Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore, Jasmina sudah stanby didalam mobil mungilnya. Ia sedang menunggu Devon yang harus berada di stasiun gambir pukul 6 sore. Kalau tidak berangkat secepatnya, kemungkinan jalanan akan macet berat di Minggu sore seperti ini. Jasmina juga bingung, sejak kapan Devon perlu packing untuk kembali ke Bandung? Sejak kapan ia pernah membawa oleh-oleh dari Bandung ke Jakarta, apalagi dari Jakarta ke Bandung. Untuk siapa oleh-oleh itu?
Jasmina yang sudah duduk di kursi penumpang depan, memperhatikan kaca spion untuk memeriksa riasannya. Gaun putih yang ia kenakan tadi siang sudah berganti dengan baju yang lebih santai. Jeans belel biru muda dipadu dengan Kaos putih lengan pendek yang nyaman dan santai. Sebuah cardigan berwarna dusty pink ia sampirkan di pundaknya. Jaga-jaga saja bila nanti ia kedinginan. Ia sengaja kali ini memakai sepatu datar yang nyaman dengan warna dusty pink. Rambutnya yang masih beraroma restoran jepang, ia cepol seadanya. Ini adalah penampilan yang selalu di lihat oleh Devon.
Ketika cowok itu keluar dari pagar rumahnya, Jasmina masih terus tertegun. Sudah untuk ratusan kali ia menyaksikan cowok itu keluar dari pagar yang sama, Jasmina selalu terpukau walau tak mau menyadari atau mengakuinya. Devon cakep. Dengan karakternya yang rendah hati, sedikit pemalu, tidak banyak bicara dan tegas itu, ia justru terlihat semakin menawan. Ia memang tidak se-cool dan senarsis Bagas, ia tidak juga sememikat kak Miko yang memiliki banyak fans dan tau bagaimana cara memperlakukan wanita. Ia hanyalah Devon yang berusaha menjadi orang yang biasa saja. Padahal ia luar biasa.
Kali ini ia mengenakan kaos putih yang bahannya cukup tipis. Apakah cowok itu sadar kalau pakaian seperti ini menonjolkan otot-otot kokoh di pundak, dada, perut dan pinggangnya? Celana jeans berwarna hitam ngepas itu menonjolkan bahwa ia memiliki paha yang kokoh dan kaki yang panjang. Salah satu tangan kokohnya memegang sebuah jaket berwarna biru tua, sementara tangan satu lagi ia masukkan ke dalam kantong celana jeansnya. Sebuah ransel tersampir sebelah di bahunya. Gayanya seperti model celana jeans, atau mungkin produk suplemen penambah otot hahahaha.
Jasmina kesal dibuatnya. Untuk kesekian kalinya, cowok ini tidak menyadari bahwa ia mengeluarkan aura-aura maskulin yang bisa menyeret perempuan manapun mendekat. Ia tahu kalau Devon tidak ada maksud untuk tebar pesona. Tapi ia harus mulai tau, kalau ia bisa membuat banyak gadis salah paham hanya dengan tatapan dan senyum ramahnya. Apalagi cowok ini akan berangkat ke Bandung sendirian di kereta. Haruskah Jasmina ikut?
"Tebar pesona terus ihh", kata Jasmina ketika Devon masuk dan langsung duduk di kursi pengemudi. Ia pun bingung. Siapa yang tebar pesona dan siapa yang terpesona?
"Kamu terpesona?", kata Devon.
"Ih ogaahh", balas Jasmina sambil melipat tangannya di dada. Devon mulai memasang sabuk pengaman dan melepaskan tuas rem.
"Kamu gak suka, sama aku?", tanya Devon dengan tampang jahil sambil mulai menatap Jasmina untuk terakhir kali sebelum ia benar-benar menjalankan mobil mungil itu. Jasmina melengos. Sedetik kemudian, ia menatap Devon dengan kesal.
"Kamu tuh kalo mau bepergian begini, wong pakai baju yang low profile donk, Jangan yang mengundang kaum hawa untuk berimajinasi begini", kata Jasmina sambil menunjuk-nunjuk dada, perut dan paha Devon. Sedetik kemudian ia melemparkan pandangan ke depan dengan mengerucutkan bibirnya. Tanda ia sedang ngambek.
