Hening. Suasana menjadi sangat hening di antara Dangcaw yang telah menjadi manusia sapi dengan Naara yang masih diam di bawah tudungnya.
Setiap mata yang menyaksikan nampak tidak bisa berkedip.
Niin yang ikut menyaksikan perubahan Dangcaw mulai khawatir untuk Naara. Dia bisa merasakan aura membunuh yang bergerak liar di sekitar Dangcaw.
Dangcaw mulai mengambil ancang-ancang layaknya seekor sapi yang marah setelah itu ia pun langsung berlari menyerang Naara.
Menyadari serangan musuh datang, Naara tidak tinggal diam. Ia segera menghindar dan melakukan perlawanan namun ia menyadari bahwa kekuatan dan kecepatan musuh sudah meningkat dua kali lipat dari sebelumnya. Ia merasa Dang berpotensi mematahkan tulang manusia yang tidak terlatih dalam satu pukulan.
Dangcaw terus menyerangnya tanpa memberinya waktu sedikit pun untuk mengambil napas. Semakin lama ia mulai merasakan sakit di tulang tangan dan kakinya setiap kali ia menangkis serangan Dangcaw.
Niin, Alma beserta semua warga yang menyaksikan berharap-harap cemas pada Naara. Mereka sangat berharap Naara bisa mengalahkan Dangcaw dan membebaska desa mereka dari Animan.
"Ahk." Naara menerima satu pukulan yang membuatnya merasa seluruh isi perutnya akan keluar namun ia tidak punya waktu untuk meratapi hal tersebut. Ia harus terus bergerak untuk menghindari serangan mematika Dangcaw yang lainnya.
"Sial, merepotkan," batinnya, menghindari tinju Dang lalu memberikan tendangan untuk membuat jarak kemudian melompat mundur untuk memperlebar jarak.
Host ... Host ... Host
Napasnya tersengal-sengal dan keringat mulai bercucuran dari seluruh tubuhnya. Di beberapa bagian ia merasa perih akibat goresan-goresan yang disebabkan oleh tanduk Dang. Belum sempat ia mengatur napas, Dang kembali menyerangnya beruntung ia masih bisa menghindar.
"Mati kau!!" Dang terus menambah kecepatannya dan membuat Naara menerima berbagai pukulan.
"Guru!!" Niin tersentak saat Naara terjatuh dan Dang mencoba menghantamnya dari atas. Tapi ia lega saat Naara dengan cepat berguling, bangun dan melompat mundur sehingga ia selamat dari serangan fatal Dang. Terlihat tanah yang terkena hantaman Dang mengalami keretakan.
Dada Naara kembang-kempis, ia merasa napasnya akan putus.
"Ada apa, hah? Sepertinya kau sudah ingin pingsan," sinis Dang. Wajahnya menunjukkan kalau dia cukup yakin bisa mengalahkan Naara.
Naara mengatur napasnya hingga lebih tenang kemudian tersenyum di bawah tudungnya. "Huh. Kau jangan senang dulu. Tadi itu baru pemanasan," ucapnya membuat gigi Dang bergemeretak, kesal karena merasa sangat diremehkan.
Dang kembali memasang kuda-kuda untuk menyerang. Dalam benaknya ia berkata bahwa dia akan menghancurkan Naara.
Di lain sisi, Naara pun bersiap menyambut serangan Dang. "Kuharap sepuluh tidak terlalu mencolok," batinnya.
Ekspresi kaget yang tipis terlihat di wajah Niin saat ia merasakan aura dari lonjakan kekuatan Naara.
"Ada apa?" tanya Alma yang menyadari ekspresi Niin.
"Ah? I-tu ... bukan apa-apa," jawab Niin tersenyum sekilas lalu kembali melihat ke arah Dang dan Naara yang sudah kembali bertarung sedangkan Alma hanya bisa menatap bingung.
Pertarungan sengit berlangsung antara Naara dan Dang. Mereka silih berganti memukul mundur dan bertukar seangan. Seiring waktu kecepatan mereka terus meningkat hingga nyaris tidak bisa diikuti oleh mata.
Orang-orang yang menyaksikan mereka merasa sangat terpukau hingga tanpa sadar mereka mulai keluar dari persembunyiannya. Tentu saja hal tersebut tidak luput dari perhatian Niin, Alma dan ibunya.
Tanpa terasa tujuh menit sudah berlalu, Naara dan Dang yang sejak tadi bertukar pukulan melompat mundur untuk membuat jarak. Napas keduanya tersengal-sengal, keringat pun membanjiri tubuh mereka.
Wajah Dang terlihat dipenuhi luka memar, dari hidung dan matanya mengalir sejumlah darah. "Harus kuakui kau adalah salah satu lawan terkuat yang pernah kutemui," ucap Dang setelah napasnya sudah sedikit tenang.
