"Mm.."
Fumi mengerang, cahaya matahari menyilaukan dirinya. Dia merasa aneh karena cahaya matahari di jendela kamarnya tidak sesilau ini. Fumi membuka matanya perlahan, rasa kantuk yang ia rasakan hilang sepenuhnya dan tergantikan dengan perasaan khawatir ketika dia tahu bahwa dia terbangun di tempat asing.
Dia membulatkan mata sepenuhnya ketika melihat tidak hanya ada dirinya di ruangan luas itu, dia dikelilingi oleh orang-orang asing dengan jubah dan tudung berwarna putih. Wajah mereka yang tidak terlihat membuat Fumi bergidik ngeri, belum lagi posisinya yang tengah dikelilingi oleh orang-orang aneh itu.
'Apakah aku diculik? Siapa mereka, apakah aku akan dijadikan tumbal ajaran sesat?' batin Fumi menjerit.
Tiba-tiba salah satu diantara mereka menghampiri Fumi yang tengah terduduk di lantai. Gadis itu langsung beringsut menjauh, dia ketakutan. Sosok berjubah itu berhenti, melihat langsung ke arah Fumi dan berhasil membuat bulu kuduknya berdiri.
"A-aku tidak tahu apa yang kalian inginkan. Tapi a-aku hanya gadis biasa, aku tidak memiliki apa-apa." Fumi mencoba memberanikan dirinya sambil terus merapalkan doa dalam hatinya. 'Ayah, ibu, kakak, tolong aku..'
Sosok berjubah itu terdiam. Kedua tangannya bergerak dan membuat Fumi semakin ketakutan, takut jika ritual sesat mereka dimulai dan Fumi akan dibunuh. Namun perkiraan Fumi salah, sosok berjubah itu justru memegang tudungnya dan membukanya perlahan, memperlihatkan sosok pria dengan rambut pirang dan mata sebiru lautan.
"Aku tidak akan menyakitimu." Sosok itu melihat ke arah Fumi yang masih ketakutan, rambut emasnya berkilauan terpancar oleh cahaya matahari yang menembus melalui jendela besar di belakangnya.
Laki-laki itu menghampiri Fumi dan berjongkok perlahan di hadapannya, dia menatap Fumi yang terlihat seperti anak burung yang ketakutan. Keraguan menyelimuti dirinya ketika melihat penampilan Fumi, 'Apa benar dia kesatria yang diramalkan' batin pria itu.
"Dimana aku? Dimana orangtua dan kakakku?!" nada Fumi setengah berteriak, namun dia tidak bisa menyembunyikan suaranya yang bergetar karena takut. Gadis lugu itu meremas tangannya, memikirkan kemungkinan terburuk yang juga terjadi pada keluarganya.
"Mereka tidak ada di sini."
Fumi membelalakkan matanya, 'Apa maksudnya itu!'. Apakah mereka sudah melakukan sesuatu pada ayah, ibu dan kakaknya. 'Apakah mereka..membunuhnya?' Mata Fumi memanas, air mata mengalir membasahi wajahnya, dia tidak bisa menahan rasa takutnya dan kini dia harus dihadapkan pada kenyataan pahit lainnya, keluarganya.
Gadis itu mengingat bagaimana pertengkaran dirinya dan ayahnya semalam, dia menyesali perbuatannya. Dia tahu ego dalam dirinya terlalu besar dan menyakiti hati orang-orang yang sebenarnya peduli padanya. Fumi memejamkan matanya, sekilas bayangan tentang keluarganya tergambar dalam pikirannya.
Laki-laki pirang itu mendadak panik ketika melihat Fumi, mengapa gadis di hadapannya ini menangis. Dia bingung. Dia tidak melakukan apapun dan gadis asing itu sekarang tengah menangis tersedu-sedu.
"H-hey, tenanglah. Aku tahu ini sulit untuk diterima tapi kamu tidak memiliki pilihan lain."
Bukannya semakin tenang, tangis Fumi justru semakin menjadi. Isak tangisnya menggema di seisi ruangan dan membuat laki-laki berambut pirang itu semakin panik.
"Kau..(hiks) kau apakan orangtua ku (hiks)... Apa kalian menculikku hanya (hiks), hanya untuk menjadikan aku sebagai persembahan."
"Eh, apa? Persembahan?"
Semua orang yang ada di sana menatap heran ke arah Fumi. 'Ah, apa benar dia kesatria yang terpilih' batin mereka, kini mereka ragu karena telah memanggil Fumi.
"Buahahaha.." Laki-laki pirang itu tertawa keras dan membuat Fumi menatapnya dengan heran. 'Mengapa dia malah tertawa? Mungkin dia memang seorang psikopat!?' batin Fumi menangis.
"Kau benar-benar lucu sebagai seorang calon kesatria." Laki-laki di hadapan Fumi menyeka air mata di sudut matanya setelah puas menertawakan Fumi. Gadis itu bertanya-tanya dalam benaknya, 'Calon kesatria? Dirinya?'
"Apakah kamu berpikir akan dikorbankan sebagai tumbal?"
Fumi hanya mengangguk, 'memang seperti itu bukan?' Dilihat bagaimana pun situasinya saat ini membuat Fumi berpikir demikian.
Laki-laki itu menggeleng, dia kembali berjongkok dan melihat langsung ke wajah Fumi, pandangan mereka bertemu.
"Aku tidak akan membiarkan siapapun melakukan itu, paham? Kau adalah kesatriaku dan tidak akan kubiarkan siapapun menyentuhmu atau mengambilmu."
Wajah Fumi memanas, pipinya memerah, dia tidak tahu apa yang terjadi padanya namun jarak antara dia dan laki-laki itu sangatlah dekat.
"Ah, aku lupa memperkenalkan diriku." Dia berdiri dan mundur beberapa langkah. Laki-laki itu membuka jubah yang menutupi dirinya.
"Arthur Alexander Windsor. Aku adalah pangeran di negeri ini." Laki-laki itu berdiri dengan gagah dan tersenyum simpul ke arah Fumi.
"Selamat datang di Deam Vallis, calon kesatria."