"Nah ini mereka teman-temannya kakak "
Semenjak Rehan berbicara seperti itu pada Nusa sambil menunjuk dua orang yang sudah sangat ia kenali, disinilah ia sekarang. Berada di antara perang mulut yang dilakukan Mario dengan Reza, memang terdengar sedikit aneh si tapi kan keanehan memang sudah menjadi ciri khas mereka berdua.
"Kan tadi gue udah bilang kalau gue tuh mainin ludo yang warna merah, lo yang warna biru. Buta warna apa gimana sih lo? sebel gue." ucap Mario sambil menatap sebal ke arah Reza dengan raut wajah yang diperlihatkan seperti sudah malas dan tidak bersemangat, ia menatap layar ponsel demi menghalau rasa sebalnya itu. Bayangkan saja, giliran dirinya bermain di ambil alih oleh Reza tanpa rasa bersalah sedikitpun padahal kan itu pion miliknya, huh!
Reza menatap Mario dengan cengiran yang terlihat sangat khas miliknya. "Gue gak suka warna biru, gak pernah suka. Warnanya lembut banget, jadi gue jalanin juga lah yang warna merah karna warna merah itu berani." jelasnya dengan alis yang naik turun, ia merasa sangat bangga dengan dirinya. Toh siapa juga yang ingin menyukai warna biru yang terkesan lembut seperti itu? Lebih pantas jika cewek yang menyukai warna biru jika dibandingkan dengan cowok yang selalu terkesan badly, manly, dan lain-lain.
Nusa terkekeh kecil melihat perdebatan tidak berbobot itu, untung saja suara mereka di perkecil kalau tidak pasti sudah menjadi pusat perhatian orang-orang. Ia mengambil segelas minuman matcha yang selalu di pesankan Rehan untuk dirinya jika berkunjung kesini. Ia pecinta kopi, tapi entah kenapa hari ini ia hanya ingin menikmati matcha dengan campuran fresh milk di dalamnya.
"Kalian kayak anak kecil, masa begitu doang rebutan sih, dasar..."
Mario dan Reza sontak langsung menoleh ke arah Nusa, mereka menunjuk dirinya masing-masing. "Kita?" ucap mereka dengan kompak.
"Maaf ya Nusa, gue sama Reza tuh beda. B-E BE D-A DA, BEDA! bagaikan kupu-kupu dengan ulat. Yang jelas gue adalah kupu-kupunya." ucap Mario dengan senyum kebanggaan sambil menepuk dada bidangnya dengan perlahan, ia merasa paling indah kalau menjadikan dirinya penggambaran sebagai kupu-kupu daripada ulat.
Astaga kenapa hanya El yang memiliki selera humor berbeda di antara sahabatnya?
Reza menjitak kepala Mario dengan lumayan keras, ia tidak setuju dengan apa yang dikatakan cowok tersebut. "Gue selalu aja dapet bagian gak enak, lo mulu yang enak-enak. Besok lo mulai drama teater di kelas sendiri aja deh, gue mendingan pensiun jadi sutradara lo." ucapnya.
"Baper di gedein, kalo bermanfaat kayak rumah El yang segede istana presiden mah gak apa-apa. Lah ini, boro-boro bermanfaat keliatan kayak cowok girly iya." Mendelik tidak antusias dengan perkataan Reza yang membawa-bawa projek drama hits mereka.
"Astaga Mario, malu ada Nusa disini." ucap Reza.
Nusa lagi-lagi terkekeh melihat interaksi mereka berdua. Bahkan saat ini ia jadi berpikir, apakah Mario dan Reza pernah bertengkar hebat?
"Kalian berdua humoris banget, kayaknya dih emang cocok jadi best friend forever gitu deh kayak di film-film layar lebar." ucap Nusa sambil mengeluarkan ponselnya dari dalam tas.
"Kita mah emang humoris dari lahir, kalau El mah gak tau tuh anak kapan bisa senyumnya. Beda banget sama Alvira yang manisnya kelewatan, ramah tamah serta ramah lingkungan!" ucap Reza sambil menumpu wajahnya dengan tangan kanan, ia mulai membayangkan jika dirinya mendapat restu dengan sangat mudah dari El untuk mendapatkan hati Alvira. Ah sayangnya itu hanya bisa menjadi bayangan untuk selama-lamanya, alias sangat mustahil.
