"Tuan Fujisaki!" seruku sekeras mungkin agar di mana pun dia berada, kupastikan akan mendengarnya. Namun, tidak ada sahutan apa pun dari sosok yang kupanggil namanya. "Anda di mana?"
Aku memanggil-manggil berkali-kali, tapi orang yang dimaksud, tak kunjung menyahut. Kulihat meja yang telah bersih, tak ada lagi gelas kopi dan dan cangkir matcha yang kami pakai semalam. Mungkin dia telah mencucinya. Tanpa menunggu lama, kuseret kaki yang masih setengah malas ke dapur. Barangkali dia sedang melakukan sesuatu. Entah mencuci gelas, atau memasak sesuatu.
Sungguh ajaib karena hatiku masih berharap akan ada sosoknya di dapur. Padahal, sebenarnya tidak ada sedikit pun suara yang menandakan dia sedang berada di sana. Baik sayup-sayup sekalipun, tak terdengar sama sekali.
Hasilnya pun, seperti yang diduga isi kepala. Tidak ada seorang pun di dapur. Logikaku bahkan sudah memastikan, bahwa tak ada seorang pun selain diriku di rumah ini. Sungguh berlawanan dengan keinginan hati yang masih tak mengizinkan untuk menyerah.
Seolah tak terima dengan kondisi ini, aku memaksakan diri untuk memeriksa seluruh sudut rumah. Tak terkecuali kamar mandi dan toilet. Berharap akan menemukannya walaupun di tempat-tempat yang tak masuk akal.
Percayakah kalian bahwa saat ini aku bahkan sedang membongkar lemari oshiire karena mengira dia bersembunyi di sana? Memangnya kupikir siapa dia? Anak hoikuen? Yochien? Sampai harus bersembunyi di tempat tidur Doraemon hanya untuk berbuat iseng padaku.
Lelah mencari. Namun, keberadaan Tuan Fujisaki memang bisa dipastikan tidak ada di apato. Jadi ... apakah dia benar-benar telah pergi?
"Bod*h! Sara bod*h!"
Bibirku mengeluarkan umpatan untuk diri sendiri. Tersenyum getir, menandakan kekecewaan yang dalam karena telah menginginkan sesuatu yang tak masuk akal. Terkikik pelan, menggelengkan kepala, tak habis pikir dengan perasaan sendiri. Harus berapa kali mencoba menyadarkan diri sendiri? Berharap sesuatu yang berlebihan dari pertemuan yang dramatis? Konyol sekali bukan?
Hadapilah dunia dengan akal, bukan dengan perasaan. Maka akan terang segala urusan. Serumit apa pun, walau terpuruk sekali pun.
Namun, yang baru saja aku lakukan adalah sebaliknya. Seperti sudah tidak mengenal diri sendiri. Padahal hanya semalam saja. Mungkin kejadian yang kualami sejak kemarin terlalu banyak dan beruntun.
Dia kan memang orang yang hanya menumpang semalam. Sudah pasti, keesokan harinya dia akan pergi. Memangnya siapa juga yang ingin berlama-lama tinggal bersama orang asing? Sementara ada bahaya besar yang mengintainya. Pastilah dia memikirkan keselamatanku, agar tidak ikut terseret ke dalam nasib buruknya. Namun, bukankah seharusnya dia sedikit peduli untuk sekadar mengucapkan selamat tinggal padaku?
Tunggu! Aku teringat dengan sesuatu yang tadi hanya sekilas saja kulihat. Namun kuabaikan, karena masih ingin memastikan keberadaan Tuan Fujisaki di apatoku.
Sebuah penampakan kertas putih di atas lipatan futon di ruang tamu. Dengan sangat bersemangat, aku pun segera menuju tempat di mana Tuan Fujisaki meninggalkan sesuatu yang kuduga adalah sebuah surat. Uraian kata penting yang ditinggalkannya untukku.
Kuambil lembaran putih itu dari atas susunan futon dengan hati-hati. Kubuka lipatannya perlahan. Sebagaimana dugaan, rangkaian aksara China terukir dengan tulisan tangan yang rapi dan indah. Sangat indah, hingga membuatku sejenak mengabaikan isi surat tersebut.
***
Terimakasih banyak atas pertolonganmu, Sara.
