Wanita yang pingsan itu adalah diriku!
"Bagaimana bagus enggak videonya?" Anton menggerakan alisnya. Aku tidak berkutik. Jadi selama aku pingsan itu mereka mengerjaiku dan merekamnya. Busuk sekali niat mereka, mengekploitasi tubuhku tanpa rasa iba sedikit pun.
Prang!
Aku merebut ponselnya dan membantingnya ke lantai. lalu, menginjaknya dengan penuh emosi. Anton tidak bergeming, melihatku menghancurkan ponselnya sampai berkeping-keping.
"Lihat ponselmu sekarang sudah hancur. video itu sudah lenyap." Seruku dengan tawa depresi. Tapi justru mereka tertawa terpingkal-pingkal, membuatku terheran-heran.
"Kamu pikir video itu hanya ada di hp itu saja hah! Bodoh sekali kamu!" sahut Anton sembari memegangi perutnya yang keras. sementara Pak Sugeng dengan perut tambunnya yang bergetar.
Aku depresi. Bener-benar depresi. Apa yang akan mereka lakukan dengan video itu. apa mereka akan menyebarkannya? Terus kalau sampai itu terjadi. Bagaimana dengan harkat dan martabatku?
Aku berpikir dengan pindah ke surabaya dan menikah dengan Mas Angga kehidupanku akan menjadi lebih baik, tetapi musibah silih berganti menghujam hidupku. Aku terpaku tidak berdaya di hadapan dua brengsek di depanku yang sengaja ingin mempermainkan hidupku.
"Tolong, jangan sebarkan video itu, ku mohon!" aku bersimpuh sembari memegangi betis Anton yang keras. Tidak terasa, air mataku berjatuhan, tidak sanggup membayangkan bagaimana kehidupanku setelahnya kalau sampai video itu tersebar.
"Haduh, bagaimana ya? Sebenernya aku sudah mengupload videonya di situs dewasa di internet. Tapi tenang saja. hanya penonton yang berlangganan saja yang bisa melihatnya. Tapi lumayan juga yang lihat. hahaha" Kelakarnya yang tidak lucu sama sekali.
Gila! Anton telah menjualku! Gigiku gemeletukan. Wajahku memerah seketika. Malu. Namun, aku tidak boleh gegabah untuk melawan manusia licik seperti dia.
"Bangunlah, Tidak baik di lihat oleh pegawai sini." Perintah Pak Sugeng yang sudah selesai tertawa. Aku pun kembali berdiri. Pasrah dengan apa yang akan mereka lakukan terhadapku.
"Kamu tidak mau kan video itu tersebar lebih luas lagi?" tanya Anton. Aku mengangguk cepat.
"Mulai sekarang, selain kamu bekerja sebagai resepsionis di tempat gym. Kamu juga harus melakukan apapun yang kami minta. Apapun itu." dia menekankan kata-kata terakhirnya. Dengan berat hati, aku mengangguk.
"Jadilah kucing rumahan yang penurut sayang." Gelak Pak Sugeng sembari menampar dua belahan indah di belakang.
Plak.
"Ahh.. iii ya Pak."
"Bagus, sekarang kamu ke tempat gym sekarang, Nanti malam ada kejutan spesial untukmu." Ujar Pak Sugeng dengan kerlingan nakal.
***
Sudah dua hari aku tidak pulang ke rumah. Itu di karenakan setelah tempat gym tutup. Pak Sugeng membawaku ke sebuah hotel. dia memaksaku untuk melayaninya. Aku pun hanya menuruti keinginan pria tua yang tidak tahu diri itu. Ternyata, hasratnya yang besar tidak diimbangi dengan tenaganya yang sudah lemah. Jadi setelah kurang lebih tiga puluh menit dia bergumul, akhirnya dia kecapekan dan tertidur sampai pagi. Begitu terulang sampai hari kedua.
Anton kemana?
Aku tidak tahu pasti kemana perginya bajingan yang satu itu. Aku pun juga tidak menanyakan kepada Pak Sugeng. Hal yang perlu aku syukuri, karena tidak perlu berhadapan dengan bajingan yang untuk melihat wajahnya saja, rasanya pengen muntah.
Dihari ketiga, akhirnya aku bisa pulang. Sebenernya Pak Sugeng ingin mengajakku ke hotel. tapi berhubung dia takut kalau Bu Wiwin curiga. Maka dia tidak mengajakku lagi. Setelah tempat gym, tutup, dia memintaku untuk pulang.
Mobilku sudah sampai di depan rumah. Rasanya enggan sekali untuk memasuki rumah itu. tidak tahu kenapa. Sebuah ide tercetus di kepalaku untuk ke rumah Pak Min. Seketika aku langsung tancap gas ke perumahan tempat Pak Min tinggal.
