"Yang terakhir sampai harus menggendong pemenang ke atas bukit!" kata anak itu seraya berlari.
Anak laki-laki ini memiliki mata berwarna biru muda yang unik. Hanya dia satu-satunya yang memiliki mata berwarna biru, karena itu ia diberi nama Aome Ryuugo Kagetsuha. Selain satu-satunya yang memiliki mata biru, tetapi juga satu-satunya yang memiliki nama tengah.
Umumnya orang-orang hanya memiliki dua susunan nama saja. Nama asli di depan dan nama klan di belakangnya.
Sedangkan anak laki-laki berambut cokelat yang berjalan di belakangnya adalah Ryuuen Kagetsuha, kakaknya. Ia menjinjing bahan-bahan makanan belanjaannya.
"Tunggu, Ryuugo! Kau tidak boleh berlari-lari di pasar!"
Sekilas wajah mereka begitu mirip, yang membedakannya hanyalah warna rambut dan bola mata saja.
Pasar masih sama seperti biasanya. Para pembeli ramai berlalu-lalang, serta para pedagang berteriak-teriak menawarkan barang dagangannya. Ibu-ibu menawar barang dagangan dengan harga yang tak kira-kira. Ada juga yang hanya sekedar melihat-lihat saja.
Aome Ryuugo berlari dengan lincahnya di antara orang-orang yang berlalu-lalang. Seringkali ia pun harus bertabrakan dengan mereka. Namun, ia tak menghentikan langkahnya. Setelah cukup jauh dari pasar, ia berhenti sejenak untuk menoleh ke belakang.
"Haha, pasti kakak masih tertinggal di pasar, baiklah, dengan begini aku bisa menang dengan mudah," gumamnya.
Ketika ia hendak melanjutkan berlari, tiba-tiba angin menderu kencang. Sekejap mengagetkannya. Angin yang sangat aneh, karena hanya bertiup pada satu garis lurus saja.
Di balik tiga pohon pinus yang menjulang tinggi itu, terdapat sebuah rumah sederhana dari bambu dan kayu. Atapnya pun terbuat dari anyaman daun ilalang yang menguning. Sedangkan halamannya ditanami dengan berbagai tanaman obat.
Tampak seorang kakek tua sedang merawat tanaman-tanaman itu dengan tangan kurusnya yang keriputan.
Orang tua ini adalah Genryuu. Meskipun ia sudah tua, tetapi tubuhnya masih bugar. Penglihatannya masih tajam dan gigi geliginya masih utuh. Mengangkat beban berat pun ia masih sanggup. Ia merawat setiap tanaman obatnya dengan begitu apik.
Tak berselang lama, Aome sampai di sana dengan napas tersengal-sengal.
"Aku … aku menang!" teriaknya seraya mengangkat tangan.
Baru saja ia merasa senang, mendadak terdengar suara kakaknya dari dalam rumah. "Kakek, makanannya sudah matang!"
Pintu rumah segera terbuka dan muncullah wajah Ryuuen yang tersenyum menyeringai. "Ah, kau baru sampai, Ryuugo?"
"Curang! Kau curang! Kau menggunakan kekuatanmu!" gerutu Ryuugo kesal.
"Kau tidak bilang, aku tidak boleh menggunakan kekuatanku, kan?" kata Ryuuen tersenyum tipis.
"Aaahhh, baiklah, aku akan menggendongmu sampai ke bukit!"
"Hehehe, sudah-sudah!" kata Genryuu. "Ayo kita makan, aku tahu kau pasti sudah lapar, Aome!"
Matahari telah berada di puncaknya. Ryuugo menggendong kakaknya menaiki bukit yang tak jauh di belakang rumah. Mereka bernyanyi dan saling bercanda satu sama lain, seperti halnya saudara pada umumnya.
"Hei, bukankah itu Paman Jakuu?" kata Ryuuen seraya menunjuk.
Tampak di sana seorang laki-laki separuh baya berjanggut hitam. Pakaiannya sangat kotor, dipenuhi oleh tanah. Lima butir keringat mengucur di keningnya. Sebuah lubang yang cukup besar berada di hadapannya. Sepertinya ia baru saja menggali lubang tersebut. Ia sedang membaca sebuah buku tua. Begitu fokus, sehingga tak menyadari kehadiran Ryuuen dan Ryuugo.
"Kau sedang apa, Paman?" tanya Ryuugo, masih menggendong kakaknya.
Jakuu terperanjat kaget dan buru-buru menutup bukunya. "Tidak, aku tidak sedang apa-apa, aku mau pulang."
Sikapnya begitu aneh. Ia pergi terburu-buru tanpa menengok ke belakang. Tanpa disadarinya, buku usang yang ia selipkan di celananya itu terjatuh.
"Lihat, Kak! Paman menjatuhkan bukunya." kata Ryuugo seraya mengambil buku itu.
