Uang selalu sukses mendorong siapapun melakukan apa saja, mereka bahkan sering tidak berpikir kalau yang mereka lakukan akan membunuh mereka.
Seketika suasana menjadi sangat heboh. Semua orang berlari untuk menangkap Naara sesuai yang diperintahkan Gubernur Dio namun kebanyakan dari mereka harus berakhir dengan terlempar atau dengan tulang yang patah, beberapa juga harus puas dengan hanya memeluk angin disebabkan kegesitan Naara dalam berkelit.
"Kita harus membantunya!"
"Hey, tunggu!"
Henri berlari untuk membantu Naara, si gondrong juga beberapa petarung lainnya segera mengikuti.
"Dia ke sini untuk membantu kita jadi kita harus membantunya juga," ucap Henri masuk ke kerumunan dan segera terlibat perkelahian dengan beberapa orang.
"Huh. Benar juga. Kalau begitu ayo maju, SEMUANYA!" Si gondrong memimpin petarung lain untuk melakukan hal yang seperti Henri lakukan. Bentrok antara petarung dan anak buah Gubernur Dio pun tak terelakkan.
Di depan kursinya, Gubernur Dio merasa jengkel setengah mati melihat kelakuan para petarung, dulu ia punya para gadis tergadai untuk mengancam mereka tapi sekarang, "Lihat saja kalian akan kubuat menyesal," batinnya menatap geram pada Henri dan petarung lainnya yang berusaha membantu Naara.
Di sisi lain, Jay yang sejak tadi terdiam tiba-tiba berteriak, "MINGGIR KALIAN SEMUA DIA ITU MANGSAKU!!" ia menembakkan segel bunga dan menjala semua orang yang menghalanginya dari Naara seperti menjala gerombolan ikan, itu cukup membuat kehebohan berhenti beberapa detik.
Setelah melakukan itu Jay dengan cepat kembali menembak namun Naara langsung menghindarinya.
"Gawat!" Seorang petarung tiba-tiba muncul di dekat Henri dengan wajah panik.
"Ada apa?" Henri bertanya.
"Gubernur memberi perintah pada sejumlah anak buahnya untuk mengejar dan membunuh para gadis tergadai yang mereka temukan!"
Henri dan semua petarung yang mendengarnya menjadi sangat khawatir jika yang mereka temukan adalah gadis yang mereka perjuangkan.
Gigi Henri menggemeretak lalu berlari menyerang Jay membuat Jay menghentikan serangan pada Naara dan melompat mundur untuk menghindar.
"Anak itu, ayo!" Si gondrong dan petarung yang lain berlari dan ikut menyerang Jay.
"Sial!" Kesal. Jay merasa terganggu, lalu tak lama sebuah tendangan mengenai perutnya dengan telak, membuatnya terseret mundur.
"KAK NAARA PERGILAH! KAMI PERCAYAKAN MEREKA PADAMU!"
Mendengar itu Napas Naara sedikit terhentak karena terkejut. Apa sekarang dia benar-benar sudah menjadi orang baik?
"Tidak akan kubiarkan!" Jay hendak menembakkan segel bunga namun si gondrong dan petarung lain langsung menerkam dan mengunci seluruh tubuhnya.
*
Niin berbelok beberapa kali, memasuki sebuah ruangan dan bersembunyi dibalik salah satu pilar besar. 'Astaga, harusnya aku tidak sok jadi pahlawan' ia menggigit bibir bawahnya saat A dan kawan-kawan berada dekat dengannya. Jangan tanya seberapa cepat jantungnya berdetak saat ini terlebih ketika A berdiri di dekat pilar.
"Gadis itu larinya cepat sekali," ucap si B.
Niin melangkah pelan-pelan ke sisi lain pilar saat A menoleh ke arahnya. Ia memejamkan mata berharap semoga ia tidak ketahuan apa lagi tertangkap.
"Dia tidak ada di sini, ayo pergi!"
Setelah memastikan A dan teman-temannya pergi, ia keluar dari persembunyiannya. Sejenak ia melihat sekeliling ruangan yang sangat luas namun hampa. Tidak ada apapun di sana.
Beberapa saat kemudian tiba-tiba ia mencium bau menyengat nan tidak mengenakkan dari udara.
"Ukhuek. Bau apa ini?" Ia mengibas-ngibaskan tangan di depan hidung lantas berlari untuk meninggalkan tempat itu namun ia terkejut saat pintu yang tadi ia lewati sudah tidak ada.
"Apa?" Ia meraba-raba dinding di depannya dan berpikir apa dia salah mengingat? Ia melihat ke segala sisi dan tidak menemukan yang dia cari.
"Tidak mungkin!" Ia berjalan meraba setiap sisi dinding untuk memastikan sementara bau tidak mengenakkan di ruangan tersebut seiring waktu semakin menyengat. "Di-dimana pintunya ukhuk ukhuk. Ahk." Ia mulai terbatuk-batuk dan merasa pusing. Udara pun rasanya semakin tipis.
"Apa mereka menjebakku?" Ia bergumam sembari terus meraba dan mendorong dinding, barang kali pintu ruangan itu adalah pintu rahasia.
Wusss!
Tidak lama kemudian ia merasakan hawa panas terpapar di punggungnya dan saat menoleh ia seketika terbelalak melihat kobaran api di depannya yang dengan cepat membesar dan melebar.
