Langit malam menghias dengan taburan bintang di atas sana. Dewi malam tak absen dengan bulatan sempurna dan cahaya kuning yang menenangkan. Langkah kaki gadis cantik berambut panjang yang jatuh tepat di atas punggungnya itu masih sana ringan tak dipercepat meksipun jarak untuk sampai ke rumahnya masih sedikit jauh. Malam larut sudah datang, kiranya pukul dua belas malam lebihnya beberapa menit saja. Gadis itu sesekali menguap untuk mengeluarkan udara yang ada di dalam tubuhnya. Matanya berbinar-binar selepas genangan air mata itu memenuhi di dalam kelopak matanya. Jika ditanya seberapa lelah Sandra malam ini, maka jawabannya adalah sangat lelah. Ia juga mengantuk. Beberapa akhir ini gadis itu tak bisa benar-benar menuntaskan tidurnya dengan nyaman. Sandra baru bisa tidur pukul satu hingga setengah dua pagi. Di tengah tidurnya, ia selalu saja terbangun selepas mimpi buruk datang padanya. Sesekali keringat datang membasahi tubuhnya kalau-kalau hawa panas dirasa selepas berjuang untuk segera keluar dari mimpi buruk itu.
Sandra tak bisa mengerti semuanya dengan baik. Ia mengingat semua masa kecilnya dengan jelas. Tak ada memori buruk di sana, gadis itu bahagia dengan masa kecilnya yang dipenuhinya dengan kasih sayang dan kehangatan. Tak ada alasan untuk mimpi buruk yang datang begitu ia menginjak masa remaja. Semua dimulai kala Sandra memperjuangkan mimpinya untuk menjadi seorang balerina terkenal. Mimpi itu terus saja datang seakan mengajak dirinya untuk berkomunikasi dan ingin menyampaikan sebuah pesan rahasia pada Sandra.
Ada satu kalimat yang membuatnya selalu terbayang-bayang dengan mimpi itu, di setiap akhir kisah dongeng di dalam mimpinya, sebuah suara yang entah datangnya dari mana mengatakan satu kalimat yang mengerikan untuk Sandra. Katanya, "Kau sedang berada dalam bahaya, Nak! Pergilah! Larilah! Ganti mata itu!"
Gila! Itulah yang membuat Sandra selalu terbangun dari mimpi buruknya dengan keadaan napas yang terengah-engah. Rasanya seseorang baru saja mengajak Sandra berlari berpuluh-puluh kilometer jauhnya.
Lampu terang berwarna putih menyorot ke arah gadis itu berjalan. Sandra menoleh dan memutar tubuhnya sejenak. Jalanan yang ia lalui bukanlah jalan raya antar kota dan provinsi. Ini hanya sebuah jalan berukuran sedang yang menjadi 'potong kompas' untuk Sandra kalau pulang dari bangunan bar itu. Memang, sepi bak kota mati yang tak berpenghuni. Suasananya sedikit menyerahkan dengan lampu jalanan yang tak terlalu terang cahayanya. Rumah-rumah yang berjajar di setiap kanan dan kirinya sudah bak rumah hantu saja. Orang-orang yang ada di dalam sudah terlelap dengan menutup seluruh akses pintu dan jendela-jendela, serta merapatkan tirai dan mematikan lampu utama. Hanya Sandra seorang diri yang masih berjalan di jalanan komplek ini. Suara kerikan jangkrik tak ada lagi kala mesin mobil mewah itu terdengar begitu tegas menghampiri dirinya.
Asing dan sedikit aneh saat mobil itu berhenti tepat di sisi Sandra. Gadis itu mulai membungkukkan badannya untuk mencari celah bisa melihat siapa yang ada di dalam sana. Sandra Iloana bukan gadis yang bernyali pengecut. Jika gadis-gadis di luar sana akan acuh dan mempercepat langkah kalau sebuah mobil mewah misterius menghampiri dirinya yang sedang berjalan seorang diri di malam yang gelap seperti ini, maka Sandra akan berhenti dan memastikan sesuatu. Kali saja, orang di dalam sana sedang ingin meminta bantuan padanya.
