Zion menunduk, dia sedikit lega dan merasa bersalah. Lega karena Yudistira mulai mencari tahu tentang Adeeva. Namun, merasa bersalah karena tidak tahu harus menjawab apa. Pasalnya, Zion tidak bisa melakukan apapun. Dia tidak memiliki hak untuk ikut campur lebih dalam mengenai masalah Yudistira dan Adeeva. Mbak Adenia sudah memperingatinya, menyuruh Zion untuk diam dan membiarkan semua berjalan semestinya layaknya air yang mengalir tanpa henti.
"Lo bisa tanya langsung sama Adeeva." Jawab Zion. Dia mengetatkan cengkramannya pada buku angkatan tersebut.
"Kalau dia mau jawab, gue gak akan tanya sama lo!" Suara Yudistira terdengar sangat frustasi. Dia lelah, kesal, dan marah. Satu hal yang dapat dia simpulkan dari jawaban Zion. Pria itu mengenal Adeeva sejak dulu.
"Gue gak ada hak buat ikut campur antara lo sama Adeeva. Itu masalah kalian berdua. Lo udah besar Yudis, seharusnya lo tahu gimana cara nyelesaiin ini." Geram Zion. Dada bidangnya naik turun, merasa sangat kesal dan geram dengan dirinya sendiri. Zion tidak tega melihat Yudistira. Pria itu terlihat sangat stress dan frustasi mencari tahu mengenai Adeeva.
"Lo udah kenal dia sejak lama. Bastian juga udah pasti. Jadi, cuman gue yang gak tahu apapun tentang cewek misterius yang udah bikin hidup gue jungkir balik?!" Yudistira membanting buku angkatan di depannya. Dia berdiri, mengacak rambutnya sendiri.
"Sandiwara kalian gak lucu sama sekali. Gue... haha... pasti kalian senang lihat gue masuk ke dalam sandiwara itu kayak orang bodoh. Iya 'kan?" Suara Yudistira terdengar goyah.
Zion mengusap wajahnya sendiri, bangkit dari duduknya kemudian mendekat pada Yudistira. Tangannya menepuk pundak Yudistira, mengusapnya perlahan.
"Dia ada di dalam diri lo. Kalau lo mau tahu siapa Adeeva, cari dia di dalam diri lo sendiri. Hadapi kenyataan, cari ingatan lo. Tetapi, gue gak bisa jamin kalau kalian masih akan baik-baik aja setelahnya." Pesan Zion sebelum melangkah, meninggalkan Yudistira dengan tangan mengepal erat.
"Bodoh, kalian pikir gue gak pernah mencoba buat cari ingatan gue?"
"Gue selalu berusaha mencari ingatan gue karena yakin ada sesuatu yang terlewat di sana. Tapi, sialnya ingatan itu gak mau kembali."
***
Bunga-bunga berjajar rapi di sepanjang rak yang tersedia. Pintu utama yang terbuat dari kayu jati dengan polesan cat berwarna hitam terbuka. Hentakan scarpin heels berwarna putih menggema ke seisi toko bunga tersebut. Rambut merahnya mencolok, membuat gadis itu menjadi pusat perhatian.
Tangan cantik gadis itu melepas kacamata hitam yang digunakan, kemudian bibirnya terangkat sempurna saat melihat sosok yang dia rindukan akhir-akhir ini. Mbak Adenia, perempuan baik hati yang sudah membuat Adeeva hidup kembali.
Adeeva melambaikan tangannya, berjalan menuju Mbak Adenia yang sedang duduk sembari merangkai bunga. Mata Adenia berbinar antusias saat melihat adik perempuannya sudah datang.
Entah kapan terakhir kali mereka bertemu, rasanya Adenia sudah sangat merindukan gadis itu. Bahkan, dia sampai menyelesaikan acara bulan madu secepatnya hanya agar dapat bertemu dengan Adeeva. Rindu yang kian menyiksa sangat tidak nyaman mengganjal di dalam hati.
"Adeeva rindu sekali dengan Mbak Adenia." Gadis itu menghambur ke dalam pelukan Adenia, membuat Adenia dapat menghirup aroma lavender yang sangat kuat di sana.
"Mbak Adenia juga sangat merindukanmu. Kau sangat sibuk dengan Yudistira sampai melupakan Mbak." Adenia mengerucutkan bibirnya, membuatnya tidak terlihat seperti seorang wanita yang telah menikah.