Spontan hal tersebut membuatnya sangat panik. "Tidak. TOLONG! TOLONG! SIAPAPUN TOLONG AKU!" Ia menggedor-gedor dinding sekuat tenaga, di sisi lain api semakin besar. "TOLONG ... hiks ... hiks ...." Ia mulai menangis namun ia tiba-tiba beku saat melihat kobaran api telah mengepung dari tiga arah, kedua matanya membelalak kaku tak bisa berkedip melihat nyala api berkobar di depannya.
Bayangan masa lalu bermunculan dari dalam ingatannya dan terputar seperti cuplikan film. Desa yang terbakar, penduduk yang dibakar lalu ... bayangan tersebut berganti ke saat ibunya mengorbankan diri untuknya lalu berganti ke detik-detik dimana ayahnya terurai menjadi debu.
Semua bayangan itu, semua kenangan itu, sukses mengorek kembali luka di dalam hatinya. Ia pun gemetar, air mata meluncur begitu saja lalu semua semakin buruk saat gangguan psikis yang ia alami membuatnya merasa mendengar suara jeritan dan teriakan memilukan dari mereka yang dibakar malam itu.
"Hentikan ... hiks hentikan hiks ...." Ia menutup kedua telinganya. "Hiks ... hentikan ... aku mohon HENTIKAN!! hiks ...." Tubuhnya meluruh hingga terduduk di lantai, sekarang pikirannya benar-benar sudah terjebak dalam kenangan menyakitkan itu sementara api sudah akan melahapnya.
Wuss ....
Ia masih menangis sambil menutup kedua telinga, ia bahkan tidak sadar kalau ada seseorang sedang berdiri di hadapannya sekarang.
"Apa kau berniat jadi kambing panggang?" Suara berat itu membuat isakannya terhenti dan sadar. Ia menengadah dan ....
Wusss ....
"Mha?" Napas Naara terhentak, matanya sedikit membulat saat Niin tiba-tiba memeluknya sangat erat sambil menangis. Ia merasakan kalau gadis itu sangat gemetaran.
Seolah mengerti apa yang terjadi, satu tangannya bergerak perlahan merangkul pinggang Niin sementara tangan yang satunya menarik pedang.
Slash!
Brakk!
Dinding di depannya terpotong lalu ambruk, membuka jalan keluar. Tanpa melepaskan pelukan Niin dan rangkulannya kepada Niin, ia membawa gadis itu keluar.
"Asmara." Suara seseorang dari koridor samping menghentikan langkahnya. Tidak ada kata-kata yang ia ucapkan tapi pikirannya bertanya-tanya siapa sosok yang baru datang tersebut.
"Naara si pedang buta." Sosok berjubah hijau keluar dari koridor yang gelap dan berdiri di tempat yang lebih terang–lebih dekat dengan Naara. "Gadis itu manis juga," Iucapnya sambil melihat Niin.
Merasa sosok itu hanya membuang waktunya, Naara berbalik dan mengangkat lalu menebaskan pedangnya. Sekilas sinar biru horizontal melesat ke atas, satu detik kemudian atap terpotong, ambruk dan membuka jalan menuju dunia luar yang terang.
"Kau sangat cuek, yah. Padahal kita ini calon partner."
Naara menunda niatnya untuk pergi dan menoleh sedikit. "Maksudmu?"
"Pimpinanku ingin kau bergabung dengan kami di Root. Kau pasti sudah dengar tentang Root 'kan?"
"Tidak tertarik dan tidak pernah." Naara menyarungkan pedangnya lalu mengangkat Niin yang sudah tidak sadarkan diri ke dalam gendongannya kemudian terbang meninggalkan si jubah hijau.
Si jubah hijau nampak tersenyum di bawah tudungnya. "Cepat atau lambat kau akan bergabung dengan kami," ucapnya.
*
Perlahan-lahan Niin membuka kedua matanya, saat itu ia hanya bisa melihat cahaya putih menyilaukan. 'Apakah ... aku sudah mati?' Sejenak ia mengira kalau dia saat ini mungkin sedang ada di alam akhirat namun tak lama beberapa siluet muncul di tengah cahaya tersebut.
"Ah!" Sekarang matanya benar-benar terbuka, sosok-sosok dari siluet-siluet tadi kini terlihat jelas. Binggo, Inri dan beberapa gadis tergadai yang lain ada di dekatnya.
"Syukurlah akhirnya kau bangun," ucap Binggo senang.
"Niin bagaimana perasaanmu sekarang? Apa ada yang sakit?" Indri bertanya cemas.
"Um yah, aku baik-baik saja terima kasih." Niin bangun lalu melihat semua orang, tidak lama kemudian Naara datang dan berdiri di ambang pintu. Melihat pria itu ia langsung terbayang kejadian di tengah api, di mana ia tanpa rasa malu memeluk pria itu dengan erat.
Sekarang wajahnya sudah merah seperti tomat.
"Kalau kau sudah merasa baikan bisa kita pergi?" tanya Naara seketika membuat semua gadis terkejut dan kompak melihat ke arahnya.
Di pikiran gadis-gadis itu, Naara ini benar-benar pria yang tidak pengertian sementara Binggo cuma bisa melepas napas lelah dan Niin cuma bisa tertawa kecil.