Nusa menaikkan satu alis kala mendengar Reza yang menyebutkan nana Alvira, tiba-tiba ia menjadi penasaran dengan cewek manis itu. Lalu dengan cepat meraih ponsel miliknya dan langsung membuka aplikasi sosial media yang sangat banyak peminatnya.
Ia segera mengetik nama 'Alvira' di kolom pencarian akun. Kini, ia benar-benar penasaran setengah mati. Ada apa kira-kira antara cewek itu dengan El? kenapa bisa... sangat dekat? bahkan El pun tidak marah dan justru menarik tangan Alvira untuk memeluk tubuhnya di atas motor.
Nusa tidak berniat untuk stalk Alvira, sungguh ini pengungkapan hatinya yang terdalam. Bisa dibilang kalau dirinya hanya sekedar penasaran saja, tolong di bedakan.
"Sa, lagi ngapain lo?"
Ikut penasaran dengan apa yang di lakukan Nusa, Mario dan Reza mendekatkan diri pada cewek itu.
"Lo ngapain stalk primadona sekolah?" taya Reza ketika Nusa dengan sangat teliti melihat satu per satu postingan yang menurut Mario dan dirinya sangatlah menawan, itu adalah deretan foto milik Alvira yang di ambil dari berbagai sudut dan tentu saja dengan gaya candu yang berbeda-beda.
Nusa menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa? emangnya gak boleh ya? kemarin aku ketemu sama Alvira dan kebetulan sempat ngobrol tentang ekstrakurikuler dance." ucapnya dengan jujur. Toh memang benar dirinya bertemu Alvira yang berdiri di dekat mobilnya, sampai mobil tersebut sudah di derek oleh mobil lain, sepertinya sih mogok.
"Dia primadona paling sempurna, apalagi Alvira satu-satunya orang yang di sayang banget sama El. Gak ada satupun cewek yang bisa menggangu Alvira karna kalah cantik ataupun di ganggu dengan godaan cowok-cowok yang suka sama dia karena ada pawangnya yang serem." ucap Reza sambil menatap Nusa yang mendengarkan setiap penjelasannya dengan serius.
//Fyi; Secara umum, kita dapat mengartikan primadona sebagai sesuatu yang dianggap terbaik dan dijadikan sebagai unggulan//
"Bara? Emangnya dia siapanya Alvira?" tanya Nusa dengan yang semakin meninggikan rasa penasaran di benaknya.
Baru saja Reza ingin kembali menjawab pertanyaan Nusa, dengan heboh Mario menunjukkan jika saat ini Alvira memposting snapgram --seperti status di Instagram-- yang sangat ditunggu-tunggu banyak orang. Astaga, apa Alvira se-menawan itu?
Mereka bertiga menatap layar ponsel milik Nusa yang kini menampilkan vidio postingan reply dari akun Instagram milik El.
"Jadi hari ini aku lagi sama Kak Bara yang super duper dingin kayak kutub selatan. Kak Bara, bilang hai!" ucap Alvira di video tersebut.
Terlihat El yang mulai menatap dengan datar ke arah kamera. "Hai."
Rasa penasaran Nusa semakin memuncak.
"Mereka keliatan manis banget ya? pantes aja cewek-cewek pada iri sama Alvira, tapi terpaksa harus sadar diri karena pasti kalah telak apalagi El gak doyan sama cewek banyak tingkah." ucapnya sambil menatap layarnya yang kembali menampilkan beberapa foto postingan milik Alvira.
Sedangkan Reza, laki-laki itu kini sudah duduk manis sambil menatap ponselnya yang kini diputar lagi vidio yang berada di snapgram, wajah Alvira sangat tidak bosan untuk di pandang. Bahkan ia memutar vidio tersebut berkali-kali. Jika saja El tau apa yang dilakukan sahabatnya yang satu ini, sudah di pastikan restunya akan semakin terkubur ke lubang yang paling dalam. Jangan main-main dengan kulkas berjalan!