Maaf, aku tak bisa memasak dan membuatkan sarapan untukmu. Tak memiliki uang tunai juga untuk membeli.
Tetaplah tersenyum, dan jangan lupa makan.
Jun
***
Aku membolak-balik kertas tersebut. Berharap ada tulisan lain yang lebih bermakna. Namun, tidak ada sama sekali. Memang hanya itu yang dia tulis untukku. Salam perpisahan yang berisi tentang makanan.
Apa dia pikir, sarapanku adalah hal yang begitu penting untuk ditulis sebagai ucapan selamat tinggal? Sampai harus menjelaskan bahwa dia tak punya uang tunai untuk membeli sesuatu di konbini? Mengapa tak sekalian dia jelaskan bahwa dia tak bisa memakai kartu kredit karena takut keberadaannya dilacak? Bila makananku sebegitu pentingnya untuk dibahas.
Aku meremas kertas menjadi bulatan dan melemparnya ke arah dinding pojok atas sekuat tenaga. Mengenai AC dan terpantul jatuh di sisi meja kotatsu yang sudah tidak hangat lagi karena sambungan listriknya diputus.
Tak terasa, dadaku sesak. Air mata yang entah dari mana asalnya, hendak meluap dari pelupuk mata bila aku tidak siap sedia menahannya. Mengapa harus bersedih dan merasa kehilangan? Bukankah memang dari awal, kami bukanlah orang yang saling kenal satu sama lain?
Mungkin saja, semalam, tanpa sadar aku berharap terlalu banyak. Kukira, aku menemukan seorang kawan yang ditakdirkan hadir pada saat kondisi benar-benar buruk. Agar aku tak terlalu bersedih, agar tak kehilangan tujuan hidup. Setidaknya itulah yang ada di benakku saat akhirnya kucurahkan semua isi hati padanya.
Kata seorang teman, hidup ini tidak seindah shoujo manga. Di mana kamu akan bertemu belahan jiwa secara tak terduga, setelah disakiti secara tidak manusiawi oleh sahabat dan kekasih.
Lupakanlah takdir yang terlalu dramatis. Kalau ada seorang pria kaya raya bertemu dengan gadis jelata, kemudian jatuh cinta dan menikah ... kisah seperti itu pasti hanya akan ditemui dalam cerita roman kekinian.
Bisa saja terjadi di dunia nyata, tetapi mungkin jumlahnya tak lebih banyak dari satu persen saja. Seperti apa yang sembilan puluh sembilan persen lebih? Gadis jelata itu pasti hanya sekadar dilewati saja. Kalaupun beruntung, gadis itu akan dijadikan pembantu, bukan istri.
Begitu pula saat ini yang terjadi padaku. Tuan Fujisaki hadir semalam untuk memberi semangat dan harapan karena dia ingin membalas kebaikanku. Tentulah dia harus segera membereskan urusannya sendiri secepatnya. Lagipula, masalah yang menimpaku, sangat tak sebanding dengan masalahnya. Untuk apa dia menemaniku lebih lama lagi di sini?
Kalau begitu, seharusnya, dia tidak perlu sembarangan berkata akan membantu menyembuhkan luka. Huh, dasar laki-laki!
Aku pun bangkit, hendak membuat sarapan ... eh ... lebih tepatnya makan siang. Namun, tak kutemukan bahan apa pun selain sisa salad semalam. Oh, iya. Aku telah memakan porsi sarapanku bersama Tuan Fujisaki semalam. Huuhh, aku harus ke konbini untuk belanja.
Kutengok dari balik tirai, salju telah mencair sempurna. Aku pun berpakaian dengan cukup hangat, namun tak terlalu berlebihan. Hanya coat tebal tanpa tudung kepala dan kaus kaki yang cukup tebal. Perlindungan yang cukup untuk sekadar sepuluh menit di luar rumah. Lagipula suhu siang ini hanya tiga derajat Celcius.
Kuambil dompet dan kunci apato dari dalam tas, kemudian bergegas membuka pintu. Namun, alangkah terperanjatnya aku mendapati sebuah kejutan lain siang ini.
Seorang lelaki berpakaian serba hitam, berdiri di dekat pintu apatoku.
"Selamat siang, Nona Kashino!"
__________________________________________
Catatan:
*Otegami: surat.
*Konbini: convenience store atau minimarket.