Devon memperhatikan wilayah-wilayah yang ditunjuk oleh Jasmina. Dada, perut dan paha? Itu beneran paha yang ditunjuk Jasmina? Devon mulai halu sendiri.
"Kamu berimajinasi apa tentang aku?" tanya Devon dengan tampang jahil. Ia sekilas menoleh ke arah Jasmina yang tampak malu ketika ditanya seperti itu.
"Aku sih GAK ngebayangin apa-apa. Tapi aku bisa ngebayangin apa yang ada di pikiran perempuan-perempuan di luar sana", kata Jasmina lagi.
"Apa yang mungkin ada di pikiran mereka coba? Kasih tau ke aku", kata Devon. Jasmina terdiam. Kalau ia beritahu, berarti Devon akan mengira sebagian kata-kata itu pasti imajinasi dia donk. Walau memang sebenarnya Jasmina adalah salah satu dari para wanita itu. Jebakan Batman!
"Dada aku. Kenapa dengan dada aku? Hayooo coba liat sini dulu. Apa yang ada di imajinasi kamu coba?", tanya Devon. Sebenarnya dalam hati Devon, ada desir aneh ketika ia memegang dadanya sendiri. Tidak banyak momen Ia dan Jasmina bisa dekat dan berpelukan dengan... dengan... ya gitu deh. Ketika momen itu datang, mereka biasanya berpelukan dengan canggung. Gimana sih ya, namanya sudah bertahun-tahun temenan. Baru kemaren malam lah mereka berpelukan penuh arti sambil menangis haru, selain momen lompat ke jurang 2 tahun sebelumnya. Itu juga karena dorongan impulsive yang sangat kuat!
"Aku ingin memelukmu dengan lembut, sehingga debaran jantungmu bisa terekam di dada ini. Biarkan itu menjadi amunisi agar aku bisa kuat menjalani 365 hari ini menuju kebersamaan kita", gumam Devon dalam hati. Tapi kok susah banget mengucapkannya ya?
"Gilaaaa aja itu otot kemana-mana. Uda bisa ngebayangin cewek-cewek pura-pura jatuh, nabrak, dan nyungsep di dada kokoh itu. Kadang suka gemes sendiri, rasanya pengen peluk tapi gengsi amat mulai duluan. Sekarang ni Devon baru mandi lagi, wangi maskulinnya kemana-mana. Aduh itu pasti dada wanginya mabukin bangettt", Jasmina meracau dalam hati. Kepalanya tiba-tiba pusing karena pikiran halu bin mesum mulai menggerogoti.
"Dada kamu kuat, eh maksudnya terlihat berisi. Tutupin pake jaket atau apa gitu. Gak usah di umbar-umbar pake baju tipis gitu. Nah coba bayangin! Kalo aku nih, pake baju super tipis warna putih sampe keliatan dan membuat cowok-cowok berimajinasi", kata Jasmina. Devon langsung refleks menatap dada Jasmina. Kok ya kebeneran cewek itu sedang memakai kaos putih juga! Dan… dan.. dan kenapa Devon mulai tergoda dan berimajinasi yang aneh-aneh dengan dada itu???
"Kita puter balik. Kamu ganti baju. Gak bolllleeeeh lagi pakai baju putih ketat dan pendek begitu seumur hidup", kata Devon serius. Jasmina refleks menatap bajunya. Putih sih, tapi baik potongannya atau bahannya sama sekali tidak mengundang imajinasi yang aneh-aneh. Lagian dia membawa cardigan.
"Eh jangaaannn nanti kamu telat. Ini nihhh aku bawa iniiii", kata Jasmina sambil menyodorkan cardigan pink-nya.
