Chereads / December, I'm in Love / Chapter 3 - Pertolongan

Chapter 3 - Pertolongan

"Hai, Sara ...," sapa Tuan Hari, menyebut kependekan namaku, Sarada.

Dulu dia memanggilku Sarada, namun aku memintanya untuk memanggilku dengan sebutan Sara saja. Sejujurnya, aku tidak suka disebut dengan nama lengkap. Dipanggil Sarada, yang berarti salad, membuatku merasa konyol. Bagaimana tidak? Alasan pengambilan nama ini adalah karena ibu hanya bisa makan salad saat hamil. Namun, aku pun tak sampai hati mengubah nama di kantor pemerintah, karena nama ini adalah pemberian ibu yang meninggal saat melahirkan. Karena itu, mengambil jalan tengah dengan menyingkat nama saja adalah sebuah solusi.

Kashino Sarada di dokumen ... menjadi Kashino Sara di kehidupan sehari-hari.

Pernah suatu hari seorang teman, pelajar internasional yang berasal dari Brazil menanyakan mengapa ayah tidak mengubah saja namaku dengan nama yang lain, bila memang merasa namaku cukup aneh. Jawabannya adalah karena peraturan rumah sakit di Jepang menyebutkan bahwa seorang anak harus sudah punya nama sebelum lahir. Jadi, namaku sudah merupakan kesepakatan bila bayi yang dilahirkan ibu adalah perempuan. Ayahku yang saat itu terlampau sedih karena kehilangan wanita yang sangat dicintainya, tak sempat memikirkan nama lain dalam waktu singkat. Lagipula, mana mungkin beliau tega mengkhianati kesepakatan dengan ibu.

"Selamat malam, Tuan Hari ... mohon maaf mengganggu di waktu yang tidak tepat," balasku dalam Bahasa Inggris yang terhitung fasih untuk orang Jepang.

Fasih? Setidaknya begitulah kata teman-teman internasional. Secara umum, kami kesulitan mengucapkan kata dalam Bahasa Inggris karena pengucapan yang tidak familiar di lidah kami. Apalagi, untuk mempermudah dalam pengajaran Bahasa Inggris di sekolah, kami diajarkan transliterasi dari huruf alfabet ke huruf Katakana. Hal ini membuat pengucapan kami menjadi semakin aneh. Bila kau tidak bisa membayangkan seperti apa, aku akan memberi satu contoh: kata 'milk' akan kami baca sebagai 'miruku'. Aneh, 'kan?

"Paman saya sedang terluka dan membutuhkan pertolongan. Bisakah saya meminta tolong?" pintaku sedikit berbohong karena menyebut Tuan Fujisaki dengan sebutan "paman". Hmmm ... kurasa itu panggilan yang adil untuk pria yang berusia tiga puluh lima tahun. Lagipula, dalam Bahasa Jepang, aku akan memanggilnya 'paman' walaupun tidak ada hubungan darah. Itu pun bila kami akrab.

"Luka seperti apa?" selidik Tuan Hari.

"Luka ... mmm ... saya tidak terlalu paham," jawbku ragu, apakah harus jujur atau tidak. "Bisakah anda memeriksanya dulu?"

"Hmm ... tapi aku harus menyiapkan perlengkapan yang dibutuhkan," sanggahnya, bersikukuh ingin tahu.

"Bila ada peralatan operasi kecil, mungkin akan sangat berguna," tambahku agak terlalu bersemangat, membuat Tuan Hari mengernyitkan dahi, curiga.

Namun, sebagaimana diharapkan dari seorang dokter, rasa kemanusiaannya lebih besar dari rasa curiga. Beliau memilih untuk diam dan masuk kembali ke dalam rumah untuk mengambil peralatannya dan memintaku menunggu di dalam rumah. Aku menolak tawaran untuk menunggu di dalam rumah karena malas untuk melepas sepatu boots. Setelah berpamitan kepada istrinya, beliau segera mengikutiku menuju unit 103, tanpa rasa curiga, karena salju yang cukup tebal telah menutup ceceran darah yang tadi berada di sekitar pintu.

Saat membuka pintu, Tuan Hari sedikit takjub, mungkin karena mendapati dapur yang terkesan kosong melompong, pemandangan yang jauh berbeda dengan unit tempatnya tinggal. Sambil duduk di dekat rak sepatu, melepas boot-nya yang sedikit tertutup salju, dia mengamati isi ruangan. Hanya terdapat sebuah kulkas dan peralatan dapur minimalis yang aku simpan di dalam kitchen set. Terdapat pula rak susun yang terdiri atas rice cooker, oven toaster, dan microwave oven. Dapur yang terdapat di unitku sebenarnya terhitung cukup luas untuk ditambah meja dan kursi makan. Namun, aku memilih untuk makan di meja kotatsu di ruang tamu agar lebih hemat tempat.

"Lega dan rapi, ya?" komentar Tuan Hari karena ini pertama kali dia masuk ke dalam apatoku.

