"Nasi durian? Apa itu?" Bruno merasa jijik ketika melihat nasi kekuningan yang ia pegang, bau yang dikeluarkan dari nasi itu sangat menyengak. Sebab itu Bruno tak pernah menyukai durian.
"Makanlah, kau belum pernah mencobanya kan?" tanya Arstya.
"Y.. ya mungkin sedikit menyebalkan, tapi akan kucoba," Bruno berusaha agar tidak menyakiti perasaan Arstya.
Awalnya ia merasa tidak mau memakan nasi itu, tapi Arstya memandangnya seolah ia harus menghabiskan nasi itu. Pelan-pelan ia mulai mendekati nasi itu ke mulutnya, dan ia gigit nasi itu dengan ujung giginya, tanpa mengunyahnya ia langsung menelannya.
"Bagaimana? Enak, kan?" Bruno yang menelannya penuh paksaan, tapi seketika matanya mengeluarkan air mata, wajahnya memerah dan berkata pelan "I.. ini enak, tapi mengapa bisa se enak ini? Padahal aku sangat membenci durian."
"Nasi durian awalnya memang tidak enak, tapi para koki disana mengubah cita rasa menggunakan sihir mereka." Arstya menjelaskan. Kemudian Bruno menghabiskan nasi itu sangat cepat dan mengambil camilan lain.
"Memasak menggunakan sihir? Kuharap Guru mau melakukan hal itu." Bruno membayangkan gurunya sedang memaksa dengan sihirnya
"Itu kue strawberry dengan coklat yang di lelehkan," kata Arstya, meski mereka telah mengetahuinya.
Bruno memang terlihat eneg, namun karena makanan itu sudah terkontaminasi sihir, ia langsung membuka bungkus kue itu dan memakannya satu lahapan.
Max yang merasa tenang, menghabiskan makanan dan menggelengkan kepalanya itu seraya melihat Bruno yang daritadi mengeluh dengan makanannya.
Makanan yang mereka dapat dihabiskan saat itu juga dan perut mereka serasa ingin meledak. Apalagi sebelum bertemu dengan Arstya, mereka sudah makan banyak di rumah David, terutama Bruno.
"Aku penasaran dengan kehidupanmu di Ibukota, bisakah kau menceritakan pada kami?" Max sangat penasaran dengan kehidupannya di Ibukota.
Bruno hanya mengangguk keras sambil melihatnya.
"Baiklah, kehidupan di Ibukota memang sangat menyenangkan, sama ketika aku tinggal di Desa Hakuba. Namun di sana lebih luas tentunya, banyak tempat-tempat yang sebelumnya tidak aku ketahui. Taman-taman di Ibukota juga terlihat indah, sangat bersih bahkan sampah merasa tak layak di taman itu. Dekorasi dan penataan tumbuhan disana, membuatku sering singgah ke taman-taman itu. Aku juga mempunyai banyak teman disana, dari yang lebih muda dariku sampai yang lebih tua dariku. Beberapa dari mereka juga menyenangkan seperti kalian, terkadang sering berkelahi, kadang juga usil, itu salah satu khas kalian bukan?"
"Selain itu, keseharianku di Ursulin juga tak kalah mengasyikkan. Aku akrab dengan semua teman kelasku. Aku tak pernah memandang mereka, baik atau tidaknya. Pelajaran sihir disana memang menyenangkan tapi sangat rumit, bahkan aku pernah hampir keluar dari sekolah itu, hehe."
Dalam hati Bruno dan Max itu bukan hal yang lucu dan mereka ikut tertawa pelan.
"Tapi setelah aku bertanya pada ibuku, dia juga sedikit mengajar ilmu sihir padaku yang tidak ajarkan di sekolah. Penyampaian materinya juga sangat detail jadi aku paham apa yang ia sampaikan. Setelah itu aku bertekad untuk melanjutkan sekolahku di Asrama Sihir dan memilih mempelajari ilmu sihir dan ramuan."
"Kau juga ingin masuk ke Asrama Sihir dan memilih mempelajari ilmu sihir?" Max terkejut.
"Itu benar, aku ingin menjadi dokter yang bisa menyembuhkan segala penyakit dengan obat buatanku sendiri. Jadi kupikir harus masuk asrama itu."
"Impianmu memang hebat Arstya," Max sedikit takjub.
"Kau juga berusaha keras agar bisa menjadi Raja Penyihir," Max menyikut tangan Bruno yang sedang membawa minuman.
"Kau masih mengejar mimpimu menjadi Raja Penyihir? Kukira itu hanya omong kosongmu ketika masih kecil," Arstya terbelalak.
"Tentu saja aku masih mengejar mimpiku," kata Bruno, kemudian ia berdiri di atas bangku taman seraya mengangkat kedua tangannya dan berteriak.
"Lihat saja, Aku akan menjadi Raja Penyihir dan menjadi Penyihir hebat di dunia, hahaha!" Orang-orang disekitar taman melonjak dan menatap Bruno seperti orang gila sungguhan.
"Apa-apaan kau ini, berhenti bersikap seperti orang gila kegirangan di tengah keramaiah" Max menarik tangannya dan menyuruhnya duduk tenang.
"Hahaha, semangatmu memang tidak pernah berubah," kata Arstya.
"Oh ya aku ingin menunjukkan kalian sesuatu tapi ini sangat rahasia sekali sehingga aku tidak bisa memberitahu kalian disini," ujar Arstya pelan, sangat berhati-hati.
