"Nama kamu, siapa?" tanya Aldi pada gadis kecil.
Mereka tengah beristirahat di Pulau Enggano–pulau eksotik yang berabad lampau adalah bagian dari Provinsi Bengkulu.
Namun kini, Enggano menjadi pulau mati. Pernah ada seseorang berkuasa di sana dengan kastilnya yang terkenal megah. Hanya saja, perlawanan dari orang-orang yang terbuang meluluhlantakkan semua yang pernah ada. Bangunan-bangunan megah dan tempat tinggal lainnya, lingkungan hidup, alam itu sendiri.
Konon, dalam kerusuhan yang terjadi itu mereka menggunakan gas beracun yang pada akhirnya memaksa mereka sama meninggalkan pulau tersebut, seratus tahun yang lalu. Hingga kini, tidak ada yang berani masuk lebih jauh. Orang-orang masih takut pada residu gas yang mungkin saja masih tersisa.
Aldi memarkir chameleon di salah satu bibir pantai yang kumuh–sisi paling selatan Pulau Enggano. Aldi cukup sering menjadikan pulau tersebut sebagai tempat peristirahatannya, sekaligus menjauhkan diri dari pantauan orang-orang Federasi.
Gadis kecil tidak menjawab, sibuk mengenakan pakaian serbalonggar. Hanya ada pakaian ukuran besar dalam bagasi chameleon. Gadis kecil kembali menaiki chameleon, membaringkan tubuhnya di atas bangku belakang yang cukup lebar. Membungkus tubuhnya dengan selimut, mencoba untuk tidur. Tidak memedulikan Aldi, seolah bagian belakang chameleon itu adalah singgasana miliknya.
"Hahhh…" Aldi geleng-geleng kepala. "Bocah keras kepala."
Aldi mengempaskan pinggul dan menyandarkan punggung di atas sebuah sofa tua dan sangat usang—menghadap ke timur. Memandang langit tinggi. Menikmati jeli yang tersisa beberapa batang saja di dalam kotak di pangkuannya. Gadis kecil itu telah menghabiskan lebih dari setengah jumlah awal.
Di atas chameleon, gadis kecil membuka mata. Menerawang langit malam yang menyiratkan sejuta impian. Nanar, sepasang mata itu memanas. Segulir kehangatan menyapa, meleleh begitu saja, sesaat menyejukkan pelipis.
"Ely…" ujar gadis kecil, serak.
Aldi melirik ke atas chameleon, ia hanya bisa melihat bagian kepala gadis kecil yang berkelumun selimut.
"Namaku, Ely," katanya lagi. "Elysium."
"Elysium?" Nyaris saja Aldi tergelak. "Apa yang dipikirkan orang tuamu?"
"Mana aku tahu!" Ely mendengus.
Gadis kecil semakin menyembunyikan tubuhnya di balik selimut. Ia memang tidak tahu apa arti dari namanya, atau apa yang dipikirkan orang tuanya. Namun ia tahu pasti, Aldi sedang menertawakan namanya itu sendiri.
Di dalam selimut, bulir kehangatan menggenangi pelupuk mata Ely. Kenangan terhadap kedua orang tuanya, membayang jelas di depan mata. Seolah ada satu komponen pemancar di keningnya yang menyorotkan laser-laser hologram. Senyum sang ayah yang mengajaknya bercanda. Tawa sang ibu yang begitu menenangkan. Ely tersenyum dalam haru. Namun senyum mendadak hilang, berganti kesedihan mendalam. Bayangan gengster-gengster yang memperkosa ibunya secara brutal hingga tewas, orang-orang yang berebutan memutilasi tubuh ayahnya dan berakhir menjadi santapan bagi bangsat-bangsat kanibal itu. Dan bayang ketakutan dirinya sendiri yang harus menyaksikan semua kejadian itu. Ia selamat, bersembunyi di bawah satu rongsokan mobil, terlindung sejumlah dus usang.
Ely membekap wajahnya, terisak dalam keheningan. Meski ia berusaha menekan tangisnya, namun Aldi masih bisa mendengar suara tangisan itu.
Aldi mendesah panjang. Ia tidak tahu pasti apa yang tengah dipikirkan Ely. Namun, yaa… jika bukan soal dirinya yang telah diperkosa entah oleh siapa, tentulah soal orang tuanya, pikir Aldi.
"Aku rasa…"
Kembali Aldi mendongak, memandang hamparan bintang di langit. Pesona mimpi yang dihadirkan kerlipan bintang gemintang, memaksa otot-otot bibirnya membentuk garis lengkung. Dan melanjutkan ucapannya.
