanan lezat. Brenn makan dengan rakus, laparnya yang luar biasa membuat dia lupa pada rasa bingungnya.

Setelah makan, Bibi Elara membawa Brenn ke ruang tamu yang luas. Di sana, dia duduk di kursi berlengan dan menatap Brenn dengan serius.

"Sekarang, mari kita bicarakan tentang apa yang terjadi," katanya. "Kamu telah melakukan perjalanan ke dunia alam bawah sadarmu, Brenn."

Lalu bibi Elara melanjutkan. "Apa yang kamu lihat itu adalah bentuk perwujudan dimensi yang ada didalam hatimu. Aku sengaja memasang jebakan itu apabila ada seseorang yang dengan paksa memasuki menara ini, maka jiwa nya akan dipaksa masuk ke dunia alam bawah sadar mereka sendiri"

Brenn tertegun. Dia ingat dunia itu dengan jelas, suara angin, Padang pasir yang luar, dan tentu saja sosok penjaga waktu itu.

Lalu Brenn menyeletuk "maafkan aku karena aku tiba tiba mendatangi rumah bibi tanpa permisi".

"Tidak, itu bukan salahmu" jawab bibi Elara.

Lalu bibi Elara melanjutkan. "Untung saja aku datang tepat waktu, jika saja aku terlambat, mungkin jiwamu akan terjebak didalam bawah sadarmu, selamanya".

Mendengar ucapan bibi Elara, Brenn hanya terdiam. Lalu ia berkata "terimakasih bibi"

"Besok aku akan menegur paman Sammeth karena tidak memberitahu mu untuk melepas alas kaki sebelum masuk ke area menara sihir ini".

Hingga beberapa menit berlalu, mereka saling mengobrol untuk mendekatkan diri masing-masing. Brenn merasa semakin penasaran tentang pengalamannya di dunia lain.

"Bibi," panggil Brenn, "aku ingin bertanya tentang sosok yang kulihat di alam bawah sadarku. Siapa sebenarnya penjaga waktu itu?"

Wajah Bibi Elara berubah seketika, dari yang tadinya ramah menjadi tegang. "Bagaimana kamu bisa tahu tentang dia?" tanyanya, suaranya sedikit meninggi.

Brenn menceritakan pengalamannya dengan jujur. Bibi Elara mendengarkan dengan seksama, matanya berkaca-kaca seolah mengingat sesuatu yang sangat pahit.

"Dia bukan siapa-siapa yang perlu kamu khawatirkan," jawab Bibi Elara akhirnya, suaranya terdengar dingin. "Sekarang, mari kita bicarakan hal yang lebih penting. Bagaimana dengan pendaftaranmu di Akademi Sihir?"

Brenn merasa ada ketegangan yang aneh setelah Bibi Elara menjawab, tetapi dia memilih untuk tidak mengusik lebih jauh. Dia tahu, ada banyak hal yang belum ia ketahui, dan mungkin ada alasan mengapa bibi tidak ingin berbicara lebih jauh tentang penjaga waktu itu. Namun, ia merasa sedikit kecewa karena pertanyaannya tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan.

"Akademi Sihir…" Brenn mengulang pelan, mencoba mengalihkan perhatian dari pikiran yang masih teringat tentang sosok yang ia temui di dunia bawah sadar. "Aku sudah mendapatkan kartu pendaftaran, besok dilakukan ujian seleksi."

Bibi Elara mengangguk dengan tenang. "Kamu harus melakukannya dengan serius, Brenn. Akademi itu bukan tempat untuk bermain-main. Di sana, kamu akan belajar lebih dari sekadar mantra dan ramuan. Kamu akan belajar tentang kekuatan yang bisa membentuk dunia ini, atau malah menghancurkannya." Ada nada serius yang tak terbantahkan dalam suaranya.

Brenn mengangguk pelan, merasa lebih tertekan oleh kata-kata bibi daripada sebelumnya. "Tapi… apakah aku siap untuk itu? Aku hanya merasa seperti orang biasa, bibi. Aku bahkan hampir terjebak di alam bawah sadarku sendiri."

Bibi Elara tersenyum lembut, meski masih ada sedikit kegelisahan di matanya. "Setiap orang yang memiliki potensi besar sering kali merasa ragu, Brenn. Tapi itu adalah bagian dari perjalananmu. Jangan biarkan ketakutan menghalangimu. Alam bawah sadar yang kamu masuki bukanlah kebetulan. Itu menunjukkan bahwa ada sesuatu dalam dirimu yang lebih besar dari apa yang kamu bayangkan."

Brenn menarik napas panjang, mencerna kata-kata bibi. "Aku akan mencobanya, bibi. Aku akan berusaha semaksimal mungkin pada seleksi Akademi Sihir. Mungkin aku bisa menemukan sesuatu yang lebih tentang diriku… dan mungkin jawabannya ada di sana."

Bibi Elara tersenyum lagi, kali ini senyuman yang lebih hangat. "Itu yang ingin aku dengar. Kita semua harus berani menghadapi ketidakpastian dan mencari jawaban, meski perjalanan itu penuh dengan tantangan."

Beberapa saat kemudian, suasana kembali lebih tenang. Mereka berbicara lebih banyak tentang persiapan untuk pendaftaran ke Akademi Sihir, tetapi Brenn tidak bisa menyingkirkan bayangan sosok penjaga waktu yang terus menghantuinya. Ia merasa ada sesuatu yang lebih besar yang harus ia hadapi, dan entah bagaimana, itu terasa seperti awal dari sebuah petualangan yang tidak hanya melibatkan dunia sihir, tetapi juga dirinya sendiri.