"Dan kau adalah salah satu lawan terlemah yang pernah kutemui," ungkap Naara kembali membuat kesal Dang.
"Cih. Dasar sombong," umpat Dang. Perlahan-lahan asap tipis keluar dari tubuhnya dan seiting dengan itu besar otot-ototnya kembali mengalami peningkatan hingga merobek baju hitam tanpa lengan yang ia kenakan. Bukan hanya itu setiap tanduknya pun bertambah panjang. Disamping itu seluruh pemukaan kulitnya perlahan menjadi hitam mengilap. Seakan ia berevolusi dari sapi menjadi banteng."Kita lihat apa kau bisa menghadapi ini." Dang membungkuk sambil menatap tajam. Ia benar-benar bertingkah seperti banteng sungguhan.
Obrolan-obrolan kecil dari warga yang entah sejak kapan telah berkumpul menjadi kerumunan mulai terdengar. Mereka mengatakan bahwa Dangcaw sudah bermaksud mengakhiri pertarungan. Kata mereka, dalam wujud itu Dang bisa menghancurkan apapun hanya dengan sekali pukul.
Niin yang berada di antara mereka kembali khawatir pada Naara.
"Hm." Naara memasang kuda-kudanya lalu sedetik kemudian ia dan Dang saling melesat untuk melanjutkan pertarungan mereka.
"Kecepatan dan kekuatannya meningkat dua kali lipat lagi. Ini merepotkan," batin Naara terus bergerak menghindari serangan cepat Dang yang brutal.
Ledakan-ledakan kecil terdengar setiap kali serangan Dang hanya mengenai tanah dan menghancurkan benda-benda lain di sekitar.
Darah mulai mengalir dari beberapa luka di tangan Naara akibat goresan-goresan yang di sebabkan tanduk Dang. Semakin lama Naara semakin dibuat kualahan saat Dang terus menyerangnya tanpa memberi jeda sedikit pun hingga pada suatu saat ia terjatuh karena tersandung kaki sendiri.
Melihat peluang, Dang segera memanfaatkannya. Ia berdiri layaknya seekor banteng yang menempatkan selutuh berat di kakinya untuk menginjak musuh sampai tewas namun untungnya Naara masih sempat bereaksi dengan berguling dan segera bangkit. Terlihat tanah yang terkena hantaman kaki Dang membentuk kawah yang cukup lebar. Bisa dipastikan orang yang terkena serangan tersebut akan kehilangan nyawa.
Para penonton merasa tegang setiap kali melihat Naara terpojok.
Naara berlari dari kejaran Dang menuju sebuah bangunan namun saat ia sudah sangat dekat dengan dinding ia bergeser dan memutar arah kakinya, membuat Dang yang tidak bisa berhenti akhirnya menabrak tembok.
Naara berpikir itu akan cukup membuat Dang kesakitan tapi ia salah, Dang justru menghancurkan tembok tersebut menjadi puing-puing.
Menyadari serangan kembali datang, Naara melompat tinggi ke udara. "Sebelas," batinnya lalu mencabut pedang yang selalu tergantung di paha kirinya. Sesaat setelah mendarat, ia melesat menghampiri Dang. Pertarungan dalam kecepatan pun kembali terjadi hingga setiap mata tidak bisa mengikutinya lagi.
"Akhirnya kau serius," ucap Dang.
"Ini belum seberapa," balas Naara.
"Cih. Sombong!"
Dang berhasil memukul dada Naara hingga membuatnya terseret namun Naara dengan cepat menguasai dirinya lalu melesat kembali sambil melakukan tebasan yang terarah ke dada Dang akan tetapi tebasan tersebut hanya membuat goresan yang tidak terlalu berarti.
Semua warga berusaha mengikuti keduanya.
Lima menit berselang, Naara dan Dang kembali membuat jarak dengan napas terengah-engah.
Salah satu tanduk Dang telah terpotong dan sejumlah darah keluar dari berbagai luka sayatann di tubuhnya. Sementara di sisi lain, Naara terlihat memegangi perutnya dan memuntahkan darah beberapa kali. Sesekali dia juga terlihat hampir kehilangan keseimbangan tubuhnya.
Merasa kondisi Naara lebih buruk, Dang tersenyum puas. "Sekarang terimalah ajalmu," ucapnya mengambil ancang-ancang lalu berlari sekuat tenaga untuk menyerang Naara namun semua tidak sesuai dengan yang ia perkirakan.
Secara mengejutkan Naara menghilang di depannya dan dalam waktu sepersekian detik Naara muncul di belakangnya sebuah tebasan menghantam punggunya yang dengan cepat mengucurkan banyak sekali darah.