"Kamu juga gak boleh tebar-tebar pesona di kantor. Gak boleh pake rok item seksi kayak kemaren malam itu di kantor. Apalagi kalo pake sepatu tinggi yang tipis atau yang…yang…yang runcing itu, apalagi kalo pake stocking item, apalagi kalo...",
"Kenapaaaa, kamu terpesona ya sama akuuuu", tanya Jasmina dengan wajah jahil. Ga nyangka ternyata Devon memperhatikan penampilan Jasmina juga. Ia kemudian melipat salah satu kakinya dan bergaya sedikit sensual dengan tampilan apa adanya. Devon memberikan tatapan marah kepadanya.
"Dan gak bole lipat-lipat kaki begitu di depan laki-laki lain. Apalagi kalo pake rok. Atau ya udah, fix ga bole pake rok!", kata Devon lagi.
"Ih kamu kenapa sih, selama ini juga kamu fine-fine aja tuh sama penampilan aku. Gak pernah protes. Kok sekarang main larang-larang sihhhh", protes Jasmina. Padahal selama ini juga gadis itu gak pernah juga complain ke Devon tentang apa yang dipakainya, padahal hatinya cekot-cekot. Ingin melarang tapi belum berani. Sekarang entah kenapa, ia merasa lebih berhak.
Devon terdiam. Selama ini sebenarnya ia suka cemburu melihat postingan Jasmina dengan teman-teman kantornya. Walau pakaian yang dikenakan Jasmina tidak mencolok atau terkesan seksi, namun entah kenapa Jasmina terlihat sangat menarik. Entah itu karena tubuhnya yang proporsional (sekarang), "body language" yang entah kenapa menarik, atau memang sebenarnya ia memiliki "sex appeal" yang tinggi. Intinya Devon TIDAK SUKA bila ia terlalu akrab dengan cowok-cowok. Apalagi cowok-cowok itu selalu berada di dekat Jasmina, sedangkan ia mungkin baru bertemu Jasmina setiap 6-8 minggu sekali!
"Gak boleh akrab sama Jason", kata Devon lagi. Ia meluruskan pandangannya ke depan dan memasang bibir mengerucut, seakan-akan ia tidak mau dibantah. Jasmina kaget. Jason itu atasannya. Gimana gak deket? Tapi ia tidak bisa membalas. Ia tidak tahu satupun nama teman-teman kuliah Devon, bahkan satu tim koasnya. Mungkin sesekali ia harus melakukan sidak ke kost atau kerumah sakit itu.
"Kamu juga gak boleh kalo gituuu", kata Jasmina.
"Gak boleh apa?", tanya Devon sambil bingung. Mukanya bertekuk-tekuk dan ia beberapa kali menoleh ke arah Jasmina agar ia mendapatkan jawaban yang akurat melalui bibir dan ekspresinya.
"Gak boleh bicara sama perempuan", kata Jasmina.
"Lah ga bisa lah, kamu uda tau aku ini calon dokter. Pasien mana bisa aku pilih-pilih. Mau perempuan, mau laki, mau jelek, mau cantik, mau seksih...", kata Devon menggoda amarah Jasmina.
"Nah tu kaaann, kamu belon apa-apa udah ngarepin bakal dapet pasien seksi", cemberut Jasmina. Devon tertawa ngakak. Ia memang sengaja menggoda Jasmina. Entah kenapa selama 4 tahun mereka "berteman tapi suka" dan hampir 2 tahun pacaran, baru kali ini mereka seposesif ini. Mungkin kah selama ini sebenarnya mereka menyimpan rapat-rapat perasaan ini?
"Dev, kamu sadar gak?", Jasmina mulai berbicara lagi setelah belasan mesin mereka jeda berantem. Devon menatapnya serius beberapa kali, seakan ia berkata "sadar apaan?".
"Mungkin sebenarnya selama ini, kita berdua cemburu, kesel, sayang, kangen atau apalah itu. Tapi mungkin kita gak mau nunjukin ke masing-masing, karena kita takut… ya mungkin aku takut…", kata Jasmina lagi. Devon memberhentikan mobilnya di lampu merah. Ia sekarang bisa menatap Jasmina dengan lebih serius.