"Ya, Mbak Adenia tahu sendiri bagaimana susahnya menjadi sekr—" kalimat Adeeva menggantung saat dering ponselnya terdengar.
Dia menarik nafasnya sangat berat, menunjukkan layar ponselnya ke Adenia hingga membuat perempuan tersebut tertawa kencang. "Baru dibicarakan sudah muncul saja, panjang umur sekali adikku ini." Kata Adenia di tengah tawanya.
"Sepertinya akan ada hal gila yang setelah ini aku lakukan. Sialnya, aku sedang rapi menggunakan rok mini dan heels!" Kesal Adeeva. Matanya terlihat lelah, lesu dan tidak bersemangat setelah melihat dering ponselnya yang kembali berbunyi.
Adeeva akhirnya menjawab panggilan tersebut, "ya Sir? Ada sesuatu yang har—"
"Kenapa lama sekali menjawabnya? Sedang dengan siapa dan dimana kau berada?" Potong Yudistira dengan nada ketus. Adeeva mengusap dadanya, mencoba bersabar.
"Ada urusan dengan seseor—"
"Laki-laki?" Potong Yudistira lagi.
Adeeva memejamkan matanya, mencoba menelan amarahnya. Adenia sampai tertawa kencang melihat reaksi Adeeva yang sangat menggemaskan.
"Perempuan Sir. Kenapa kau menghubungiku, Sir? Apa kau butuh bantu—"
"Kirim lokasimu, kita harus meninjau proyek baru di sekitar Jakarta." Adeeva sudah sangat terbiasa saat ucapannya tidak di dengarkan oleh laki-laki keras kepala itu. Untungnya stok kesabaran Adeeva sangat banyak.
"Saya berada di Toko Bunga Sunflow, Sir. Saya yakin anda tahu tempatnya." Setelah mengatakan itu, Adeeva menutup panggilan teleponnya. Sekarang, dia hanya berdoa semoga Yudistira mengenakan mobil alih-alih motor kesayangannya, Si Franxie.
"Dia menggunakan Franxie." Sahut Adenia saat mendengar doa Adeeva.
"Miris sekali hidupku ini, Mbak. Apa Mbak Adenia memiliki celana?" Tanya Adeeva.
Mbak Adenia sedikit berpikir, "celana sepertinya tidak ada. Tetapi, Mbak punya rok yang tidak terlalu pendek dan mengetat. Apa kau mau?"
***
Sesuai dugaan, Yudistira benar-benar menggunakan motor sportnya yang pria itu beri nama Franxie. Yudistira hanya perlu waktu lima menit untuk sampai, dan untungnya itu waktu yang cukup untuk Adeeva mengganti rok.
Gadis itu terlihat lebih santai dengan ruffle skirt berwarna broken white sepanjang lutut.
"Cepatlah naik! Kita sudah terlambat." Seru Yudistira.
Adeeva berdecak kesal, mengoceh tanpa henti namun tetap naik tanpa bantuan pria itu. Selama perjalanan, Adeeva sedikit kerepotan karena roknya yang terbawa angin dan sedikit terbuka hingga memperlihatkan paha seputih susu miliknya.
"Bisakah kau sedikit lebih pelan?" Teriak Adeeva sembari memukul helm yang Yudistira gunakan.
Untungnya Yudistira mendengar ucapan Adeeva. "Hm, bisa." Jawabnya datar.
Tetapi, Yudistira tetaplah Yudistira yang tidak pernah mau diatur. Bukannya memelankan kecepatan motornya, pria itu malah semakin melaju kencang membuat Adeeva semakin kesal.
Butuh waktu sepuluh menit hingga mereka sampai di tempat dimana hotel Vashesa akan dibangun.
Adeeva turun dari motor, memperbaiki tatanan rambut dan roknya yang sangat berantakan. Kemudian, sebuah tangan mencekalnya dan menariknya ke suatu tempat. Gadis itu sedikit terkejut, tetapi tetap saja dengan tertatih mencoba mengikuti Yudistira.
Matanya membelalak seketika saat dia menyadari satu hal. Gadis itu mengedarkan pandangannya, membuat memori masa lalu berputar seketika di dalam otaknya.
Ini... danau tempat pertemuan pertamanya dengan Yudistira.