Bruno dan Max merasa canggung ketika mereka sedang seru-serunya becanda, tahu-tahu diajak mengobrol serius.
"Hmm… memangnya apa yang ingin kau tunjukkan? Selain itu, jika benar-benar rahasia. Bukankah seharusnya kau tak membocorkannya?" ujar Max menggelengkan kepalanya.
"A..ahh.. aku pikir kalian dapat dipercaya. Tapi ini benar-benar sangat rahasia, dan jika ada seseorang yang mendengarnya dan orang itu salah paham, bisa-bisa kita dibunuh di tempat ini juga."
"Haa!? Sampai segitunya jika ada orang lain yang mendengarkan hal ini?" desah Bruno.
"Tidak, aku hanya bercanda. Jadi lebih baik sekarang kita ke rumahku saja. Aku akan menceritakannya".
Arstya berlari secepat mungkin dan diikuti Bruno dan Max ke rumahnya. Orang-orang yang melihat mereka pun kebingungan, hanya menggelengkan kepala. Tiba di rumah Arstya, mereka beristirahat di teras rumahnya.
Mereka semua tersengal kecapekan, keringat yang membasahi tubuh mereka, membuat Max dan Bruno tergeletak di teras beralas lantai kayu.
Rumah Arstya tidak terlalu besar tapi memiliki dua tingkat dan halaman belakang yang cukup luas. Di pintu rumah depan Arstya ada tulisan papan nama "Antonio's Family".
Setelah berhenti tersengal, mereka bertiga buru-buru ke halaman belakang rumahnya. Secara tak sengaja, mereka bertemu dengan Vionna, ibu Arstya.
"Wahh.. ternyata ada Bruno dan Max. Kenapa kalian terlihat berantakan?" tanya Vionna ramah seraya membenarkan rambut dan pakaian mereka berdua.
"Kami habis berlarian, Bibi Vionna. Arstya bilang dia ingin menunjukkan sesuatu," ujar Max.
"Apa yang ingin kamu katakan, nak? Sampai membuat mereka berlarian," pandangannya beralih menuju Arstya
Kemudian Arstya menyuruh ibunya untuk sedikit menunduk dan membisikkan tentang hal itu di telinga ibunya.
"Oh kau ingin memberitahu mereka, ya," kata Vionna datar. Wajah Max dan Bruno sedikit panik, bisa saja Vionna berang pada Arstya.
"Baiklah, tidak apa-apa. Tapi kecilkan suaramu agar orang lain tak mendengarnya," kata Vionna senyum dan berjalan meninggalkan mereka bertiga. Mereka berdua pun membalas senyum seraya hati yang lengang. Sepertinya bibi Vionna mengetahui hal ini, pikirnya.
Vionna memiliki rambut, mata, bahkan tinggi badan yang sama. Memang sangat sulit membedakan mereka ketika ibunya juga seumuran dengannya. Hanya saja orang tahu perbedaan mereka dengan melihat wajah ibu dan anak.
Mereka menuju halaman belakang dan duduk di atas halaman itu yang dilapisi rerumputan yang lembut. Sebenarnya Arstya ingin mengambil jamuan untuk mereka, namun Bruno dan Max melarangnya dan mendesak Arstya segera menceritakan hal itu.
"Cepatlah, aku sangat penasaran."
Arstya berlari ke dalam rumahnya dan mengobrak-abrik rak bukunya, lalu keluar menemui Bruno dan Max dengan membawa buku yang tebal, sekitar 300 halaman.
"Ini yang ingin aku tunjukkan pada kalian," kata Arstya tersengal seraya menjulurkan tangannya membawa buku.
"Sejarah Kerajaan Okuba dan Kerajaan Esteria!?" teriak mereka berdua terkejut menganga, saling memandang satu sama lain.
"Ssstt.. jangan terlalu keras. Nanti orang disekitar bisa tahu," kata Arstya pelan.
"Tapi mengapa ada buku tentang sejarah Kerajaan Okuba dan Esteria? Aku yang gemar membaca buku pun tak pernah melihat buku ini dimana-mana," ujar Bruno menggelengkan kepalanya.
"Ya kau benar, buku ini tidak jual di toko-toko mana pun. Buku ini sangat rahasia."
"Kesampingkan hal itu. Memangnya ada apa dengan Kerajaan Okuba dan Kerajaan Esteria? Lalu mengapa harus dirahasiakan? Bukannya orang-orang bisa tahu bagaimana Sejarah Okuba dan Esteria dengan membaca buku ini?" tanya Max.
"Itu juga benar, buku ini dirahasiakan karena penduduk Okuba percaya dengan kebengisan Kerajaan Esteria. Sejak itu mereka tak pernah mau simpati dengan kerajaan itu."
"Di buku ini menceritakan sejak dulu Okuba dan Esteria hidup damai, penduduk mereka sering melakukan migrasi agar lebih mengenal karakter orang di kerajaan lain. Tapi ketika Happolo menjadi Raja Esteria, ia mendoktrin penduduknya agar membenci penduduk Okuba dan mengkhianatinya dengan menganggap bahwa perdamaian dan migrasi ini dilakukan Okuba untuk menguasai Esteria secara diam-diam. Tentu saja mendengar pernyataannya, penduduk asli Esteria geram dan membunuh semua migrasi yang berasal dari Okuba. Qidomaru yang sekarang menjadi Raja Esteria, juga terkena doktrinnya dan dialah yang memimpin pembantaian itu."