Chereads / Penyihir Terhebat Bumi / Chapter 25 - Gemetar

Chapter 25 - Gemetar

Thrax memulai Gauntlet terlebih dahulu dan berhasil menyelesaikan ketiga bagian rintangan dengan mudah. Entah apakah ia berhasil karena ia berbakat atau ia memang benar-benar atletis, namun keberhasilannya membuat semangat ketiga temannya membara.

Julian dan Chumo memutuskan untuk naik dan mencoba, sementara Emery memutuskan untuk diam dan melihat kedua temannya dulu. Mereka berdua berhasil menyelesaikan rintangan bagian pertama dengan mudah, namun mereka gagal di rintangan kedua dan jatuh ke salah satu jebakan karena menabrak salah satu samsak dari rintangan berbentuk roda berputar. Emery membandingkan bagaimana ketiga temannya mencoba rintangan-rintangan itu dan mencoba menyusun strategi untuk meningkatkan persentase keberhasilannya.

Sudah jelas, Emery tidak bisa menggunakan keberhasilan Thrax sebagai contoh. Thrax memiliki kecepatan reaksi yang jauh lebih tingi darinya.

Setelah menyusun rencana, Emery mengenakan baju zirah pelindung dan mencoba rintangan pertama. Saat melihat temannya mencoba, rintangan itu tidak terlihat terlalu tinggi, tetapi saat ia benar-benar mencoba, tinggi rintangan itu membuat kakinya terasa lemas karena takut jatuh. Apakah baju zirah pelindung itu bisa melindungi kakinya dari luka? Emery menghentakkan kakinya, berusaha menghilangkan pikiran-pikiran menakutkan itu dari benaknya, dan memutuskan untuk fokus pada papan-papan yang bergerak di depannya.

Seperti kucing yang akan melompati dinding untuk naik ke atas atap, Emery melompat dan memegang salah satu papan, kemudian berayun dengan cukup kekuatan untuk sampai ke sisi seberang. Di depannya, sebuah dinding menjulang tinggi. Ia memutuskan untuk memanfaatkan banyaknya waktu yang disediakan dan mengatur nafasnya terlebih dahulu. Setelah nafasnya menjadi stabil, ia melompat-lompat kecil untuk bersiap, dan berlari dengan mengerahkan semua kekuatannya. Ia gagal, namun sedikit lagi, ia akan berhasil. Ia memutuskan untuk mencoba lagi, dan akhirnya berhasil menyentuh ujung dinding dengan ujung jarinya.

Sudah jelas, Emery tidak bisa bertahan dalam posisi itu, dan detik demi detik, tubuhnya terasa semakin berat. Namun, ia menggertakkan giginya dan menarik dirinya naik. Akhirnya, ia berdiri di atas dinding dengan kepala pusing, pandangan yang kabur, dan perasaan ingin muntah. Detak jantungnya terdengar keras di telinganya, perasaan yang sama seperti saat ia pertama kali berlatih dulu. Emery memutuskan untuk menggelengkan kepala dan menjernihkan pikirannya. Beberapa menit berlalu, dan ia berdiri tegak. Walaupun nafasnya masih terengah-engah, penglihatan dan pikirannya telah kembali jernih.

Ia berjalan ke arah rintangan bagian kedua, dan suara denting serta putaran mesin di depan terdengar semakin keras. Emery menelan keinginannya untuk membuka mesin itu dan melihat satu-persatu cara kerja setiap bagian - ini bukan waktunya, dan ia benar-benar harus fokus. Ia memperhatikan gerakan setiap bagian, dan menyadari bahwa semua bagian rintangan itu bergerak dalam sebuah pola yang tetap. Jika ia berhati-hati dan berhasil menemukan waktu yang tepat, ia akan berhasil melewati rintangan itu.

Emery memfokuskan pendengarannya pada setiap denting mesin, sementara tatapannya terfokus pada samsak-samsak yang berputar pada roda di depannya. Ia mengerti, ia harus mengambil waktu yang tepat untuk berlari, agar ia bisa masuk melewati jarak yang ada pada setiap samsak. Emery mengambil posisi, dan segera mulai berlari secepat mungkin dan berhasil masuk melewati jarak itu. Sepertinya, usahanya dalam mempelajari konstruksi bangunan dulu bersama keluarganya tidak sia-sia. Dengan menggunakan perhitungan waktu yang tepat, ia berhasil melewati rintangan kedua.

Akhirnya, Emery tiba di rintangan ketiga. Ratusan kapak serta pedang tajam berayun-ayun ke segala arah, membelah udara dengan suara logam tajam yang bergerak cepat. Jantungnya berdebar-debar dengan rasa takut. Tidak ada remaja berumur 15 tahun yang tidak akan ketakutan melihat apa yang ada di depannya.