"Aku, ya, mungkin selama ini aku tuh punya perasaan-perasaan yang esktrim sama kamu. Entah itu aku kangeeenn banget. Cemburuuu banget atau pengen disayanggg banget.Tapi mungkin aku selama ini gengsian banget sama kamu. Atau aku takut hubungan pertemanan kita jadi agak canggung. Ya gak sih?", tanya Jasmina. Devon tersenyum manis menatap Jasmina. Kali ini ia harus mulai melaju mobilnya lagi.
"Tapi entah kenapa sejak malam kamu ngelamar aku, aku jadi malu sendiri. Kalo kamu yang cueknya, dinginnya, kakunya minta ampun aja, sanggup kayak gitu, jadi kenapa aku harus nahan ini semua lagi? Bener gak?", tanya Jasmina lagi. Devon mengangguk-angguk. Pikirannya meliar kemana-mana sekarang.
"Devon, pokoknya mulai sekarang, aku gak akan nahan apapun yang ada di dalam pikiran dan hati aku lagi. Paham? Kalo aku gak suka, aku akan bilang gak suka, Kalo aku cemburu, aku akan bilang juga. Jadi kalo aku bilang gak bole, kamu harus nurut. Ok?", perintah Jasmina. Devon tertawa ngikik. Oh, jadi itu tuh inti masalahnya.
"Dan aku juga mau kamu begitu! Aku yakin kalo sebenarnya kamu memendam perasaan yang cinta banget sama aku. Yah…aku tau itu" kata Jasmina sambil pura-pura mengibas rambutnya. Padahal semua rambutnya sekarang kan sedang tercepol.
"Pokoknya kalo kamu mau nunjukkin kalo kamu sayang, kamu kangen, kamu cinta, harus habis-habisan. Jangan di tahan. Supaya apa? Ya supaya kita sama-sama tahu, dan jadi semangat buat ngejalanin setaon ke depan. Kalo kamu gak mau begitu, aku ogah kawin sama kamu", kata jasmine yang kali ini merubah arah lipatan kakinya, dari kanan, sekarang ke kiri. Devon gemas melihatnya.
Cowok itu masih diam saja, karena saat ini mereka sudah memasuki lahan parkir stasiun Gambir. Setelah memarkirkan mobilnya, Devon mengambil nafas panjang. Sepertinya ia lelah menyupir sambil berfikir keras.
"Cepet amat udah sampe. Padahal aku masih mau bicara sama kamu Devon. Ini adalah sebuah permulaan baru untuk kita. Kamu seenaknya aja pergi tanpa diskusi dulu ama aku. Aku sebel aku sebel aku SEBELLLL", protes Jasmina. Devon menatapnya dengan lembut.
"Aku memang bilang kalo harus berada di stasiun jam 6 sore. Tapi aku gak bilang kalo kereta aku berangkat jam 8 malam", kata Devon sambil menatap Jasmina dengan penuh arti. Ia meloloskan sabuk pengaman dan mulai memutar tubuhnya menghadap Jasmina.
"Loh trus ngapain kita buru-buru sampe disini?" tanya Jasmina frustasi. Devon masih tetap menatap wajah Jasmina, yang sekarang akhirnya menatap Devon dengan wajah kesal. Devon mengelus wajah halus Jasmina, dan memasukkan jari-jarinya ke rambut Jasmina. Mengusapnya dari atas kepala sampai ia bisa menangkap seluruh leher dan kepala bagian bawah Jasmina. Dengan lembut, Devon mengarahkan wajah Jasmina menuju wajahnya, sehingga bibir mereka menyatu. MENYATU.
Ciuman lembut itu hanya sebuah penyatuan 2 bibir hangat dan manis, begitupun keduanya hampir tidak bisa bernafas. Devon melepaskan ciuman itu sehingga ada jarak 1 centimeter diantara bibir mereka. Hanya satu centi! Rasa frustasi menyeruak di benak keduanya. Penasaran, tapi masing-masing tidak ingin memulai lebih dulu untuk menempelkan bibir itu lagi. Tubuh Jasmina menegang. Kedua tangannya lurus dan ia merapatkan kedua pahanya. Jantungnya berdebar hebat dan paru-parunya seakan tidak mau mengembang.
