Dengan napas terengah-engah, Ryuuen menghentikan langkahnya. Keringatnya mengucur deras. Sedangkan adiknya, Ryuugo yang ditarik tangannya selama berlari berbaring di tanah. Kedua kakinya tampak kotor dan kemerahan, mungkin tergores oleh bebatuan.
Genryuu keheranan, segera ia menghampiri mereka. "Kalian kenapa? Habis dikejar beruang?"
"Tidak …," kata Ryuuen, mengatur napasnya terlebih dahulu. Lalu menceritakan semuanya. Segala yang diucapkan oleh pamannya, Jaku.
"Apa?" kaget Genryuu. "Jika begitu, ini tidak bisa dibiarkan, aku akan mengumpulkan tetua yang lain."
Kakek setengah bungkuk ini segera beranjak, meninggalkan kedua cucunya yang masih kelelahan. Sebelum pergi, ia berpesan mereka agar tetap di rumah.
"Sekarang bagaimana, Kak?" tanya Ryuugo.
"Tidak ada pilihan lain, kita serahkan saja pada kakek."
Genryuu memasuki sebuah bangunan yang cukup besar, berdinding anyaman bambu dan atapnya dari genting tanah. Berbeda dari rumah-rumah lainnya yang menggunakan jerami sebagai atap. Letaknya berada di tengah-tengah desa. Ini adalah tempat di mana para tetua bermusyawarah.
Kebetulan, saat itu semua tetua tengah berada di dalam bangunan tersebut, sehingga tak perlu untuk mengumpulkan mereka lagi. Bahkan ada tiga anak muda yang merupakan utusan dari kerajaan. Seperti biasanya, setiap satu tahun sekali, mereka hendak merekrut anak-anak terpilih untuk dijadikan prajurit. Yang mana, mereka akan berperang melawan klan Shishen, atau secara keseluruhan menghadapi kerajaan Nishima.
"Ah, Genryuu, kebetulan sekali, baru saja aku hendak menyusulmu," kata kakek berpenutup mata.
Nenek dengan rambut terikat itu dapat melihat rasa takut dari mata Genryuu, "Hei, ada apa? Kau kelihatan seperti ketakutan."
"Tidak ada waktu untuk berbasa-basi!" kata Genryuu. "Saat ini, Jaku berencana melepaskan segel En di dirinya, kita harus menghentikannya sebelum terlambat."
Sontak para tetua yang ada di sana terkejut. Seharusnya tak ada yang mengetahui tentang segel En itu, kecuali buku terlarang sudah ditemukan. Sejenak mereka panik, tetapi segera menenangkan diri mereka.
"Sudah aku bilang, kita seharusnya tidak menguburkan buku itu di bukit," kata orang tua yang bertubuh jangkung.
"Ya, itu memang benar-benar keputusan yang bodoh."
"Sudah, lebih baik sekarang kita pergi ke rumah Jakuu!" bentak nenek yang merupakan tetua paling tua. Namanya adalah Rhien.
Ketiga ksatria utusan kerajaan pun ikut bersama mereka.
Baru saja mereka keluar dari ruangan, terdengar suara petir bergemuruh. Langit mendadak gelap. Goresan cahaya ungu menyambar-nyambar di atas langit. Angin pun berembus dengan kencangnya.
"Gawat, Jakuu sepertinya sudah melepaskan segel En miliknya," gumam Tama, kakek berpenutup mata.
"Cepat, kita harus cepat!" kata Rhien.
Di tempat lain, tepatnya di rumah Jakuu, angin berputar lebih kencang di sini. Rumah beratap jerami itu pun tampak hancur, berantakan. Hiretsuna terbelalak matanya, terpesona dengan sosok menakutkan yang berdiri di hadapannya.
Makhluk tersebut dipenuhi oleh rambut tebal. Bentuknya menyerupai gorila, tetapi sedikit lebih besar. Ia mengerang. Tangannya yang seukuran batang pohon beringin menghantam tanah. Seketika, tanahnya hancur dan beterbangan. Sebuah lubang yang sangat besar tercipta di sana.
"Luar biasa," kata Hiretsuna. "Kekuatanmu sekarang sungguh luar biasa, Ayah."
"Hahaha, ini belum seberapa, Anakku, lihatlah ini!" kata Jakuu yang telah menjadi monster. Ia menarik napasnya dalam-dalam, lalu meniupkannya ke arah bukit. Tiupan tersebut mendatangkan pusaran angin puting beliung yang sangat dahsyat.
Pepohonan tercabut dari tanah, serta rumah-rumah hancur terbawa angin. Bukit itu pun seketika menjadi gundul, bahkan bagian puncaknya telah menghilang.