Emery menarik nafas dalam-dalam dan menenangkan dirinya seperti saat ia akan melewati rintangan kedua.

"Aku bisa melewati ini. Pasti bisa." Gumamnya untuk dirinya sendiri.

Satu langkah, dua, tiga langkah. Semuanya berjalan lancar, namun…

Klang!

Sebilah kapak menghantam kepala Emery, membuatnya berguling dan nyaris saja terjatuh. Akan sangat berbahaya jika ia terjatuh karena tinggi rintangan itu dari lantai adalah sekitar 10 meter.

Jika saja ia tidak mengenakan baju zirah pelindung itu, sudah pasti ia akan terbelah menjadi dua. Namun, pelindung itu tidak melindunginya dari rasa sakit, dan kepalanya tetap terasa pusing karena hantaman itu. Beruntung saja ia tidak terjatuh, namun perlindungan baju zirahnya telah habis, dan ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

"Turunlah! Kau bisa mati kalau kau terus mencoba!" Julian berteriak dari bawah.

"Nak! Jangan memaksakan dirimu! Turunlah!"

Emery mendengar jelas semua teriakan-teriakan di bawah, namun ia masih memutuskan untuk fokus pada rintangan di depannya. Entah apakah karena kepalanya sakit, atau karena ia memutuskan untuk fokus dan tidak menggubris peringatan dari bawah, suara mereka entah mengapa menjadi kabur. Kakinya gemetaran, persis seperti saat ayahnya mati di depannya dulu. Jika ia memutuskan untuk menyerah sekarang, itu adalah bukti bahwa ia masih belum berkembang dari anak kecil yang berlari ketakutan dari pembunuh ayahnya. Sosok lemah dan penakut yang sangat ia benci sekarang.

Entah mengapa, peringatan ayahnya untuk terus mengendalikan diri terus terngiang-ngiang dalam pikirannya. Apa yang akan terjadi jika ia berhenti menenangkan diri? Ia bisa sampai sejauh ini karena ia mengendalikan dirinya. Mungkin, jika ia ingin menyelesaikan rintangan terakhir ini, ia harus lebih agresif seperti Thrax.

Tanpa ia sadari, ia menggertakkan giginya, darahnya terasa semakin memanas dengan adrenalin dan semangat. Suara denting mesin terdengar semakin keras. Emery berlari maju, dan sebilah pedang melesat cepat tidak sampai satu sentimeter di dekatnya. Tanpa ada taktik maupun keraguan, ia terus maju, merasakan jantungnya berdebar dan kelima inderanya semakin tajam. Baru pertama kali ia merasakan perasaan ini, perasaan seakan-akan seluruh potensinya telah keluar.

Ratusan pedang serta kapak berayun-ayun kencang, memenuhi tempat itu dengan suara bilah yang membelah udara. Satu, satu kesalahan saja, dan ia akan mati. Tajamnya semua senjata itu menciptakan gema dalam pendengaran Emery, sementara entah mengapa, pergerakannya terasa melambat walaupun ia bergerak sangat cepat.

Di mata para penonton, hanya ada seorang remaja gila yang berlari tanpa takut maupun ragu menuju ke arah ratusan pedang yang berayun-ayun ke segala arah. Sementara itu, Emery merasakan semua perasaan, baik takut maupun ragu dan tenang, menghilang jauh. Hanya ada dirinya yang berlari cepat melewati senjata-senjata, dirinya yang mengandalkan refleks untuk tidak mati di sana.

Rintangan ketiga pun selesai. Ia telah berhasil. Ketiga temannya serta para acolyte lain memandangnya dengan tatapan kagum. Remaja yang terlihat lemah dan mungkin sedikit gila itu telah berhasil melewati rintangan Gauntlet walau tanpa perlindungan baju zirah. Emery berdiri di garis finish rintangan, tidak bergerak dan hanya melihat kerumunan di depannya.

Kemudian, semuanya gelap. Emery telah pingsan. Chumo-lah yang pertama kali datang dan memeriksa pernafasan Emery. Pernafasan-nya terasa panas, begitu juga dengan dahinya. Sudah jelas, ia terkena demam.

Julian, Chumo, dan Thrax masih sibuk memeriksa kondisi Emery saat layar kubus yang menampilkan ranking berganti.

67. Thrax, acolyte tingkat 2. Level 5

101. Emery, acolyte tingkat 1. Level 3

Pada akhirnya, Emery tidak berhasil menjadi 100 besar. Namun tanpa sepengetahuannya, sang magus petarung berbadan ramping tertarik padanya.