Chereads / Naughty Girls / Chapter 9 - Help

Chapter 9 - Help

Patricia Pov.

Aku merangkak untuk membebaskan diri dari tangan Axton. Tapi pria itu seolah terbuat dari besi, begitu kuat dan kokoh. Dia sama sekali tidak bergeming dari tempatnya meski aku mendorongnya sekuat tenaga. Justru ia meraih pergelangan kaki-ku lalu tangannya yang lain meraih pergelangan kaki-ku yang masih terbebas.

"Tuan lepaskan aku hiks."

Aku terus berusaha membebaskan kaki-ku yang di cengkeraman oleh Axton dan mengutuk dalam hati pada kehidupan yang tidak adil ini. Mungkin lebih tepatnya merutuki takdir yang bias kepada kami. Bagaimana mungkin pria setampan Axton dan Smith menjadi penjahat berdarah dingin seperti ini. Mengapa mereka berdua diberi kesempurnaan fisik dan keuangan hanya untuk menjadikan wanita tempat pelecehan.

"Tolong... Jangan~"

Axton tidak memperdulikan permohonanku. Dia bahkan menarikku ke arah yang lebih buruk. Perasaan ini sanggup membunuhku karena begitu memalukan. Dia melebarkan kedua kaki-ku, membuatku malu pada diriku sendiri. Ini membuatku ingin menghilang dari bumi

Breet.

"Akh"

Bahan yang menutupi tubuhku berakhir di lantai, sobek tak berbentuk. Aku menyilangkan kedua tanganku untuk menutupi tubuh bagian intimku.

"Jadi begitu."

Ekspresiku yang inilah yang ditunggu Axton. Lalu ia melihat ke arah pussy cantikku. Sudah kuduga ia bisa memastikan jika aku ini masihlah gadis.

Axton merangsek ke atas tubuhku. Rambut gelapnya meluncur ke bahu. Ia seperti sebuah karya seni patung yang memadukan segi maskulin dengan sedikit rasa feminim.

"Sesuai dugaanku. Kau begitu menarik. "

Dengan menahan kedua tangannya Axton mencium bibirku. Lidahnya membelai bibir bibirku, lalu membelit lidahku untuk ikut menari. Aku bisa merasakan lembutnya bibirnya, kenyalnya lidahnya melalui mulutku.

"Muuhhh. "

Aku tidak sadar mengeluarkan rintihan. Itu secara tidak sadar aku lakukan. Seumur hidupku, aku belum pernah berciuman. Jadi tubuhku bergetar hebat dan suaraku keluar nyaris tanpa bisa aku kendalikan.

"Aku suka suaramu... " ucapnya.

"Mmhhh. "

Rupanya rangsangan yang aku terima tidak berhenti di situ. Jari-jarinya mulai menjelajahi kulitku. Aku tidak menyangka jika ternyata kulitku sangat sensitif. Semua sentuhan yang Axton lakukan mengirim getaran yang membuatku kesemutan.

'Apa keperawanan ku selesai di sini hiks.' batinku merana. Berbanding terbalik dengan ekspresi Axton yang semakin senang.

Dalam perjuanganku yang sia-sia. Mataku secara tidak sengaja melihat ke arah Smith. Ia semakin bernafsu dengan adegan yang dilakukan Axton padaku. Dia menarik dua jalangnya untuk kembali memuaskan dirinya.

"Cepat selesaikan Brother, setelah itu giliranku, Sialan!"

Mata gelapnya menatapku dengan ambisi liar. Aku berusaha memalingkan wajahku darinya namun ketakutan seolah mengunci perintah otak kepada jaringan tubuhku.

Sebuah rasa nyeri menyerang ujung dadaku. Sudah pasti Axton tersangka utama yang melakukan kekerasan pada dadaku. Setelah itu aku merasakan usapan dari daging kenyal yang basah.

"Hmmpt."

"Hosh tidak, hentikan tuan kyaa!"

Permohonanku seolah menjadi pemacu Axton untuk melakukan hal yang lebih liar kepadaku. Aku bisa merasakan jika nafasnya semakin memburu. Dan aku tau itu bukan hal yang baik.

"Lepaskan... Berhenti! "

Aku tidak lagi pasrah. Tanganku memukul-mukul tubuh Axton meski berakhir menyakitkan. Gerakanku malah membuat dadaku bergetar sehingga menggesek kulit Axton. Aku sangat frustrasi, seolah semua gerakan yang aku lakukan berakhir buruk.