Devon mengambil nafas panjang, mereka begitu dekat sehingga Jasmina dapat mendengarnya dengan jelas. Ia ingat kata-kata Jasmina. Kalau ingin menunjukkan rasa sayang, ya harus habis-habisan. Devon akhirnya menempelkan bibirnya lagi, namun kali ini ia sedikit mengulum bibir Jasmina. Gadis itu yang tadinya tegang tiba-tiba refleks menjambak kaos tipis Devon sehingga terkesan Jasmina menarik Devon lebih dekat dengan tubuhnya. Padahal bukan itu niatnya. Ia hanya sedikit grogi, dan tangan itu…bergerak sendiri! Beneran!
Devon yang merasa mendapat angin segar, langsung menyambar pinggang Jasmina dengan tangan kirinya, dan memeluk punggung gadis itu sehingga posisi mereka sekarang benar-benar dekat dan hampir menempel. Devon lebih intens mengulum bibir gadis itu. Jasmina mehana nafas, tapi anggota tubuh lainnya bergerak sendiri. Sekarang bibirnya pun ikut mengulum bibir Devon. Begitu terus mereka saling memagut selama bermenit-menit, seakan melepaskan kerinduan bertahun-tahun.
"Devon jangan selingkuh… jangan tinggalin aku… kamu udah nyuri first kiss akuuuuuu", isak Jasmina setelah ia melepaskan bibirnya dari Devon. Sekarang dahi mereka saling menempel, dan nafas mereka menderu seakan-akan mereka baru saja selesai lari naik tangga 3 lantai tanpa henti.
"Jasmina, stay with me. This is also my first kiss", kata Devon sambil masih terengah-engah dan senyum penuh kemenangan. Gila! Kenapa ia harus menahannya bertahun-tahun? Devon jadi menyesal kenapa tidak sejak SMA, sejak ia menyadari bahwa ia menyukai Jasmina, ia curi ciuman itu? Begitu banyak momen dimana Devon berangan-angan untuk mencurinya. Di Bali, saat Devon sedang sakit dan Jasmina menjaganya, saat Devon mengantarkannya pulang di acara prom night. Tapi saat ini pun ia bahagia, karena ternyata Jasmina menjaga ciuman itu bertahun-tahun hanya untuknya.
"Devon, I… I…I love you…gak tersisa ruang untuk orang lain di hati aku Dev. Cuma kamu…", kata Jasmina yang sekarang menjauhkan wajahnya dari Devon, agar ia mampu menatap mata cowok itu. Untuk pertama kali, ia hilangkan ego, ia hilangkan malu, ia hilangkan sungkan dan kikuk. Bodoh amat, toh cowok ini dalam waktu satu tahun akan menjadi suaminya. Apa salahnya sedikit jujur dan membuat pengakuan?
Devon tersenyum penuh kemenangan. Ia tidak menjawab, tapi kembali mengulum bibir Jasmina. Untuk inilah ia ingin tiba di stasiun gambir lebih cepat. Pasti akan aneh bila mereka menghabiskan waktu di rumah Jasmina, atau rumah Devon. Mau pergi ke tempat lain juga rasanya aneh untuk ijin dengan orangtua mereka. Setidaknya mereka memiliki privasi di mobil mungil ini.
Setelah ciuman itu berlangsung on dan off selama belasan menit, Devon memeluk Jasmina dengan erat di dadanya. Walau posisi mereka miring-miring tidak nyaman, namun akhirnya Jasmina mampu merasakan pautannya di pundak Devon, sementara tangan kanannya memeluk pinggang cowok itu, dan tangan kirinya….ehhmmm…terparkir nakal di dada berorot Devon.
"I love you Jasmina. Sejak pertama kali aku pindah kerumah itu. Dan aku akan menjaga agar kita akan selalu bersama, selamanya", kata Devon sambil mengelus pipi Jasmina. Ia akan break sebentar dari mengulum bibir Jasmina. Setelah sesi ciuman itu, bibir gadis itu menjadi lebih merah, merona dan menantang. Sebenarnya itu membuat Devon lebih ingin menciumnya lagi!
