"Hust, jual apa?"
Suara yang datang secara tiba - tiba membuat Lisa tersentak sehingga langsung mendongakkan wajahnya untuk melihat siapa kah gerangan?
Tebar Pesona|
***
"Mia ... apaan sih. Kepo aja jadi orang."
Niat Mia yang tadinya mau memasuki ruangan Amira pun tertangguhkan. "Hai, aku mendengar yang kamu ucapkan. "Mau jual apa sih? Dan ... " Mia menjeda ucapanya lalu menelisik wajah Lisa. "Ada apa sih? Wajah kamu tegang gitu, pasti baru kena semprot sama Tuan Putri kan? Hih, makanya kerja yang bener."
"Kurang ajar banget sih kamu ini. Udah sana masuk!" Bentak lisa.
"Iya, iya. Jangan suka marah - marah. Awas cepat keriput dan ... jauh jodoh." Terdengar lirih pada akhir kalimat diiringi ejekan.
Tak ayal Lisa mengumpat sumpah serapah. Sementara Mia melenggang gemulai tanpa rasa bersalah sedikit pun. Semakin lama langkah kaki semakin mendekati ruangan dengan pintu super besar. Belum sempat mendorong pintunya sudah dihentikan oleh suara Lisa. Mia pun memutar tubuhnya jengah. "Apa?"
"Ntar aja deh kasih laporannya. Didalam lagi ada calon suaminya, Nona es tuh. Dari pada kena semprot mendingan kamu pergi aja lah!"
Mia memutar bola matanya. "Serius ada calon suaminya?"
Lisa mengangguk.
"Putri salju punya calon suami? Ga mungkin." Sembari mencibirkan bibirnya.
"Ish, ni anak dikasih tahu ga percaya."
Wajah Lisa yang menyirat kejujuran menarik minat Mia mendekat. "Ah, yang bener. Kamu ga lagi ngehalu kan?" Sembari menyentuh kening Lisa yang langsung dihempas dengan kasar. "Kamu pikir aku lagi sakit, hah? Jangan kurang ajar, Mia!" Berpadukan tatapan menajam berirama bentakan yang seketika membuat Mia beringsut mundur.
"Ya, kali aja. Habisnya kamu ngomongnya ngaco. Mana mungkin Putri Salju punya calon suami. Bos kita yang satu ini kan anti cowok."
"Ga percaya? Ya sudah sana masuk! DAN LIHAT SENDIRI." Nada suaranya terdengar tajam dan penuh penekanan pada akhir kalimat.
Mia memutar bola matanya. Ingin rasanya tidak mempercayai dengan yang dikatakan oleh Lisa tapi wajahnya menyirat kejujuran. Akhirnya penyakit kepo akut Mia pun kambuh sehingga mengorek banyak informasi mengenai calon suami Amira. Wajar sih kalau Mia penasaran. Secara, Amira terkenal dingin dan tidak memiliki ketertarikan pada lawan jenis, bahkan semua karyawan berfikir bahwa Nona es satu ini ... ga normal.
"Eh, calon suaminya Putri Salju, ganteng ga? Sama Aldebaran yang main di Ikatan Cinta gantengan mana?"
"Aish, ni anak ya. Makanya jangan Kebanyakan nonton sinetron. Masak bule disamain sama Aldebaran, ya jauh lah." Sembari menjitak Kepala Mia. "Aaww, sakit Lis. Ditanya ga jawab malah jitak. Sakit tahu!"
"Iya, iya, sorry. Habisnya kamu juga sih, resek."
"Ih, kamu tu yang resek." Mia masih saja memberengut kesal hingga bibirnya maju beberapa senti ke depan. Bersamaan dengan itu pintu ruangan terbuka menampilkan Amira dan lelaki tampan. Eits, bukan hanya tampan tapi sangat tampan hingga Mia dibuat tidak berkedip dengan mulut menganga.
"Hai, Nona manis awas ada lalat masuk tuh ke mulut kamu." Goda Louis lalu, tatapannya beralih pada wanita cantik disebelahnya yang menurutnya lebih cantik ketika sedang memberengut kesal, seperti sekarang ini. Bagi Louis, penampakan Amira saat ini terlihat sangat menggemaskan. Oh, Tuhan. Seandainya diijinkan aku ingin mencubit pipinya yang menggemaskan itu.
Tak ayal tatapannya pada wajah cantik dihujani sorot mata menajam berpadukan bibir mengetat. "Awas ya macam - macam!"
Tuh, kan belum apa - apa sudah main ngancam nih calon istri kesayangan. Cantik sih cantik tapi sayang galaknya minta ampun. Sabar Louis, sabar. Nanti kalau sudah kena virus cinta mu, ni cewek juga bakal luluh, bahkan bertekuk lutut. Jadi, untuk sementara waktu sabar dulu aja lah. Sembari mengusap - usap dadanya sendiri bersamaan dengan itu mengaitkan jemarinya diantara jemari lentik yang langsung dihempas kasar.