Aku memarkirkan mobil di pinggir jalan utama perumahan. Di sana tampak beberapa mobil yang parkir karena memang biasanya buat parkir bagi para pemilik mobil yang tinggal di perumahan itu. mengingat akses jalannya yang sempit dan ruang terbatas.
Aku pun berjalan dengan tergopoh-gopoh menuju gang Rumah Pak Min. Terlihat beberapa pemuda yang nongkrong bersiul-siul kepadaku. Namun aku tidak menggubrisnya.
Ternyata rumah Pak Min masih terbuka. Aku tertegun melihat Bu Min yang sedang sibuk menata sayuran-sayuran segar.
"Permisi Bu."
"Iya, eh Mbak Dina, kok malam-malam datang ke sini?" sedikit kikuk aku mendengar perkataannya. Aku memang datang ke sini untuk memastikan Pak Min baik-baik saja. Malam itu, ketika Pak Min dan Bu Min yang menginap di rumahku, Kondisi Pak Min masih sangat lemah. Sesekali dia terbatuk. Atas bantuan beberapa warga, dia pun akhirnya di bawa pulang ke rumah. awalnya aku menawarkan supaya beliau di rawat di rumah sakit. Tetapi beliau menolak keras. dia bilang apa yang dialaminya sama sekali tidak berhubungan dengan medis.
"Bagaimana Kondisi Pak Min, Bu." Ucapku pelan.
"Ya begitu Mbak, udah beberapa hari ini dia terbaring di kamar. Mau makan pun susah. Dia sering memuntahkan makanan terus batuk-batul." Rona wajah Bu Min sedih. Aku menjadi merasa bersalah, karena telah meminta Pak Min untuk melihat kondisi ibuku di alam lain, yang ternyata berimbas buruk kepadanya.
"Silakan masuk Mbak." Ujarnya ramah. Aku beranjak Masuk. Di lantai yang beralaskan sak, sudah terlihat berbagai macam sayuran yang sudah diikat rapi menggunung.
"Ibu jualan ya." Tanyaku.
"Iya Neng," sahutnya singkat. Dia menyatukan kedua tangannya dan menggerak-gerakan jempolnya gelisah. Aku terheran melihat gelagatnya.
"Ibu Kenapa?"
"Aduh, jadi enggak enak ngomongnya Mbak."
"Ngomong saja Bu, enggak apa-apa kok." Kataku penuh perhatian.
"Jadi gini Mbak, sebenernya saya itu jualan di pasar Kemuteran. Saya biasanya berangkat pukul tiga pagi untuk dasar disana. Berhubung suamiku sakit, jadi beberapa hari ini aku tidak jualan. Sementara kami butuh pemasukan Mbak." Jelas Bu Min.
"Apa yang bisa saya lakukan untuk membantu Bu?"
"Mbak mau enggak jagain suamiku selama aku di pasar? Saya hanya sampai pukul sembilan pagi saja kok."
Aku terdiam sejenak. Biasanya aku berangkat kerja pukul sebelas siang. Jadi tidak ada masalah kalau aku menginap disini, menemani Pak Min.
"Boleh, dengan senang hati Bu. Ibu pergi jualan saja, Biar nanti saya yang jagain Pak Min." Ujarku tulus.
"Yang bener Mbak? Makasih ya." Dia mengapit tanganku dengan erat. Rona wajahnya terlihat bahagia sekali. aku jadi teringat dengan ibuku.
"Oh iya, Bu. Ibu sudah selesai menata sayurannya? Biar saya bantu?"
"Tidak perlu repot-repot Mbak. Sudah semua kok, tinggal nunggu bentor saja untuk mengangkutnya ke pasar."
***
Jam tiga pagi, Ibu Min sudah berangkat menuju pasar. Aku yang sedari tadi duduk di samping tubuh renta yang tergolek lemah. Mataku berair. Hati ini terasa perih. Aku butuh orang untuk berbagi. Biasanya tubuh renta di depanku ini dengan sigap menampung segala keluh kesahku, dia pun tidak segan untuk memberikan nasehat dan solusi. Tapi kini..
Melihat keadaannya saja, aku tidak tega. Rasanya aku seperti mahluk paling egois di dunia. Pak Min begini gara-gara aku, terus aku ingin beliau bangun untuk mendengarkanku menyampah.
Tiba-tiba di kesunyian pagi buta. sayup-sayup terdengar suara wanita mendesah manja. Aku memastikan pendengaran. Suaranya berasal dari balik tembok!