Sementara itu, Ryuuen yang baru saja turun segera menghampirinya seraya berkata, "Kita harus segera mengembalikannya!"
"Tapi, aku penasaran dengan isinya," kata Ryuugo. "Ayo kita baca, sedikit saja, lagian tidak ada yang dihukum hanya karena membaca."
"Tidak, Ryuugo, itu memang benar, tapi tetap saja kita tidak boleh melakukannya tanpa izin," tutur Ryuuen. Berbeda dengan adiknya, ia lebih bijaksana.
Akhirnya Ryuugo menurut juga pada perkataan kakaknya, biarpun dengan bibir monyong. Ia sangat ingin melihat isi buku tersebut.
Sesampainya di rumah Jakuu, tampak laki-laki berewokan itu mondar-mandir tak karuan. Mencari bukunya yang telah hilang. Ia bahkan masih mengenakan pakaiannya yang kotor. Bau keringatnya menyeruak terbawa angin.
"Kau sedang mencari apa sih, Ayah?" tanya Hiretsuna, anaknya.
"Shut, diamlah, nanti kau akan mengetahuinya sendiri!" jawab Jakuu ketus.
Dua saudara kembar itu segera menghampirinya, lalu menunjukkan buku usang itu. "Paman, apa kau sedang mencari buku ini?"
Sekejap Jakuu terlihat senang dapat melihat buku usang itu kembali. Namun, wajahnya segera berubah menjadi penuh kecurigaan. "Kalian tidak membacanya kan?"
"Tidak, tentu saja tidak!" jawab Ryuuen seraya tersenyum tipis.
"Bagus!" ujar Jakuu. "Kalau begitu, sekarang cepatlah kalian pergi dari sini!"
Ryuugo dan Ryuuen segera berpamitan.
Jakuu memperhatikan kepergian mereka, hingga menghilang di sebalik pohon besar. Kemudian ia melirik pada anaknya seraya tersenyum. "Tsuna, masuklah ke rumah!"
Sementara itu, kedua anak kembar tadi bersembunyi di balik pohon berbatang besar.
"Ada apa, Kak?" tanya Ryuugo berbisik. "Kenapa kau menyuruhku bersembunyi?"
"Paman Jakuu sangat mencurigakan, dia pasti sedang menyembunyikan sesuatu," jawab Ryuuen seraya mengintip sebentar.
Ryuuen segera mengajak adiknya berjalan berjinjit menuju jendela. Menguping pembicaraan Jakuu dan anaknya.
"Apa? Kau sudah menemukannya?" ujar Hiretsuna seakan tak percaya.
"Ya, aku telah menemukannya, buku cara untuk melepaskan segel kekuatan kita yang sebenarnya," kata Jakuu seraya tersenyum tipis.
"Huh, para tetua itu sangat bodoh!" kata Hiretsuna seraya mendengus. "Mereka menyembunyikan kekuatan sehebat itu, padahal dengan kekuatan itu, bukan hanya klan Shishen yang dapat kita taklukkan, tetapi juga seluruh dunia."
"Benar, mereka memang sangat bodoh, aku sama sekali tidak mengerti dengan jalan pikiran mereka."
Ryuuen dan Ryuugo terkejut mendengar tentang kekuatan itu. Mereka mengetahuinya. Pak tua Genryuu sering menceritakannya. Memang, kekuatan terlarang tersebut sangat hebat, tetapi juga sangat berbahaya.
Di dalam diri setiap anggota klan Kagetsu terdapat sebuah segel yang membatasi kekuatan mereka. Jika segel pembatas tersebut dihancurkan, maka ia akan mendapatkan kekuatan empat kali lipat. Namun, hanya seperseribu orang saja yang benar-benar dapat mengendalikannya, tanpa mendapatkan efek samping.
Sedangkan orang-orang yang tak dapat mengendalikannya akan berubah menjadi makhluk penghancur. Monster yang akan menghancurkan apa saja. Kesadarannya hanya dikuasai oleh keinginan iblis.
"Ini sangat berbahaya," bisik Ryuuen, "kita harus melaporkannya kepada kakek."
Mereka segera melangkahkan kakinya, tetapi Ryuugo tanpa sengaja menginjak sebuah ranting kering. Menimbulkan suara bergemeretak yang mengagetkan Jakuu.
Jakuu segera memeriksa jendela itu, angin yang sangat kuat menerpa wajahnya. Tak ada siapapun di sana.
"Huh, anak-anak itu, mereka menguping pembicaraan kita," kata Jakuu seraya mengusap wajahnya.
"Apa yang harus kita lakukan, Ayah?" tanya Hiretsuna cemas.
Ayahnya tiba-tiba tergelak. "Hahaha, biarkan saja, biarkan mereka mengatakannya pada semua tetua, karena aku akan membunuh orang-orang bodoh itu dengan kekuatan terlarang."