Seakan menjadi magnet tersendiri, mode selalu menjadi sorotan dan diikuti oleh sebagian besar orang. Betapa tidak, seseorang pasti akan dipandang lebih baik dan mendapat perlakuan spesial apabila ia terlihat mengikuti mode yang ada. Handphone keluaran terbaru, motor sport modifikasi, pakaian branded, hingga tempat tongkrongan seharga uang makan seminggu. Entah kenapa orang-orang ini begitu mengikuti mode, padahal sebenarnya jika kau terus melakukannya maka waktumu akan habis untuk mengejar sesuatu yang takkan mungkin ada habisnya.
Hedonisme seakan telah menjadi budaya yang mendarah daging. Kalangan menengah-atas akan selalu terlihat glamor dibanding yang lain. Bahkan yang lebih gawat, orang yang sebenarnya hidup pas-pasan juga memaksakan diri untuk mengikuti gaya hidup para hedonis. Mereka menempuh berbagai cara, sampai mengorbankan kesehatan diri juga nilai etis. Rela makan nasi putih, kecap, kerupuk demi mendapat skincare yang di-endorse para influencer ternama. Itu masih cukup wajar, yang menjadi polemik adalah apabila seseorang bergaya bukan dengan hasil jerih payahnya sendiri alias uang minta orang tua atau pun utang.
Namun, ada juga mereka yang bergaya hanya sebatas untuk menghargai diri sendiri. Setelah susah payah mereka bekerja demi mendapat pundi-pundi rupiah yang sedikit demi sedikit mereka kumpulkan untuk mencukupi kebutuhan, ada kalanya kita juga harus memberikan apresiasi kepada diri sendiri. Bolehlah sekali waktu kita mencoba makanan mahal dengan vibes caffe milenial atau berkunjung ke tempat liburan untuk melepas penat. Semua itu sangatlah wajar dan memang harus dilakukan demi menjaga kewarasan. Tentu saja kita tidak mau uang kita habis hanya untuk jajan obat atau membayar biaya rawat inap.
"Mah, aku mau keluar sebentar ya?" pamit Danang dari kejauhan.
"Mau ke mana, Nang?" sahut ibunya kemudian.
"Ke tempat temen," jawab Danang seraya menyabet helm yang tergeletak di sudut ruangan.
"Ya udah, pulangnya jangan kesorean ya."
"Iya," jelas Danang ketika telah sampai ke garasi.
Kunci sudah digenggaman dan mesin motor telah dinyalakan. Motor Danang terlihat sangat gagah, itu hasil sedikit modifikasi dan setting bore up rancangannya sendiri. Ia keluar dari rumah sekitar pukul satu siang dan sebenarnya ia juga tak yakin akan kembali sampai ke rumah sebelum jam enam sore.
Tentu saja, Danang sempat menunjukkan skill berkendaranya di jalan. Kecepatan seratus kilometer per jam hanyalah patokan, sebelum mencapai angka itu kau belum dikatakan berkendara. Jalanan cukup ramai siang itu, tapi ia melewati padatnya lalu lintas dengan mudah. Ia selalu tahu kapan dirinya mengambil kesempatan untuk menyalip dan selalu ada celah untuk menyalip jika kau benar-benar memperhatikan dan berani mengambil kesempatan itu. Ia tak pernah takut ada sesuatu yang buruk menimpa dirinya karena gaya berkendaranya itu, yang terpenting adalah kenakan helm dan tidak melewati marka tengah jalan. Urusan mengebut itu kesenangannya, kalau pun memang sedang apes ya itu urusannya dengan Tuhan.
Singkat cerita, sampailah Danang pada suatu ruko dipinggir jalan. Tampak tak ada aktivitas apapun di sana, hanya terlihat beberapa sampah yang berserakan di halaman ruko. Ia langsung mendatangi salah satu pintu yang tertutup di samping ruko. Sepertinya, ia tahu jika pintu itu tidak dikunci. Ia turun dari motornya sejenak untuk membuka pintu dan segera kembali menaiki motor untuk segera masuk ke sana.