Aku sedikit tertawa dalam hati. Tentu saja dapurku terlihat rapi karena sebelumnya, aku telah menghilangkan bekas darah dan salju yang mencair yang tercecer di lantai dapur.

Aku pun dengan canggung memintanya untuk segera ke ruang tamu dimana Tuan Fujisaki berada. Kugeser pintu yang memisahkan antara dapur dan ruang tamu. Saat pintu terbuka sepenuhnya, Tuan Hari terperanjat melihat sosok pria yang terduduk lemah di dekat kotatsu dengan balutan perban yang asal-asalan di lengan kanannya.

"Ya, Allah ...!" seru Tuan Hari reflek menyebut nama Tuhannya. Dia terkejut melihat betapa kacaunya kondisi Tuan Fujisaki, yang saat ini terlihat lebih seperti Yakuza yang terluka sehabis baku hantam dengan keluarga gangster lain. Kemudian, dia segera menghampiri Tuan Fujisaki agar bisa memeriksa kondisi lukanya.

"Apakah ini luka tembak?" tebak Tuan Hari, mendesak.

"Ya, aku tertembak kira-kira satu jam yang lalu, sebelum akhirnya bisa kabur dari pengejarku," jelas Tuan Fujisaki.

"Mengapa tidak menghubungi rumah sakit?" selidik Tuan Hari yang saat ini terlihat gemetaran. "A—atau polisi," tambahnya hati-hati.

"Aku orang berpengaruh di Sendai. Aku tak ingin beritanya tersebar ke media. Lagipula, ini berhubungan dengan nama baik keluarga. Kumohon mengertilah," jelas Tuan Fujisaki dengan suara lemah.

Tanpa bertanya lagi, Tuan Hari segera membuka perban di lengan kanan Tuan Fujisaki. Kemudian dia mengambil peralatan dokternya untuk diberikan kepadaku untuk direbus, agar steril. Aku yang tadi hanya menonton saja, segera melakukan apa yang diperintahkan Tuan Hari.

Aku pun segera mengeluarkan panci dan mengisinya dengan air kran yang banyak. Kunyalakan kompor LP gas yang terletak di sudut dapur yang menempel dengan dinding toilet. Tak lama berselang, air pun mendidih, lalu kumasukkan pisau operasi dan alat lain yang aku tidak tahu namanya untuk direbus.

Aku melirik dua orang pria yang bercakap-cakap. Dalam hati aku terkesan. Tak disangka, Tuan Fujisaki ternyata bisa menjawab pertanyaan Tuan Hari dengan baik, dalam Bahasa Inggris yang baik pula. Ternyata, orang kaya di Sendai, bukan orang sembarangan. Dia tidak mengabaikan hal seperti ini, yang sering dianggap tidak perlu oleh kebanyakan orang di kota Sendai.

Setelah menyodorkan peralatan yang sudah direbus selama tiga puluh menit, operasi pun dimulai. Aku memilih tidak melihat karena tidak sanggup dengan pemandangan yang mengerikan ... mengerikan untukku tentunya. Kudengar erangan kesakitan Tuan Fujisaki beberapa kali, dan aku merasa sangat lega saat dia berhenti. Yang berarti, operasi sudah selesai.

Aku membantu membersihkan sisa operasi dengan perasaan mual. Tuan Hari segera berpamitan setelah memberikan painkiller yang dia bawa dari Indonesia. Tuan Fujisaki menurut saja karena dia tidak punya pilihan tentunya. Pengemis tidak bisa pilih-pilih, 'kan?

"Terimakasih Tuan Hari, saya berhutang budi kepada anda," ujar Tuan Fujisaki.

"Tidak usah, sudah menjadi kewajiban dokter untuk membantu," balas Tuan Hari sambil tersenyum lebar.

Aku tidak punya apa-apa untuk diberikan kepada Tuan Hari. Kemudian aku ingat strawberry shortcake yang aku simpan di kulkas, yang rencana awalnya akan aku nikmati bersama Yuya. Segera saja aku mengambil cake box dan mengepak kue cantik itu dengan rapi.

"Ini tidak seberapa, tapi saya harap anda mau menerimanya," kataku sambil menyodorkan kue dalam box putih dengan pegangan di atasnya, membuatnya sangat mudah untuk dibawa.

Tuan Hari tampak ragu-ragu menerimanya. Ah, aku lupa sesuatu. Dia seorang muslim.

"Saya tidak menambahkan minuman beralkohol. Aku yakin ini halal. Aini yang mengajarkannya pada saya," tambahku meyakinkannya untuk menerima kue buatanku.

Aini adalah teman Malaysia yang dulu tinggal di unit yang sama denganku. Dia muslim. Jadi, Tuan Hari sangatlah percaya bila aku menyebutkan nama Aini ... dan beliau pun, menerima kue dariku dengan senang hati.

Setelah Tuan Hari pulang, suasana pun menjadi canggung karena hanya ada aku dan Tuan Fujisaki di dalam apato. Sungguh tak nyaman rasanya seatap dengan seorang pria asing, walaupun hanya semalam saja. Namun, tidak mungkin juga aku mengusirnya, 'kan?