"Ini kamare sampean. Wes yo tak tinggal."
"Maksud kamu saya tidur di sini?"
"Lah yo jelas to. Opo perlu tak kancani pisan?" Sambil nyengir tanpa dosa.
"Inem, jangan pakai bahasa kamu. Saya ga ngerti.
"Nek ora ngerti yo digawe ngerti to Kakang Mas." Sembari mencubit gemas lengan kekar. "Ih, sampean iki tarah yo nggemesin kok."
"Aaww, sakit Inem!"
"Halah gaya. Nek Non si nyubit wae senyum - senyum."
Seketika Inem mulai mikir. Opo tangan pembantu karo majikan wi bedo yo?
Entah sudah berapa lama tenggelam dalam lamunan yang jelas tepukan lembut pada pundaknya telah membawa kesadarannya kembali. "Eh, ojo ngageti ngono to, Nek aku jantungan piye."
"Inem, saya kan sudah bilang kalau saya ini tidak mengerti bahasa kamu. Coba deh kamu pakai bahasa Indonesia."
Ekspresi Louis yang kebingungan semakin membuatnya terlihat menggemaskan dan ... sikap jahil Inem makin menggila. Belum juga beraksi sudah tertangguhkan oleh panggilan Tuan nya. Inem pun mendengus kesal. "Walah belum opo - opo kok wes gangguan teko maneh seh. Iku yo si Tuan besar seneng banget manggil - manggil Inem. Huh, nek ngerti bakale koyo ngene iki, ora gelem aku mrono mrene. Mending mau tak tunggu wae nang omahe, Non Amira. Nyapo dadak nyusul mrene ki Nem, Inem."
Inem masih saja menggerutu kesal bersamaan dengan langkah kaki menemui Tuan nya. "Apalagi Tuan besar?" Penuh penekanan di setiap kata berpadukan dengan bibir mengerucut.
Dalam hati mengumpat kesal. Opo maneh seh iki. Arep ngongkon opo maneh? Majikan sitok iki kok rewel tenan yo. Wes tuwo bawel'e ora kaprah. Ora ngerti opo nek aku iki sek karo calon bojoku, Mas Louis. Membayangkan Louis malah jadi senyum - senyum sendiri. Sek yo Mas, sabar yo. Tunggu delut engkas iki Inem sek on the way.
"Saya panggil kamu kesini bukan untuk melamun, Inem!" Bentak Tanzel yang seketika membuatnya terperenyak. "Injeh Tuan besar."
"Injah injeh injah injeh. Antarkan baju tidur ini untuk Tuan Louis."
"Ini." Menatap sejenak baju tidur di tangannya sebelum kembali menatap Tuan Tanzel. "Tapi Tuan, baju ini kan bekas Tuan besar masak iya diberikan ke Tuan Louis." Berpadukan bibir mengerucut.
"Lancang! Apa kamu tidak lihat kalau baju itu masih berlabel, hah!" Bentak Tanzel berpadukan geraman. "Iye, iye jangan marah - marah. Tahan Tuan, tahan emosinya. Ntar asam urat, darah tinggi, kambuh berabe ini."
"kurang ajar! Kamu nyumpahin saya, hah! Cepat pergi! Dasar pembantu kurang ajar!" Bentaknya sembari memegangi dadanya yang terasa nyeri. Memang seperti itulah Tanzel. Setiap kali marah - marah pasti dadanya terasa sakit, dan mungkin semua itu disebabkan oleh usianya yang sudah senja.
Yoza yang baru saja bergabung dengan sang ayah langsung mengingatkan supaya bisa menahan emosinya. "Pembantu mu itu kurang ajar!"
"Sudahlah, Pa. Memang seperti itulah Inem. Yang terpenting kerjaan dia beres dan cekatan. Lagipula Amira sayang loh sama Inem."
"Halah, Pembantu saja kok disayang. Ya gitu jadinya. Ngelamak. Ga ada hormat - hormatnya sama majikan."
Tak tahan dengan sikap sang ayah yang semakin bertambah usia semakin keras kepala dan berubah kenak - kanakan, Yoza memilih melenggang dari sana namun baru beberapa langkah dihentikan oleh panggilan sang ayah. "Yoz, mau ke mana?"
"Ke kamar. Papa sebaiknya juga ke kamar. Ini sudah larut tidak baik buat kesehatan." Namun, diabaikan oleh Tanzel. Dia emilih tetap berada di ruang santai berteman secangkir kopi. Diliriknya jam yang menggantung di dinding. Ah, sebentar lagi. Batinnya sembari menunggu mendekati pukul duabelas malam untuk melaksanakan sholat hajat.