"Orang tuamu berharap, kelak kau bisa berada di suatu tempat yang sama seperti surga," sekilas, Aldi melirik lagi. Namun seperti tadi, Ely seakan tidak merespon. "Seperti arti namamu itu."
Ely bangkit, duduk berselonjor dalam selubung selimut. "Surga? Omong kosong orang tua untuk mengelabui anaknya," katanya tanpa menoleh. "Tempat itu tidak ada!"
"Aku tidak tahu," Aldi bangkit, meregangkan tubuh.
Kekerasan Ely sedikit membuat Aldi kesal. Kekejaman hidup punya andil besar dengan wataknya yang membatu. Berapa banyak orang yang masih percaya pada Tuhan? Alih-alih surga apalagi neraka?
"Belum pernah ke sana," sambung Aldi lagi. Kedua tangan berada di sisi pinggang. "Jadi aku tidak tahu, apakah surga itu ada atau—yaa seperti katamu, omong kosong dari orang-orang tua."
Tidak ada reaksi dari Ely. Bocah itu tetap diam, tatapan kosong memandang kegelapan.
Aldi memaksakan kakinya, melangkah mendekati bibir pantai. Tumpukan sampah menari-nari mengikuti alunan air laut di bawahnya, kadang berayun pelan seperti lentik jari penari telanjang yang gemulai, lain waktu membuncah kencang, menghempaskan aroma penderitaan dengan selaksa kebusukan di dalamnya.
Di ujung tenggara sana, pijar kemerah-merahan masih mampu dilihat Aldi. Pijar lava dari Anak Krakatau. Memerahkan titik horizon, juga kepulan asap tebal yang masih bisa terlihat jelas, meski malam hari sekalipun. Bencana pasti akan terjadi, pikirnya.
Aldi menoleh pada Ely, dan berkata, "Apa kau akan terus mengikutiku?"
Jika alam benar-benar mengumbar kemarahannya, Aldi tidak yakin ke mana ia akan membawa langkah. Diri sendiri belum tentu mampu ia selamatkan, apatah lagi bila harus memboyong seorang lagi bersamanya. Aldi menghela napas, terlihat berat—sangat berat. Ada kalanya ia merasa bodoh telah membawa Ely.
"Iya," jawab Ely datar saja.
"Sampai kapan?"
Aldi mendongak lagi. Sekilas, ia melihat kerlip cahaya berbeda di ketinggian sana. Spacecraft? Benar, sepertinya memang spacecraft.
"Ke mana pun kau pergi," Ely menoleh pada Aldi.
"Dasar bocah," gerutu Aldi sembari bertolak pinggang. "Tinggal saja di sini. Di sini tidak ada orang, aman dari para gengster dan kanibal."
"Aku tidak mau!" tukas Ely dengan ketus, mengalihkan pandangannya dari Aldi.
"Keras kepala," Aldi mendekati lagi sofa usang, menghempaskan pinggulnya begitu saja. "Terserah kau lah!" dan berusaha memejamkan matanya.
Saat Aldi kembali membuka mata, kilatan cahaya yang datang dari sisi kiri–arah utara–memancing kekhawatirannya. Aldi berdiri, ada lebih dari selusin cahaya seperti lampu sorot dari beberapa kendaran.
Dan hal itu pun menggugah rasa takut bagi Ely sendiri. Bersama Aldi, ia merasa nyaman, namun bila harus ada orang lain, ketakutannya kembali tumbuh subur. Entah apa pun itu alasan yang melandasi.
"Hei," Aldi menyeru pada Ely, "berikan teropongnya."
Ely coba memeriksa seluruh sisi bangku belakang itu, kondisi yang gelap ditambah ketakutan yang menghantuinya, membuat Ely kesulitan menemukan benda yang diminta Aldi.
"Cepat…!"
"Kau simpan di mana?" Ely tak kalah kesal, bahkan histeris. "Aku tidak bisa menemukannya!"
"Aahh..."
Aldi menghampiri. Ely bergeser, memberi ruang pada Aldi. Dan pria itu menemukan teropong dalam salah satu ruang penyimpanan di hadapan bangku di mana Ely duduk.
"Jeli saja bisa kau temukan."
Ely mendengus, kesal disalahkan orang.
"Berengsek!" maki Aldi ketika menggunakan teropong di tangan.
Dengan teropong yang dilengkapi night-vision-mode, Aldi memastikan jika mereka yang tengah berkendara itu adalah orang-orangnya Federasi–mengendarai chameleon merah level-7, dan Pemerintah Andalas–mereka yang mengendarai chameleon biru-kuning juga level-7.