"A-apaan ini?" Ia meringis sambil melrik sosok di belakangnya dan terkejut saat melihat senyum di wajah yang separuh bagiannya tertutup oleh tudung. Menyadari bahwa ada yang tidak beres ia berusaha untuk menjauh tapi ekornya ditarik lalu tubuhnya diputar sebelum akhirnya dilempar ke sebuah dinding yang mengakibatkan dinding tersebut hancur.
Niin dan yang lain hanya bisa membuka mata lebar-lebar saat melihat adegan tersebut. Beberapa dari warga tampak menganga sambil melirihkan 'he-hebat.'
Dengan tubuh bergetar, Dang berusaha bangun dari puing-puing. Giginya bergemeretak menahan sakit di sekujur tubuhnya. "Sebenarnya dia sekuat apa?" batinnya. "Hah?" Refleks, dia menghindar saat serangan Naara kembali datang.
"Kau menari seperti serangga," ucap Naara mengembalikan kata-kata Dang sebelumnya.
Dalam hitungan detik, sejumlah luka fatal memenuhi tubuh Dang hingga darah mengucur menghiasi permukaan tanah. Semakin lama, Dang mulai frustrasi untuk mengalahkan Naara, ia mencoba kabur namun Naara tidak membiarkannya.
Di tengah usahanya menghindari Naara, tanpa sengaja ia melihat gadis berambut kuning yang berada di antara warga. Saat itu ia punya rencana.
"Aku tidak ingin mati begitu saja. Kalau harus mati aku akan mati membawa milikmu yang berharga. Ini yang terakhir." Dang mengumpulkan seluruh sisa tenaga yang ia miliki di kepalan tangannya lalu melompat mundur dan melesat kembali namun Naara segera melompat tinggi untuk menghindarinya. Saat di udara, Naara cukup kaget ketika menyadari bahwa Dang tidak mengincarnya.
Seluruh warga yang melihat kedatangan Dang segera berhamburan. Alma yang juga berusaha menyelamatkan diri malah tersandung. Niin yang melihat hal tersebut segera berlari dan mendorong Alma sesaat setelah gadis berambut coklat sebahu itu berdiri.
"Tidak!!!" pekik Alma terbelalak.
Sementara Niin yang melihat Dang telah sangat dekat hanya bisa memejamkan mata.
Bught!!
Ia terbelalak saat mendapati Naara memeluknya dan menerima pukulan Dang.
"Gu-guru ...."
Ukhuk. Naara memuntahkan banyak darah. "Ja-jangan salah paham, aku melakukannya karena Naarabo," lirihnya lemas. Niin hampir kehilangan keseimbangan karena tidak kuat menahan berat tubuh Naara.
Jantung Niin berdetak sangat cepat saat Dang menyeringai kepadanya, bersiap melakukan pukilan penyelesaian. "Guru ... jangan pingsan dulu, kita masih belum aman," lirihnya, seluruh tubuhnya gemetar. Sambil memerhatikan Dang, ia mempererat pelukannya pada Naara.
"Merepotkan," batin Naara, mengangkat kelopak matanya yang layu.
Di lain sisi, Alma yang melihat kedua sosok penolongnya dalam bahaya berlari memungut batu dan melempar Dang yang telah siap melayangkan pukulan. Meski tidak memberikan luka namun lemparan tersebut berhasil mengalihkan perhatian Dang dan itu cukup bagi Naara memiliki waktu untuk kabur bersama Niin.
Secara otomatis hal itu membuat Dang marah dan berbalik menyerang Alma. "Mati kau, gadis sialan!!" Ia melesat sambil mengarahkan tinjunya pada Alma namun saat jarak kepala tangannya dan wajah Alma tersisa seinci, ia membeku.
Sebilah pedang telah menancap di tengkorak belakangnya. Kedua matanya membelalak seolah isinya akan keluar, kepalan tangan di depan wajah Alma meluruh. Suara retak yang menyusup perlahan terdengar hingga akhirnya ....
Bush.
Kepalanya hancur berkeping-keping, membuat darah terpercik ke segala arah. Tubuh tanpa kepala itu pun mulai rebah seperti sebuah pohon tumbang. Alma yang masih membeku segera ditarik oleh ibunya sesaat sebelum tubuh Dang menimpanya.
Hening. Suasana mendadak menjadi sangat hening. Semua orang nampak mematung sambil berekspresi kosong melihat akhir buruk yang dialami Dang.
Dari jarak yang cukup jauh. Naara dan Niin baru saja mendarat di tanah. "Sepertinya aku sedikit berlebihan," ucap Naara yang terlihat dipapah oleh Niin.
Niin tidak merespon. Mata birunya menatap kaku pada jasad Dang. Ia terngiang-ngiang dengan peringatan yang diberikan Naara kemarin. Sekarang ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak pernah membuat Naara marah.