Mario menatap wajah Nusa. "Iya, gue setuju sama ucapan lo. El sayang banget sama Alvira, bahkan tadi dia ninggalin kita berdua cuma buat jemput Alvira yang satu sekolah pun tau kalau setiap hari cewek itu bawa mobil ke sekolah." ucapnya.
"Kamu ngerasa persahabatan kalian di nomor dua-in sama Bara?" tanya Nusa.
"Enggak, ngapain ngerasa kayak gitu. Selagi El ngelakuin hal yang bener, kita mah gak pernah nuntut banyak. Toh El udah ngasih segala-galanya tentang persahabatan ke kita, jadi cukup jadi sahabat terbaik yang gak banyak macam-macam itu udah lebih dari cukup." ucap Mario dengan senyuman manis.
Mario yang kali ini terlihat sangat berbeda dengan Mario yang Nusa lihat beberapa menit lalu. Saat cowok itu sibuk bercanda tidak jelas dengan Reza mendebatkan warna pion yang di mainkan di ludo, kalau yang ini terlihat sedikit dewasa.
Nusa mengetuk dagunya. "Jadi intinya mereka saling sayang?" tanyanya lagi. Baiklah, kini sepertinya ia akan cosplay jadi pewawancara.
"Iya, itu mah udah jelas banget, Sa. Alvira selalu buatin sarapan untuk El, tapi gak pernah di makan sama cowok itu. Katanya sih rasanya kadang keasinan, kemanisan, bahkan pernah sampai pedes banget." ucap Mario sambil sedikit terkekeh melihat ekspresi datar El saat itu, padahal ia tau jika cowok itu sedang menahan pedas mati-matian. Namun apalah daya El yang seperti hanya punya satu ekspresi di dalam hidupnya yang jadilah hanya ekspresi datar yang tersaji.
Nusa menaikkan sebelah alisnya. Jika dirinya sudah penasaran dengan suatu hal, maka ia tidak akan berhenti sampai mendapatkan jawaban yang memuaskan.
"Kalau begitu, kenapa di terima? kan bisa di tolak dan bilang sama Alvira apa saja kekurangan dari masakannya itu.."
"Gue juga gak pernah ngerti sih sama hal yang satu itu. Tapi Alvira selalu bilang kalau sarapan itu di buat sama Tante Mira. Padahal mah buatan tuh cewek, tapi tetap aja El tau kalau itu buatan Alvira-nya." Jujur, Mario juga gemas dengan tingkah Alvira yang seperti itu. Tapi ia cukup tau diri karena tidak mampu melewati batas aman yang El bangun untuk adiknya itu.
"Tante Mira?"
"Nyokap-nya El."
Nusa ber-oh ria, mulai merasa nyambung dengan obrolan mereka. "Bara cocok banget sih emang sama Alvira, sama-sama kayak di ciptakan khusus untuk orang-orang yang sempurna."
Mario terkekeh saat mendengar ucapan Nusa yang pada dasarnya kelewat lugu. "Lo juga cantik, Sa. Semua cewek di dunia ini cantik, gak ada yang gak sempurna kalaupun ada kita harus pandai untuk bersyukur."
Nusa terkekeh. "Iya aku cantik kok dan selalu bersyukur." ucapnya sambil tersenyum manis.
Mario memberikan kedua ibu jarinya ke arah Nusa. "Lo cewek terkeren yang bisa deketin El dan dapet akses masuk ke dunianya selain Alvira." ucapnya.
"Yang artinya?" tanya Nusa sedikit tidak paham, habisnya kayak sesuatu yang berbau El dan ia bisa melakukan hal tersebut pasti mendapatkan aspirasi yang luar biasa.
Mario hanya tersenyum saja lalu ikut duduk di samping Reza dan memainkan game ludo lagi di ponselnya bersama dengan sistem komputer, ia enggan menjawab lebih lanjut dengan pertanyaan Nusa yang memang daritadi terdengar sedikit berbondong. Memusatkan perhatiannya ke arah lain, dan ia merasa menyesal karena telah mengajak Reza bermain ludo bersamanya.
Nusa yang melihat itu lagi-lagi hanya bisa menyimpan rasa penasarannya lebih dalam, dan membiarkan waktu yang menjawab. Eh tunggu, pasti ia akan mencari tahu dengan perlahan!
...
Next chapter