"Hebat, kau benar-benar hebat, Ayah!"
Tak terkira betapa paniknya orang-orang di saat itu. Mereka berlarian, ketakutan. Meskipun terkenal sebagai klan yang diberkati kekuatan luar biasa, tetap saja mereka manusia biasa.
"Sial, kita benar-benar terlambat," kata si tua Genryuu.
Para utusan kerajaan terperanjat sewaktu melihat tubuh Jakuu, "Makhluk macam apa itu?"
"Itulah yang terjadi, jika kau melepaskan segel En, kekuatannya terlalu besar, sehingga tubuh dan pikiranmu tak bisa membendungnya, dan akhirnya berubah menjadi monster penghancur," tutur Rhien.
Jakuu melirik ke arah para tetua yang baru datang dengan sorot mata mengintimidasi. Menyeringai seraya berkata, "Hahaha, kebetulan sekali, kalian datang ke sini, para tetua bodoh!"
"Huh, sepertinya dia dapat menguasai pikirannya, tapi tidak dengan tubuhnya," gumam kakek bertubuh jangkung yang bernama Shoran.
"Matilah, kalian!" bentak Jakuu seraya mengayunkan tinjunya yang menimbulkan angin dahsyat.
Segera Rhien menghentakkan tongkatnya ke tanah. Seketika batu-batu keras mencuat. Namun, tak cukup kuat untuk menahan serangan Jakuu. Hancur. Pecahannya berhamburan di udara. Nenek-nenek ini terpelanting begitu keras, darah mengalir dari mulutnya.
Ketiga utusan kerajaan terkejut, segera mereka mencabut pedangnya. Lalu menerjang Jakuu secara bersamaan. Akan tetapi, tebasan mereka hanya membuatnya sedikit geli. Dalam sekali kibasan tangan saja, ketiganya terpental dan pingsan saat mendarat.
"Apa yang terjadi, Kak?" tanya Ryuugo seraya memandang bukit yang tinggal separuh.
"Sepertinya, sepertinya itu adalah perbuatan Paman Jakuu." kata Ryuuen seraya menarik lengan adiknya. "Ayo kita lihat!"
Sesampainya di tempat pertarungan, alangkah terkejutnya kedua anak kembar ini. Tempat itu porak poranda. Banyak sekali lubang besar yang tertinggal di tanah. Para tetua desa telah terkapar semuanya, kecuali Genryuu yang masih berdiri, meskipun gontai.
"Hahaha, kelihatannya tinggal kau, Genryuu!" kata Jakuu seraya tertawa puas.
Gigi geligi Genryuu bergemeretak. Ia mendorong kedua tangannya seperti sedang mendorong benda berat. Setelah itu, tujuh cahaya putih berujung runcing melesat sangat cepat.
Jakuu hanya tersenyum menyeringai. Dengan satu tiupan napas saja, cahaya-cahaya itu memudar kemudian menghilang. Sedangkan tubuh Genryuu terbawa oleh pusaran angin.
"Kakek!" teriak si anak kembar serentak.
Pada saat itulah, tiba-tiba sebuah bayangan hitam menangkap tubuh Genryuu. Detik berikutnya, bayangan tersebut mendarat di hadapan si anak kembar. Menjatuhkan si kakek ke hadapan mereka kemudian memandang Jakuu.
Orang ini berpakaian serba hitam, serta mengenakan tudung berwarna hitam. Wajahnya tertutupi, tetapi senyuman itu begitu familier.
"Siapa kau, hah?" tanya Jakuu membentak.
Pria misterius itu tak menjawab, hanya menunjukkan senyumannya yang sukar ditebak. Ia membuka tudungnya dan tampaklah seluruh wajahnya yang cukup tampan. Rambutnya yang berantakan tersapu angin, yang sedari tadi tak mau tenang.
"K-kau, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Jakuu sedikit segan.
"Huh, ya, aku hanya sedikit merindukan kampung halamanku," jawab pria itu masih dengan senyumnya. "Selain itu, akhirnya kau gemuk juga, Jakuu."
Jakuu mendengus, menahan rasa kesalnya. "Simpan saja kata-katamu itu! Aku akan segera menghabisimu, Goryuu sialan!"
Ia melompat kemudian memukulkan tinjunya.
"Hahaha, kau ini benar-benar tidak pernah berubah, ya, Jakuu," kata Goryuu seraya menghindar. Sekali lompat, ia sudah berada cukup jauh dari hadapan Jakuu.
Kepalan tangan yang sangat besar itu hanya mengenai tempat kosong. Menghancurkan tanah hingga berhamburan. Meninggalkan bekas kawah yang jauh lebih besar dari yang sebelum-sebelumnya.