"Devon, by the way, aku benar-benar penasaran sekarang. Kenapa kamu bisa pindah ke samping rumah aku?", tanya Jasmina. Namun Devon hanya tersenyum sambil mengangkat-angkat bahunya. Nanti. Suatu hari nanti Devon akan memberi tahu Jasmina.
Flashback 6,5 tahun yang lalu, Devon POV
Aku sedang menunggu di dalam mobil CRV yang akan membawa tim OSIS membeli printer dan peralatan lainnya untuk kebutuhan ruang OSIS. Jigatra dan Marcell sedang beradu mulut tentang siapa band yang paling worthed untuk di gandrungi. Aku melirik ke arah pagar rumah Jasmina yang terbuka. Bagas dengan tampilan bak sultan sedang menunggu di teras rumah Jasmina, Gadis unik yang teramah yang pernah aku kenal di SMA 1001. Ternyata rumahnya disini toh... Kira-kira gimana ya tampangnya kalo gak pakai seragam sekolah?
Wah, ternyata gadis ndut itu manis juga ya. Ia berjalan malu-malu, sepertinya ia tidak terlalu nyaman dengan penampilannya. Padahal ia terlihat begitu cantik dan manis. Tapi tunggu dulu... kok penampilan ia dan Bagas mirip ya? Apa mereka sengaja janjian untuk pakai baju couple-an? Hahahah unik juga nih cewek.
Entah kenapa, ketika aku mengetahui di mall bahwa Bagas dan Jasmina pacaran, aku merasa terganggu. Bukan karena aku cemburu, tapi karena aku melihat bahwa mereka benar-benar tidak natural. Jasmina seperti tidak nyaman bersama Bagas, dan juga sebaliknya. Entah kenapa, tapi aku curiga sebenarnya Bagas dan Sharon memiliki hubungan khusus. Beberapa kali aku pernah memergoki mereka berbicara cukup mesra berdua. Tapi ini apa? Kenapa ia sekarang bersama Jasmina.
Ketika "jalan-jalan OSIS" itu berakhir, Jigatra dan Marcell sudah pamit dari awal. Bagas sengaja aku turunkan duluan sehingga aku bisa berdua saja dengan Jasmina. Setelah menghabiskan waktu hampir 24 jam di orientasi OSIS dan juga hari ini, aku merasa Jasmina adalah gadis yang sangat menyenangkan. Ada rasa terus menerus ingin mendengarnya bercerita. Tapi entah kenapa di sekolah, kami selalu tidak memiliki kesempatan. Tim seni dan Tim basket seprtinya jarang bertemu.
Ketika Bagas sudah turun, ia justru menjadi pribadi yang lebih ramah dan menyenangkan bahkan. Ia berceita lebih nyaman. Sayang sekali perjalanan dari rumah Bagas ke rumah Jasmina begitu dekat. Beruntung sekali Bagas karena tinggal berdekatan dengannya.
Ketika aku menurunkannya di depan rumahnya, dan memastikannya ia sudah masuk ke dalam rumah, aku sengaja melambatkan deru mobilku. Entah kenapa aku merasa belum ingin beranjak, tapi Jasmina tidak kunjung mengundangku kerumahnya. Salahkah bila aku yang menawarkan diri untuk masuk? Minta minum mungkin? Ah pasti Jasmina tidak nyaman. Apalagi jelas-jelas Bagas bilang, Jasmina itu pacarnya!
Eh apa itu? Aku melihat rumah disebelah Jasmina sungguh tidak terusus. Namun aku melihat sebuah tanda yang tiba-tiba membuat jantungku meloncat aneh. Hanya karena sebuah plang berwarna merah.
"DI JUAL TANPA PERANTARA. HUBUNGI 0813XXX879XXX"
Apakah ini takdir? Kebetulan banget mama papa menyuruhku untuk mencari-cari rumah yang dekat dengan sekolahku. Bukankah ini dekat? Bukankah sekolah yang Rania incar juga dekat dari sini? Tidakkah ini lingkungan yang bagus? Aku harus segera bilang ke mama papa. Aku harus tinggal disini. Harus! Entah kenapa aku merasa, disinilah zona nyamanku berada. Di dekat Jasmina, eh maksudku, dirumah ini.