"Masuklah ...." Suara seorang pria yang duduk di atas kursi penumpang menyela dirinya. Kaca mobil gelap itu diturunkan perlahan. Membuat wajah tampan pria yang terlihat dari samping oleh Sandra itu mulai dapat direkam jelas oleh sepasang lensa miliknya. Ah, Sandra mengenal wajah itu.
Mr. Leo Wang. Pria yang kata teman-temannya di penyuka dunia malam adalah pria hebat yang mampu membangun gedung besar di usianya yang masih muda. Juga, ia adalah rajanya 'orang-orang' malam di Jakarta. Semua manusia yang suka menghabiskan waktu dan uang di dalam bar, diskotek, longue, dan lainnya pasti tak asing kalau nama Mr. Leo disebutkan. Bak pantas untuk dipuja, pria tampan dengan wajah bersih inilah yang menjadi 'Tuhan' untuk orang-orang seperti itu.
"Aku bilang masuklah," ulangnya kembali. Kali ini ia menoleh untuk menatap wajah Sandra dengan eskpresi bingung tak mengerti. Ya, gadis mana yang bisa memahami situasi tiba-tiba seperti ini? Sandra dan Mr. Leo baru saja mengenal lewat pandangan dan kejadian buruk beberapa menit yang lalu. Belum ada satu jam putaran penuh, pria ini sudah mengajaknya untuk pulang bersama.
Ah, bingo! Inilah prinsip hidup 'orang malam'.
"A--aku bisa pulang sendiri, Sir. Terimakasih tawarannya." Sandra tersenyum manis. Ia membungkukkan badannya sejenak lalu mulai memutar tubuhnya untuk berjalan meninggalkan pria itu. Bukannya berpikir aneh-aneh, Mr. Leo bukan preman gila yang akan menjamah tubuhnya dan menyiksanya di dalam sebuah pesta seks. Toh juga, ia paham kalau selera pria itu pasti lebih tinggi dari gadis miskin seperti Sandra. Ia memang cantik, tetapi tak punya kharisma dan wibawa seperti wanita-wanita di luar sana. Sandra cukup nyaman dengan hidup yang 'itu-itu saja'.
Naas, pria berbadan kekar menghadang langkahnya dengan membuka kasar pintu mobil yang ada di sisinya. Sandra dipaksa untuk berhenti sejenak. Ia berpapasan dengan seorang pria yang jauh lebih tinggi darinya. Mata keduanya bertemu sejenak. Pria berkumis dengan jenggot yang memberikan kesan garang di atas wajah itu sukses membuat Sandra mengulum salivanya berat. Takut? Sedikit. Tubuhnya bak batu kerikil yang disandingkan dengan batu besar di depannya.
"Jika Mr. Leo sudah meminta, maka pergi dan turuti itu, Nona. Jangan membuatnya menunggu lama," ucapnya dengan suara berat.
Persetanan gila! Memangnya siapa itu Leo Wang untuk Sandra? Mereka bahkan masih asing sampai detik ini.
"Aku bisa pulang—" Sandra menghentikan kalimatnya. Ia memejamkan rapat kedua mata bulatnya lalu menundukkan kepalanya dan mengangguk ringan. Helaan napas ringan dan pendek keluar begitu saja dari celah bibirnya saat ini. Benar, tak ada gunanya membatah. Jika Sandra tak mau digotong dengan kasar dan dilempar masuk ke dalam mobil, maka ia harus masuk sendiri dengan cara yang lebih elegan dan terhormat. Toh juga, ini sudah malam. Ia tak mau menghabiskan waktunya dengan perdebatan tak berguna seperti ini.
Sandra kembali menatap pria yang ada di depannya. Ia menganggukkan kepala lalu tersenyum kikuk. "Baiklah, Pak. Minggir dari hadapanku. Biarkan aku berjalan," tukasnya sembari melirik ke arah dada kiri pria itu. Ada yang tak asing untuk Sandra. Sebuah pin kecil berwarna emas mengkilap dengan tulisan Yes-men di atasnya. Ah, inilah tandanya! Jika suatu saat nanti Sandra menemui pria berbadan kekar, berwajah seram, dengan pandangan mata yang tak santai, dan pin kecil sebagai tanda pengenal, maka itu adalah orang-orang dan anjing peliharaan Mr. Leo.
... To be Continued ...