*Sendai, 24 Desember 2016*
"Putus?" tanyaku tak percaya. "Apa alasannya?"
Yuya hanya menunduk, tanpa menjawab pertanyaanku, seolah merasa sangat bersalah. Tapi dia sungguh-sungguh tak mengerti, bahwa yang kubutuhkan saat ini bukanlah perasaan bersalahnya. Melainkan penjelasan. Mengapa dia memilih putus begitu saja setelah selama empat tahun kami bersama? Bukankah selama ini hubungan kami baik-baik saja?
"Jawab pertanyaanku, Yuya!" desakku meminta penjelasan yang masuk akal. Bagiku, putus tanpa penjelasan yang jelas, tidak lebih baik daripada ditangkap oleh petugas keamanan tanpa surat penangkapan resmi.
Mengamati Yuya yang hanya memandangiku sambil kemudian menunduk sembilan puluh derajat seraya mengatakan 'gomennasai', membuat air mata yang menggenang di pelupuk mataku tumpah mengaliri pipi dan bibir yang kering membeku karena siksaan udara musim dingin. Pria yang sudah menjalin kasih denganku semenjak tahun kedua di Sendai, kini memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami. Tepat di saat genap empat tahun usia hubungan kami.
Terlintas kenangan empat tahun lalu, di waktu yang sama, di tempat yang sama. Saat itu, Yuya membungkukkan badan membentuk sudut siku-siku, kedua tangannya menggenggam erat buket kecil bunga mawar merah, menyatakan cintanya kepadaku. Suasana saat itu begitu indah, karena lampu hias Sendai Pageant Starlight sedang menyala serempak, menerangi sepanjang jalan Jozenji Dori. Hanya ada satu kata untuk mendeskripsikan kejadian saat itu. Romantis. Walaupun gestur Yuya sungguh kaku dan tidak luwes, tapi ketulusannya membuatku menangis karena kebahagiaan yang tak terkira.
Namun kini, dengan pemandangan yang nyaris sama, dia membuatku menangis untuk alasan yang berbeda. Dulu, air mataku bisa menghangatkan seluruh tubuh karena luapan perasaan cinta yang membuncah. Sedangkan saat ini, tangisanku seolah membuat udara sekitar menjadi semakin dingin, seperti di bawah nol derajat. Membuat tubuhku yang walaupun telah berbalut jaket serta kostum musim dingin yang lengkap, tetap saja merasa menggigil. Entah karena suhu udara yang menurun, atau karena patah hati.
Putus asa akan sikap Yuya yang bersikeras untuk tidak mengatakan apa-apa, aku pun memilih untuk berjalan menyingkir. Saat ini, kami sudah menjadi tontonan gratis bagi para turis lokal dan asing pengunjung Pageant Starlight. Beberapa berbisik-bisik mengasihani diriku, beberapa mencari-cari kameraman, mengira ini adalah syuting sebuah film. Gunjingan konyol yang membuatku merasa sia-sia karena telah meneteskan air mata.
Setelah menghapus air mata, dan berhasil menahan agar tak keluar lagi, aku berjalan menuju bus stop yang terletak di salah satu perempatan jalan Jozenji. Menunggu bus nomor 899 yang akan membawaku pulang ke apato. Kulirik jam tangan di pergelangan tangan kiri untuk mengecek berapa lama harus menunggu. Tiga puluh menit lagi. Lama. Untunglah bangku panjang yang disediakan untuk para penunggu bus kosong. Aku pun memilih duduk, sambil memainkan ponsel, daripada harus meratapi nasib.
Jemari yang tertutup sarung tangan kulit khusus touchscreen, menggeser kunci layar ponsel. Kuperhatikan petunjuk cuaca di layar yang menampilkan suhu minus dua derajat celsius. Ternyata malam ini memang dingin dan perkiraan cuaca mengatakan akan turun salju. Hal yang tidak biasa terjadi di Sendai pada bulan Desember. Karena biasanya, salju pertama akan turun di bulan Januari. Ini akan menjadi salju Desember pertama yang aku saksikan selama lima tahun hidup di Sendai.
Benar saja. Ternyata ramalan cuaca jauh lebih jujur dan bertanggung jawab daripada Yuya. Tak lama, butiran lembut salju mulai turun, menambah keindahan suasana di jalan Jozenji. Hmm ... sangat romantis, berbanding terbalik dengan kenyataan yang aku hadapi.
Beberapa menit kemudian, ketika jalanan sudah mulai memutih karena tertutup lapisan salju yang tipis, bus nomor 899 pun datang dan berhenti, pintu belakang bus pun membuka secara otomatis. Aku pun melompat naik ke dalam bus, sambil menempelkan kartu bus langganan di mesin scanner agar tidak perlu membayar dengan uang cash. Untunglah nasib baik masih memberi kursi kosong di dekat jendela, tidak perlu capek-capek berdiri.
