Mobil yang Louis kendarai telah melewati gerbang menjulang tinggi, menandakan bahwa dia sudah berada di kediaman Tanzel.
Kedatangannya bersama Amira dalam gendongan mencipta tanda tanya besar sehingga Inem langsung berteriak histeris memanggil Tuan nya. Dasar si mulut ember! Orang Amira lagi tidur eh dia bilangnya pingsan.
"Cucu Anda tidak apa - apa Tuan Tanzel. Bisa tunjukkan saya di mana kamarnya?!" Desak Louis.
"Ah, Tuan besar mah kelamaan. Pasti Non Amira berat ya?" Yang di angguki oleh Louis. "Sok ikuti Inem yuk!" Dengan langkah lebar membimbing Louis menuju kamar Nona nya.
"Itu Non Amira betah banget di gendongan. Tahu aja kalau yang gendong ganteng makanya betah gitu. His, palingan yo pura - pura si Non Amira iki." Lirihnya sehingga Louis tidak mendengar apa yang dia ucapkan.
"Kamar Amira ini di mana kok jauh banget. Uh, berat ini."
Inem mencibirkan bibirnya. "Berat yo? Yo, yo sek. Sabar yo." Tanpa dia sadari dia menggunakan bahasa jawa. Otamastis Louis bingung. "Haduh ini perempuan ngomong apa sih?" Kesal Louis karena tidak paham dengan yang Inem katakan. "Sampean bilang opo? Sampean iki ora ngerti bahasa ku. Walah Mas, Mas. Ganteng jane tapi kok yo bloon. Iki ki bahasa jawa Mas, bahasa soko kampung ku. Bahasa kebanggaan ku loh kok sampean ora ngerti ki piye to."
Louis pun makin bingung karena tidak mengerti apa yang Inem ucapkan. "Bisa translate pakai bahasa Indonesia?"
"Hihihihi enak juga yo ngerjain ini bule. Guanteng pisan." Sambil cekikikan.
"Kamu ini ngomong apa, Inem? Saya ga ngerti. Cepat tunjukkan di mana kamar Amira."
"Halah ganteng - ganteng kok yo bawel seh. Sabar disek ngopo. Ora ngerti opo nek omah iki ki guedi banget."
"Mana, Inem? Kamar Amira di mana?"
"Nah, wes teko Mas. Yo iki kamare Non Amira." Louis yang tidak mengerti malah menyipitkan matanya sehingga Inem mendekat ke telinganya dan berteriak. "YA INI KAMARNYA, NON AMIRA, TUAN ... "
"Oh, please bantuin saya bukain pintunya." Inem tersentak sehingga menjitak kepalanya sendiri. "Oh, iyo yo. Sek sek aku lali Mas."
"Terima kasih ya, Inem."
"Yo, wes turokno wae ndek kasur kono."
"Apa Inem? Saya tidak mengerti." Berirama logat bule yang menurut Inem sangat lucu.
"Ya sudah. Baringkan saja Non Amira di ranjang situ."
"Ok. Lain kali jangan pakai bahasa kamu yang aneh itu saya tidak mengerti. Bahasa indonesia saja saya paham sedikit. Tapi kamu boleh ajari saya."
"Yes, Sir. I know." OMG logat inem ngomong bahasa Inggris membuat Louis senyum - senyum sendiri. Pasalnya terdengar sangat lucu di baca dengan logat semarang. Meskipun begitu Louis tidak menertawai Inem. Louis ini sangat menghargai siapa saja yang mau belajar. "Nah gitu dunk. Good." Sembari mengacungkan jempol.
Inem cemberut sembari berkata lirih. "Good. Good. Good." Lalu tatapannya beralih pada Amira. "Itu si Non tidur apa pingsan yo? Pules tenan."
Inem meminta pada Louis untuk segera meninggalkan kamar. Meskipun jujur saja ya Inem tu merasa berat hati tapi ... mau gimana lagi kalau dekat cowok tampan kadang Inem suka khilaf hihihihi.
"Biar saya yang jaga Non Amira. Sampean pergi saja."
"Really?"
"Iyo, iyo."
Belum juga si Louis meninggalkan kamar. Eh, sudah di panggil saja sama Tuan besar. Sebelum pergi dia memastikan terlebih dulu supaya jangan macam - macam sama Nona nya. "Awas yo kalau sampai macam - macamin Non Amira."