Tanzel memilih membunuh waktu dengan menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa dengan menatap langit - langit. Entah sudah berapa lama tenggelam dalam lamunan yang jelas kedatangan Amira telah membawa kesadarannya kembali. "Loh, kok bangun sayang. Ada apa?" Sembari menegakkan duduknya.
"Opa sendiri kenapa belum tidur?"
"Menunggu waktu sholat hajat tapi masih kurang tiga puluh menit lagi. Nanti kalau tidur bisa - bisa kebablasan."
"Sama dunk. Amira juga mau melaksanakan sholat hajat. Kebetulan dari atas Amira lihat Opa masih duduk disini jadi ya sekalian aja kita sholat bareng. Oh, iya Papa mana?"
"Papa-mu sudah tidur. Ya sudah yuk bersiap sayang." Ajak Tanzel.
Kedua nya langsung melaksanan sholat malam dengan di imami oleh Tanzel. Selesai sholat saling bercengkerama dengan sang kekasih, melepas kerinduan lewat untaian doa yang disaksikan oleh ribuan malaikat. Sholawat Nabi mengalun indah mengiringi setiap hembusan nafas. Merasuk ke kedalaman hati mengantarkan rasa cintanya pada sang pencipta membawanya pada kedamaian dan ketenangan jiwa.
Sementara Louis tidak bisa memejam. Pikirannya masih saja terjaga. Ingin keluar kamar tapi takut nyasar mengingat kediaman Tanzel yang super besar, akan tetapi berada didalam sini juga terhimpit ke dalam rasa bosan. Beruntung, ponselnya berbunyi menampilkan nama William.
"Hai, kemana aja? Kita - kita barusan jemput ke apartement tapi apartement mu kosong."
"Ngapain ke apartement. Ada apa?"
"Mau ngajak kamu ke club. Memangnya kamu lagi dimana ini?"
"Di Indonesia."
William tampak terkejut. "Indonesia ... " Yang di jawab dengan deheman. Seketika mengumpat kesal karena Louis tidak mengajaknya liburan apalagi ke Negara yang sangat ingin dia kunjungi.
"Aku disini tidak liburan, William."
"Lalu?"
"Di rumah calon istri." Singkat padat jelas. Itulah jawaban yang keluar dari bibir Louis.
William tersentak. "Calon istri?"
"Hh mm."
Keduanya terlibat ke dalam perbincangan yang diiringi gelak tawa dan hal itu menarik minat Amira mendekat. Suara yang terdengar samar - samar membuat Amira terperenyak sehingga semakin menempelkan telinganya ke daun pintu. Semakin lama suara itu semakin terlihat jelas. "Siapa yang didalam situ?" Namun, tidak ada jawaban.
Beruntung, Inem melintas. "Nem, tunggu!" Yang dipanggil langsung menghentikan langkah berirama degup jantung tak karuan. Iku mau sopo yo sing nyeluk? Koyo suara ne Non Amira tapi mosok iyo Non wes tangi jam yah mene. Biasa ne kan tangine jam setengah telu terus sholat tahajud. Terus iku mau sopo sing nyeluk yo?
"Inem!" Bentak Calista.
Nah, iyo to. Suarane jan podo plek. Pasti iki setan. "Setaaann ka-kaburrrrrrrr." Teriaknya bersamaan dengan itu dia lari tunggang langgang sementara Calista mendengus kesal. "Dasar Inem. Masak iya saya dikatain setan. Awas ya kamu, Nem!"
Inem masih saja bersembunyi dibalik selimut sembari bergumam. "Hai, setan sing mirip Non Amira ojo mrene. Hust hust sono sing adoh."
Kesunyian malam mencekam semakin menenggelamkan Inem ke dalam rasa takut. Belum lagi ditambah dinginnya kamar akibat suhu ac yang sangat rendah membuatnya terhimpit ke dalam halusinasinya sendiri hingga tubuhnya menggigil.
Bibirnya terus saja komat kamit membaca ayat kursi, sholawat nabi, dan juga membaca sebuah doa yang tidak ada dalam ajaran agama tapi dia yakini bisa mengusir setan. Doa turun temurun dari sang kakek. OMG si Inem ini ada - ada saja ya.
Oalah padahal aku mau lak arep njupuk ngombe. Iki ki goro - goro setane Non Amira aku lak ora sido ngombe. Oalah terus piye iki. Batin Inem lalu mengintip keluar melalui celah selimut. Tatapannya tertuju pada jam yang menggantung didinding yang baru menunjukkan pukul setengah dua dini hari. Dia pun mendesah lelah karena waktu shubuh masih sangat lama sementara kerongkongannya tidak bisa menunggu selama itu.
Nek aku mati kehausan piye iki? Pikirnya. Mau mengambil air minum takut tapi kalau dibiarkan tenggorokannya bisa kering. Walah iso - iso kenek penyakit dehidrasi aku iki.
...
Next chapterπ