Melamun, memikirkan apa yang akan kulakukan untuk membunuh sepi malam ini. Apakah aku harus melewatkan malam ini sendirian? Setelah mengira akan menghabiskan malam ini bersama Yuya?
Terlintas ide untuk menghubungi sahabatku, Risa. Kemudian, kukirimkan pesan singkat pada Risa, memintanya untuk datang ke apato, menemaniku menghabiskan malam yang menyedihkan ini. Namun, balasan Risa sungguh mengecewakan, karena dia sudah berencana menghabiskan malam ini bersama kekasihnya. Yah, kurasa seruan 'utamakan sahabat daripada kekasih' hanyalah slogan semata.
Tidak sanggup untuk menghadapi penolakan lagi, aku mengurungkan niat untuk menghubungi teman yang lain. Karena yakin, semuanya pasti sedang menghabiskan malam bersama kekasih, sebagaimana pemuda Jepang pada umumnya.
Kupencet bel di sebelah kanan atas tempat duduk, untuk memberitahu sopir bus agar berhenti di bus stop berikutnya, depan Seven Eleven Sanjomachi. Bus pun berhenti untuk menurunkanku dan beberapa penumpang lain, sekaligus mengambil penumpang baru yang telah antre menunggu di dekat papan bus stop.
Sebelum pulang, aku memutuskan untuk membeli nasi instan, ikan kaleng, dan sekotak susu di Seven Eleven untuk makan malam dan sarapan esok hari. Kalau kalian bilang aku ini pemalas, sebenarnya tidak. Aku hanya tidak ingin membuang uang dengan menggosongkan makanan di wajan karena sedang tidak ada keinginan memasak.
Salju turun semakin lebat saat aku keluar dari konbini (minimarket), membuat kulit mukaku yang terbuka merasakan sakitnya hawa dingin. Untung saja saljunya masih berupa tumpukan segar, sehingga masih aman untuk ditapaki walau aku tidak memakai sepatu boots khusus. Namun, tetap saja harus berhati-hati. Salah-salah, bisa terpeleset dan jatuh terjerembab, mempermalukan diri sendiri.
Aku mengambil jalan memutar menuju apatoku, daripada mengambil jalan tikus, sebutan untuk melompat pagar yang menghubungkan konbini dengan apatoku. Sebenarnya, aku bahkan tak pernah menganggap ada jalan seperti itu, hingga beberapa hari lalu kupergoki seorang tetangga, orang Indonesia, yang sedang melompati pagar untuk menuju konbini. Hmm ... benar-benar tidak elegan. Namun, entah mengapa aku justru tergoda untuk sekali-kali melakukan hal itu juga. Tampak cepat dan efisien.
Ketika mulai mendekati apato, aku baru menyadari sebuah keanehan. Kutemukan jejak kaki yang masih baru di atas tumpukan salju, di sepanjang jalan ke arah kompleks apato Full House nomor 103. Apatoku. Tak hanya itu, di sela-sela jejak kaki besar tersebut, terdapat bulatan-bulatan berwarna merah segar, yang menodai putihnya salju.
Ya Tuhan ... apakah itu tetesan darah?
Glekh!
Aku menelan ludah ketakutan. Kuhentikan langkah, mencoba menganalisis apa yang sedang terjadi. Apakah ada orang terbunuh di sekitar sini? Apakah aku harus menelepon polisi? Apaka—
'Plak! Plak'
Kutepuk-tepuk lembut mukaku untuk menepis kecurigaan dengan berbagai kemungkinan lain. Bisa jadi itu adalah kurir pengantar barang yang sedang mimisan, hendak mengantarkan paket ke tempat tetangga, namun salah menuju ke tempatku. Yah, itu merupakan penjelasan yang sangat masuk akal bukan?
Namun, kenyataan menertawakan teoriku. Yang terlihat saat ini, adalah hal yang berbanding terbalik dengan hal yang diharapkan.
Ooohhh!!
Kututup mulut untuk menahan pekikan keras keluar dari mulut.
Benar saja! Di samping pintu apato, kini sedang terduduk seorang pria dengan pakaian serba hitam memegangi lengan kanannya yang sepertinya mengalami pendarahan hebat. Salju di sekitarnya, sudah tidak lagi putih, melainkan merah pekat.
"Tolong saya ...."
Catatan:
Gomennasai: maaf.
Apato: semacam apartemen khas Jepang. Sebuah kompleks bangunan yang terdiri tas beberapa unit apartemen. Biasanya tidak lebih dari 10-16 unit, karena bangunan hanya terdiri dari dua sampai empat lantai saja.