"Kita cuma pura - pura! Jaga sikap kamu!"
"Baik, Nona Tanzel." Berpadukan nafas berat yang dihembuskan perlahan supaya tidak disadari oleh Amira.
"Jalan, Pak!" Perintahnya pada Mirza.
"Kemana, Non?"
"Antarkan ke restauran terdekat."
"Baik, Non." Bersamaan dengan itu mobil melaju dengan kecepatan tinggi membelah pusat kota Bali sehingga tidak perlu waktu lama mobil yang membawa mereka pergi telah sampai ke tempat tujuan.
Niat Mirza untuk membukakan pintu mobil tertangguhkan oleh Louis. "Biar saya saja yang membukakan pintu untuk calon istri saya." Sembari mengerling genit. Yang langsung diangguki oleh Mirza.
"Silahkan, Tuan Puteri." Nada suara dan juga tatapannya dibuat selembut mungkin akan tetapi Nona es tidak juga mencair, justru melayangkan tatapan yang mampu membuat hati Louis membeku seketika.
"Dasar ga tahu terima kasih!" Umpat Louis bernada lirih berharap Amira tidak mendengar namun sial. Amira pun mendengarnya dengan sangat jelas sehingga langsung menyerang Louis dengan kata - kata tajam setajam mata pedang. Tak banyak yang dapat Louis lakukan selain hanya mengekori langkah kaki Amira.
Mendapati Amira masih saja berdiri sembari menelisik sekeliling dia pun menyarankan untuk duduk di sofa paling ujung. Beruntung, Amira langsung menyetujuinya.
Meskipun saling berdekatan namun terasa sangat jauh hingga tidak tersentuh, itulah yang Louis rasakan pada wanita cantik disebelahnya.
Meskipun terlihat sedang menikmati kelezatan dari menu di restaurant ini namun tidak dengan matanya. Ekor matanya masih saja curi - curi pandang pada wajah cantik yang terlihat semakin memancarkan kecantikannya ketika sedang serius menyantap menu makan siang.
"Sepertinya kau sangat menikmati makanan mu."
Kalimat yang mengusik pendengaran Amira membuatnya mendongak sehingga langsung bertatapan dengan wajah Louis. Tidak ada yang Amira ucapkan selain hanya melemparkan lirikan tajam.
Benar - benar menyebalkan. Dari jaman kuliah sampai sudah lulus, sikapnya selalu saja dingin. Dia ini manusia apa jelmaan es sih. Dasar ga asyik. Gerutu Louis berpadukan tatapan mengunci pada wajah cantik.
Merasa terus menerus ditatap secara intens Amira kembali mendongakkan wajahnya seiring dengan itu sendoknya dibanting dengan sangat keras hingga terdengar bunyi nyaring. Tidak hanya Louis yang dibuat tersentak namun beberapa pengunjung pun dibuat demikian. Tak sedikit dari banyaknya pasang mata saling melirik hingga berbisik membicarakan keduanya.
"Lihat sekeliling mu, Amira. Akibat ulah mu kita jadi pusat perhatian."
Bibir ranum makin mengetat berpadukan sorot mata menajam, bersamaan dengan itu semakin mencondongkan wajahnya ke depan. "Aku tidak peduli, Louis. Sama sekali tidak peduli. Aku tidak peduli dengan yang orang lain bicarakan tentang ku. Dari pada peduli pada urusan orang lain akan lebih baik kau perbaiki diri mu."
Jari tulunjuk langsung mengarah ke dadanya sendiri. "A-ku? Kenapa dengan ku? Apa yang salah dengan ku?"
"Sangat banyak yang harus kau perbaiki, Louis. Tidak mudah menjadi menantu dari keluarga Tanzel untuk itu belajarlah tentang etika dan juga sopan santun. Didalam keluarga Tanzel tidak diijinkan mengeluarkan suara selama makan. Kau tahu kenapa?"
Louis menggeleng.
"Berbincang sembari makan sangat tidak dibenarkan dalam adat ketimuran."
"Kenapa tidak boleh? Di Negara ku boleh - boleh saja."
"Itulah perbedaan kita, Louis. Kita harus menghargai makanan, untuk itu ada waktu tersendiri untuk saling berbincang."
"Ya, ya, aku tahu sekarang. Tapi Amira, kau harus tahu bahwa kita ini hanya calon suami pura - pura lalu kenapa aku harus mengikuti aturan mu, hum? Jangan bilang kalau kau mengharapkan bahwa hubungan kita ini bukan lagi pura - pura tapi .... nyata." Sembari mengerling genit.
Ah, sial. Dia ini selalu saja menyebalkan! Umpat Amira.
...
Next chapterđź’•