"Hm."

"Kalian, jalang sialan! Bisakah kalian melakukannya dengan baik! "

Suara Smith kembali menggema. Dia terlihat kesal namun aku tidak memiliki waktu untuk mengetahui penyebab kemarahannya.

"Lakukan dengan benar! " teriaknya kembali.

"Apa kalian ingin berakhir bersama anak buahku!? "

Plak!

"Kyaa! "

"Baik, kami akan berusaha lebih keras lagi. " Kali ini suara wanita yang terdengar. Seperti yang kubilang aku terlalu sibuk memukul Axton sehingga hanya bisa mendengar suara mereka.

Smith semakin emosi sedangkan Axton semakin tak terkendali. Kepalanya sekarang berada di perutku. Menggelitik pusarku.

Di tengah acara panas kakak beradik Blackfire. Anak buah mereka datang mengintrupsi dan melaporkan jika mereka kedatangan tamu. Kegiatan mereka berhenti. Aku menarik nafas lega dan aku yakin kedua wanita itu juga merasakan hal yang sama.

"Tuan Dimitri ingin bertemu anda Master, " ucap anak buahnya. Aku melihat kepalanya menunduk.

"Sial! Jika aku tidak butuh senjatanya sudah ku habisi merah itu."

Smith menendang kedua wanita itu. Lalu mengambil bajunya. Begitu pula dengan Axton, tapi dia tidak sekejam Smith, dia justru mencium bibirku sekilas dan pergi. Smith, Aku ingin sekali mengutuk tindakan kejinya. Dia pantas diperlakukan lebih buruk dari yang terburuk. Aku belum pernah merasa jijik pada seseorang dan Smith melahirkan perasaan itu pada hatiku.

"Kita lanjutkan nanti sugar."

Axton melemparkan kemeja putihnya padaku. Kemudian tanpa baju atasan dia menemui Dimitri. Setidaknya pria itu jauh lebih menghormati kaum kami dari pada Smith.

Akupun segera memakai kemeja putih Axton. Itu kebesaran dan itulah yang aku butuhkan. Setelah itu aku melihat kedua wanita yang tadi.

Aku hampir tidak bisa bernafas melihat luka lebam di wajah dan tubuh mereka. Mereka terlihat buruk, padahal tadinya meraka tidak memiliki luka itu. Air mataku pun tumpah. Aku tidak yakin apa yang lebih memicu keluarga air mataku ini. Trauma karena hampir menjadi korban pemerkosaan atau melihat penderitaan kedua wanita itu.

Padahal aku yakin mereka belum berusia tiga puluhan. Mereka terlihat masih muda, memiliki tubuh dan bagus tetapi harus menerima kekejian Bajing*n itu.

"Hiks... Hiks. "

Aku tidak berniat menyapa mereka lebih dahulu sebab saat ini menangis adalah hal yang aku butuhkan.

"Max, nenek... Hiks. "

Aku tau jika sudah menjadi gadis cengeng. Jika nenek tau aku menangis, dia pasti akan marah. Sayangnya kemarahan nenek sudah tidak begitu menakutkan setelah aku melihat kedua Blackfire itu. Mereka seperti dewa kematian yang siap membawaku ke dunia bawah.

Urusan yang mampu mengintrupsi kegiatan mereka pasti bukan hal yang remeh. Aku diam-diam berdoa agar mereka tidak kembali -- lebih baik lagi jika tidak pernah kembali ke sini. Tidak penting mereka menghilang atau musnah. Itu akan menyelamatkan aku dan dua gadis tadi dari masalah.

"Kau baik-baik saja Angel? " aku mendengar salah satu gadis itu bertanya pada temannya.

"Ini jauh lebih baik dari kemarin, Grace. " Gadis yang bernama Angel menjawab. Padahal ada memar membiru di seluruh tubuhnya akibat kekejaman Smith. Aku bahkan tidak tega melihatnya yang dia bilang baik-baik saja. Sungguh hebat dan menandakan jika dia gadis yang kuat.

Aku terharu dengan persahabatan mereka. Di tempat seperti ini mereka saling menguatkan. Itu adalah perasaan berharga yang tidak setiap orang memilikinya. Terutama di jaman yang sudah rusak ini. Aku jadi teringat dengan Max yang juga menganggapku saudara, juga teman-teman yang bekerja di club. Kami juga saling mendukung satu dengan lainnya jika ada yang mendapat masalah.

TBC