Louis langsung mendengus kesal dengan sikap Inem. Pelayan tapi sok ngatur! Dia tidak tahu apa kalau saya ini calon suami Amira. Eits, tunggu dulu. Calon suami? Sembari mengerutkan keningnya. Kan hanya pura - pura. Sayang banget ya. Coba saja calon suami beneran.
Di pandanginya wajah cantik Amira ketika sedang tertidur pulas. Benar - benar damai dan meneduhkan. Beda banget pas lagi bangun huh judes. Padahal aslinya Amira tidak seperti itu. Amira ini gadis lembah lembut serta keibuan hanya saja dia tidak pandai berpura - pura. Jika tidak suka yang pasti langsung kelihatan dari sikapnya.
"Aku ga pernah nyangka loh Amira. Tubuh mu yang ramping ini ternyata berat juga." Ucapnya sembari meregangkan otot - otot tangan. Bersamaan dengan itu Yoza masuk membuat Louis terperenyak sehingga buru - buru bangun dari sisi ranjang.
Yoza tersenyum lalu mengajak Louis keluar kamar dan bergabung dengan Tanzel. Meskipun baru bertemu tapi Louis langsung akrab dengan keluarga calon istri pura - puranya itu. Mungkin ini karena pembawaannya yang supel jadi Tanzel juga langsung klik sama dia.
Obrolan demi obrolan mengalir begitu saja hingga di titik yang membuat Louis gelagapan. Apa yang harus ku katakan? Dan kau Amira ... di saat genting seperti ini kau malah enak - enakan tidur.
Entah sudah berapa lama tenggelam dalam pikiran sendiri yang jelas suara Tanzel membawa kesadarannya kembali.
"Kenapa tidak di jawab? Apa nunggu persetujuan Amira dulu?" Tanya Tanzel yang langsung di angguki oleh Louis. Seketika senyum bahagia mengukir di bibir kokoh berpadukan tatapan penuh makna pada Yoza seolah berkata, inilah calon suami terbaik yang pantas mendampingi Amira.
"Kalau menurut saya lebih baik pernikahan kalian di percepat saja." Sela Yoza. Tak ayal Louis terperenyak hingga tersedak. "Hati - hati."
"Thank you for your attention, Sir." Yang di jawab dengan seulas senyum.
Mengingat jam sudah semakin malam Louis memutuskan untuk kembali ke hotel akan tetapi niatnya tersebut tertangguhkan oleh perintah Tanzel. "Ini sudah larut malam lebih baik kamu tidur di sini saja. Lagipula di sini tersedia banyak kamar kosong. Saya yakin Amira juga pasti akan senang mengetahui calon suaminya menginap di sini."
Keinginan Tanzel langsung di tentang keras oleh Yoza mengingat mereka belum menikah jadi tidak boleh tinggal dalam satu atap. Namun, tidak ada yang bisa menentang keputusannya. Menurut Tanzel hal seperti ini wajar - wajar saja. Toh, di dalam rumah ini juga ada banyak orang kecuali kalau Louis menginap di rumah Amira dan tinggal berdua saja. Itu baru tidak boleh.
"Inem!" Yang di panggil langsung berlari menghadap Tuan nya sembari memberi hormat. "Siap, Tuan besar. Apa yang harus Inem kerjakan?"
"Inem, Inem kamu pikir saya ini sang saka merah putih apa kamu beri hormat seperti itu!"
Inem cengar cengir tanpa rasa bersalah. "Iye, sorry. Habis kebiasaan sih sama tuh, Tuan Yoza." Sembari mengerucurkan bibirnya.
Tanzel langsung memijat keningnya akibat Inem yang terus saja nyerocos kayak rel kereta api. "Tuan besar, Inem di panggil kesini tuh di suruh ngopo toh. Kalau ga di suruh ngapa - ngapain yo tak balik lagi aja ke dapur bantuin si Dewi." Ucapnya khas logat semarang.
"Antarkan Tuan Louis ke kamar tamu!"
Inem terkejut sehingga langsung menatap Louis dengan tatapan tak percaya. "Oh, jadi sampean nginep sini toh. Yo wes ayo tak anter ke kamar tamu."
Yoza mengingatkan. "Pakai bahasa Inggris apa bahasa Indonesia, Nem. Jangan bahasa jawa. Louis ga paham yang ada dia malah bingung."
Inem langsung menghentikan langkah kemudian berbalik menghadap Tuannya. "Siap Pak bos." Sembari mengacungkan jempolnya.
...
Next chapter 💕