Kini, Danang berada di sebuah lorong yang cukup gelap. Hanya ada sebuah lampu berdaya rendah yang menyinari ujung lorong, itu pun sangat redup. Ia pun memarkirkan kendaraannya, kembali menutup pintu, dan berjalan melewati lorong itu. Saat sampai di persimpangan jalan, ada sebuah pintu ruangan yang terlihat sedikit terbuka. Ia pun masuk ke dalam ruangan itu.
"Jon, tumben jam segini kamu udah bangun," kata Danang kepada seorang pemuda di sana. Ia terlihat sedang tidur terlentang di atas sebuah kasur lantai, kepalanya bersandar di dinding ruangan, jari-jarinya asyik menari-nari di atas layar ponselnya. Ternyata, pemuda itu sedang bermain game online.
"Diem bentar, Nang. Nanti aku kena report tim laknat nih. Soalnya barusan kutinggal sebentar, bos tadi manggil." Pemuda itu masih terfokus pada ponselnya sendiri.
"Halah, paling kamu juga mainnya nub." Danang mengambil posisi duduk di samping pemuda itu. Ia melepas helm dan jaket berkendaranya, lalu ia letakkan begitu saja di sudut ruangan. Tak lama berselang, ia pun ikut mengaktifkan ponselnya dan segera login ke game online yang kini sedang dimainkan oleh Si Jon.
"Omong-omong, cepet banget kamu sampai ke sini. Biasanya kamu baru ke sini nanti sore," sahut Jon tanpa mengalihkan pandangan.
"Haha. Tadi aku dapat bantuan sih."
"Bantuan apaan lah? SMA 1 pengawasannya ketat kalau lagi ujian. Emang kamu nyonteknya gimana sampai nggak ketahuan guru?"
"Siapa juga yang nyontek? Aku ngerjain sendiri dong "
"La terus?" tanya Jon masih juga penasaran. "Bangke! Kalah, anjing. Tim laknat emang."
Jon melemparkan ponselnya ke kasur begitu saja. Tangannya menyabet sekotak rokok yang ada di meja kecil di samping kasur. Ia pun segera menyulut salah sebatang dengan perasaan setengah frustasi.
"Habis ini mabar sama aku sini, nanti aku gendong sampai menang," ujar Danang berlagak.
"Iya deh. Iya," ucap Jon pasrah.
Pemuda ini terpaut dua tahun lebih tua dari Danang. Ia bekerja serabutan di tempat itu. Apapun yang bosnya perintahkan, ia akan segera mengerjakannya. Namun, karena ini masih siang hari jam kerjanya pun belum dimulai.
"Habis ngopi berapa botol kamu? tanya Danang ketika melihat beberapa botol kaca dan sebuah gelas kecil tergeletak di belakang pintu ruangan.
"Bukan aku yang ngopi," sangkal Jon.
"Asem. Emang aku bakal percaya?" kata Danang bersih keras.
"Ya ... cuma nyicip sedikit. Nggak ada setengah, kalau ini aku beneran serius." Jon masih terus menghisap rokoknya yang kini tinggal setengah.
Danang melirik tajam setengah tidak percaya. Namun, ia memutuskan untuk mengalah dan tidak mengajukan pertanyaan apapun lagi. "Ayo, gas. Jadi mabar nggak?"
Dengan malas, akhirnya Jon mengiyakan ajakan Danang. Ia kembali meraih ponselnya dan memasuki room pertandingan. Ia mengundang Danang untuk ikut masuk, setelah itu barulah keduanya melakukan match making.
"Kamu belum jawab pertanyaanku, Nang."
"Yang mana?"
"Itu. Kamu dapat bantuan ngerjain soal ujian dari mana?"
"Oh. Nantilah gampang aku cerita."
Kini, mereka tengah memasuki draft pick pertandingan di mana kedua tim melakukan ban dan memilih hero secara bergantian. Tak lama berselang, muncul notifikasi di ponsel Danang jika paket internet yang ia gunakan telah habis seluruhnya. Sontak ia pun kebingungan.
"Jon, minta password wifi dong. Paketanku habis nih, keburu match-nya mulai."
"Astaga," gumam Jon agak jengkel. Akhirnya, ia pun segera memberikan password wifi tempat itu kepada Danang. "ZEUS_KAROKE."
***