Ratusan, bahkan ribuan acolyte berjalan menuju pilar raksasa itu. Aula utama tempat itu sangatlah luas, penuh dengan kerumunan orang-orang yang sedang berjalan.
Mereka berjalan menuju ke sebuah gerbang besar di ujung aula tersebut. Tiba-tiba, Emery dan Julian yang awalnya sibuk berbincang-bincang berhenti berjalan setelah merasakan adanya kekuatan yang membuat setiap langkah mereka terasa sangat berat.
"Hei, Emery, bisakah kau merasakan ini?" Julian bertanya dengan bingung.
"Iya, rasanya seperti tubuhku sedang terdorong dan ditahan. Menurutmu ada apa ini?" Jawab Emery.
"Aku juga tidak tahu." Julian menjawab. Gerak-geriknya menunjukkan walaupun kekuatan itu membuatnya kesulitan berjalan, ia masih bisa bertahan dengan lebih baik dibandingkan Emery.
Mereka tiba di depan gerbang batu raksasa itu, dan Darius membungkuk, berputar, dan berkata. "Mereka yang memiliki kecocokan tinggi dengan elemen tanah akan merasakan efek baik tempat ini. Aku yakin kalian sudah merasakan adanya kekuatan yang memberatkan kalian, kan? Semakin lama kalian tinggal di tempat ini, kemampuan kalian untuk mengendalikan kekuatan tanah akan semakin meningkat. Kusarankan kalian datang kemari setiap hari agar kalian bisa menjadi penyihir hebat suatu hari nanti. Lupakan saja elemen-elemen lain yang kalian miliki."
Darius meletakkan kedua tangan di balik punggungnya dan berkata. "Di balik gerbang ini, tersimpan batu sumber kekuatan jiwa elemen tanah. Semua orang diperbolehkan untuk masuk dan melatih energi bumi untuk meningkatkan pengetahuan tentang elemen bumi, namun semua acolyte tahun pertama hanya diperbolehkan berlatih di dalam ruangan ini selama 12 jam."
Darius menggerakkan tangannya, menciptakan sebuah pola rumit di udara, dan sebuah batu besar setinggi dirinya muncul di belakangnya. "Jika kalian bisa menggerakan batu ini, kalian akan dianggap lulus dan diterima sebagai acolyte bagian dari Institusi Elemen Tanah."
Beberapa anak muda berjalan mendekati batu ciptaan Darius itu dengan penuh percaya diri, namun tentu saja, batu itu sama sekali tidak bergerak. Melihat kelakuan mereka, Darius pun tertawa. "Kalian kira akan semudah itu? Masuklah dan latih energi elemen tanah kalian. Semakin dekat kalian dengan batu dalam ruangan ini, semakin cepat pula kalian akan belajar."
Sesaat setelah Darius selesai menegur mereka, bumi yang mereka pijak pun bergoncang, dan gerbang itu terbuka.
Emery dan Julian ikut masuk bersama dengan kerumunan orang-orang itu. Walaupun ada ribuan orang berkerumun di sana, ruangan itu cukup luas, cukup bagi mereka semua untuk duduk.
Di seberang mereka, tepat di depan dinding, terdapat sebongkah kecil batu hitam kelam yang melayang-layang di atas tiga podium.
Emery berjalan perlahan-lahan bersama Julian, nafasnya terengah-engah karena setiap langkah terasa seperti langkah menaiki gunung yang curam.
Pada langkah ke-11, Emery merasa seperti ada dinding yang mencegah dirinya mendekat selangkah lagi pun, sehingga ia memutuskan untuk duduk bersila dan mengatur nafasnya. Sementara Julian berjalan semakin dekat ke arah batu itu, Emery menutup mata, memfokuskan dirinya ke arah batu hitam itu, dan mendengar suara dalam pikirannya.
Emery terus menutup mata dan fokus ke arah batu itu. Dalam kegelapan pikirannya, hanya ada dirinya serta batu hitam itu.
Batu hitam itu bersinar dengan pendar kuning yang redup dan memunculkan sebaris tulisan. 'Tenangkan pikiranmu, bersatulah dengan tanah. Kuatkan dan kendalikan hatimu, janganlah goyah."
"Bersatu dengan tanah…? Maksudnya apa…" Emery menggumam. Tiba-tiba, batu hitam dalam pikirannya itu membesar, dan seketika ia merasa seperti akan ditelan habis ke dalam perut bumi.
Saat ia hendak membuka mata karena panik, ia mengingat kata-kata dari batu itu. 'Kuatkan dan kendalikan hatimu, janganlah goyah.' Menyadari bahwa kata-kata itu adalah petunjuk, Emery memaksakan dirinya untuk tenang dan tidak panik. Ia memutuskan untuk tidak berdiri dan fokus untuk menenangkan pikirannya walaupun batu itu terus membesar dan membesar, menjadi sebuah gunung raksasa yang menelan dirinya. Energi tanah bergerak liar di sekujur tubuhnya, hingga Emery merasa jati dirinya tenggelam dalam energi itu.
"Waktu habis!" Seru Darius.
Emery membuka matanya, merasakan keringat yang membasahi dahinya. Tanpa sadar, mereka semua sudah menghabiskan setengah hari duduk di depan batu itu.
Emery menunggu Julian datang dan bertanya. "Ada apa barusan?"
"Pokoknya tadi itu sangat luar biasa!" Julian tersenyum lebar walaupun wajahnya juga basah karena keringat.
Semua acolyte keluar dari ruangan itu dengan ekspresi berbeda-beda. Ada yang terlihat kelelahan, ada juga yang terlihat senang.
Mereka berkumpul di depan gerbang dan menciptakan banyak batu seperti batu yang ia ciptakan sebelum mereka masuk.
Seorang acolyte berjalan mendekat dengan percaya diri dan meletakkan tangannya di depan batu itu. Batu itu bergerak sedikit.
Darius tersenyum. "Bagus! Mereka yang bisa menggerakkan batu ini akan resmi diterima sebagai acolyte bagian dari Institusi Elemen Tanah. Yang tidak bisa menggerakkan batu ini harus berlatih lagi. Bisakah kalian semua memeriksa telapak tangan masing-masing?"
Emery memfokuskan pikirannya dan membayangkan sebuah lingkaran dengan garis di tengahnya.
[Emery - Pria - 15 Tahun]
[Battle Power : 5]
[Spirit Force - 21]
[Teknik dasar kultivasi elemen tanah telah diterima]
Informasi baru itu menarik perhatian Emery, tetapi ada satu hal yang menarik perhatiannya. Setelah memfokuskan pikirannya pada batu itu selama setengah hari, kekuatan jiwanya bertambah satu poin! Walaupun hanya satu poin, kenaikan itu cukup untuk membuatnya hatinya berdebar karena rasa bahagia. Sepertinya, jika ia terus berlatih, pemahamannya akan meningkat, dan kekuatan jiwa-nya pun akan ikut meningkat.
Namun, saat ia sedang berpikir, tiba-tiba ia mendengar Julian berseru dengan senang. "Ini hebat sekali! Kekuatan jiwa-ku naik tiga poin! Tiga poin lagi, aku akan mencapai 30 poin kekuatan jiwa, dan aku bisa meningkatkan poin jiwa-ku dalam waktu setengah hari."
"...."
Tiga poin. Dua kata sederhana itu cukup untuk membuat semua kebahagiaan Emery setelah mendapatkan satu poin sirna. Kebahagiaan-nya sendiri hanya berlangsung sesaat, namun ia senang Julian juga merasakan kegunaan latihan setengah hari itu.
"Wah, hebat!"