"Jahanam! Bisa gagal nih rencana gue."
Aldi bergegas meraih kembali kotak jeli dan sebotol air minum di atas sofa, dan melemparkannya begitu saja, menyerahkan semuanya pada Ely, berikut dengan teropong.
"Pasang sabuk!" perintahnya.
Ely mengangguk, bergegas menarik dan memasang sabuk pengaman ke tubuhnya. Aldi melompat ke atas chameleon.
Mesin chameleon menderu, bersamaan itu windshield diaktifkan. Kaca pelindung itu bahkan terus bergerak sementara chameleon telah dipacu Aldi, menjulur hingga tersambung ke bagian belakang. Kini bentuk chameleon yang tengah melesat kencang itu lebih mirip sebuah helikopter tanpa bagian ekor dan tanpa baling-balingnya.
Meski Aldi memacu kendaraannya dengan kecepatan maksimal, namun para petugas gabungan Federasi dan Pemerintah Andalas mampu mengekorinya, jarak mereka kini hanya terpaut belasan meter saja.
Aldi mengutuk kebodohannya sendiri. Meski sama-sama mengendarai chameleon Level-7, dikarenakan Aldi jarang merawat chameleon-nya, hingga para pengejar itu nyaris bisa menyusul.
Aldi berkelok tajam ke kiri, memasuki kawasan Selat Sunda. Di belakang, para pengejar mulai menembakinya. Desingan-desingan peluru memperparah ketakutan Ely. Sebentar-sebentar ia mengintip ke belakang, lain waktu menjerit sembari mendekap kepala dan merunduk.
"Berhentilah menjerit…!" ujar Aldi lantang. Lalu mendengus yang berlanjut dengan makian panjang-pendek tak jelas.
Chameleon tunggangan Aldi meliuk-liuk, berbagai rongsokan yang membukit di atas permukaan laut sedikit membantu pelariannya.
Para pengejar terus mengumbar tembakan, tidak saja senjata berpeluru tajam, bahkan senjata canggih seperti PSG–Plasma Shocking Gun. Senjata itu melontarkan laser biru pendek yang mampu menghentikan detak jantung korbannya dalam beberapa detik, bahkan akan membuat sebuah kendaraan seperti chameleon mati sebab mesin tak akan berfungsi karenanya.
Pengejaran terus berlangsung, sekian menit berlalu. Letusan senjata api disertai bunyi berdesing dari peluru-peluru yang melesat, terkadang mengenai rongsokan di permukaan laut. Celakanya, beberapa rongsokan itu menyembunyikan bahan kimia yang mudah terbakar. Hingga terjadi ledakan-ledakan lebih besar sepanjang pengejaran itu. Dua petugas gabungan yang tidak awas, terlempar tinggi bersama tunggangannya saat rentetan ledakan bahan kimia di permukaan laut justru mengenai mereka. Keduanya terhempas mengenaskan ke atas tumpukan sampah, begitu juga dua chameleon. Perlahan, tenggelam di antara sampah-sampah yang membusuk.
Petugas gabungan semakin kesal, meski jumlah mereka lebih banyak dan menunggangi chameleon yang selalu dirawat baik, tetap saja tidak mampu menyentuh Aldi. Pria itu begitu liar mengendalikan chameleon, seolah sudah hafal dan tahu ke mana ia harus lari, seakan chameleon dan dirinya adalah satu.
Selang dua puluh menit kemudian, Aldi menarik para pengejar ke kawasan pulau yang berdekatan dengan Anak Krakatau. Petugas gabungan tidak menyerah, terus memburu dan menembaki kendaraan pria tersebut.
Debu-debu vulkanik menutupi pandangan semua orang. Melapisi sisi luar windshield, seperti salju yang turun dari langit namun dengan warna abu-abu.
Ely menjerit kencang, semakin merunduk lebih rendah. Sebutir peluru mengenai sisi kiri kaca pelindung. Dan jeritannya kian kencang saat sebutir peluru lagi mengenai dan menghancurkan kaca pelindung tersebut.
"Menunduk…!" teriak Aldi, dengan cepat ia mengenakan auerbrille melindungi sepasang mata dari butiran debu vulkanik.
Ely menunduk bahkan nyaris berbaring, tersembunyi dari penglihatan para pengejar. Serpihan windshield yang berderai, berhamburan, menghujani Ely. Namun Ely tidak mengalami cidera sebab terlindung selimut tebal yang membungkus tubuhnya.
Windshield tidak hancur keseluruhannya, masih tersisa di bagian depan di hadapan Aldi. Dan itu terlihat membahayakan—semacam sembilu yang siap mengiris leher. Aldi memutuskan untuk memasukkan saja kaca pelindung yang tak lagi bisa melindungi itu.
Meski bukan kidal, Aldi tetap menggunakan tangan kirinya. Meraih senjata jenis PSG yang terikat di paha kanannya, membalas tembakan para pengejar. Tanpa whindshield, ia dan Ely mungkin saja akan terpapar gas beracun, atau asap belerang. Namun, dengan cara begitu Aldi baru bisa dan leluasa untuk membalas tembakan para pengejar.
"Tutupi hidungmu!" seru Aldi pada Ely saat menoleh ke belakang sembari menembak para pengejar.
Ely benar-benar menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut itu, berkelumun tanpa sekalipun berani mengintip. Dua tangan selain memegang kuat selimut juga berpegangan erat pasa sabuk pengaman di badan.
Desingan peluru masih saja terdengar dan sesekali membuat tubuh Ely di dalam selimut bergetar ketakutan. Untung saja Aldi—sebut saja—sedikit terbiasa menghadapi situasi seperti ini sebelum-sebelumya, dan yaa meski tidak terawat, chameleon bergerak sangat lincah dalam kendali pria tersebut.
Kondisi bekas pemukiman di pulau itu memberi keuntungan bagi Aldi. Para petugas gabungan–yang dulu jijik untuk singgah di pulau mati seperti kawasan Anak Krakatau itu–menjadi kewalahan. Deretan batang pohon yang telah lama mati bahkan sebagian hanya berupa bara memerah, puing-puing dari rumah penduduk, memaksa petugas gabungan untuk lebih berhati-hati. Mengurangi kecepatan kendaraan masing-masing. Belum lagi salju vulkanik yang terus menghujani kawasan sekitar, meski terlindung windshield dan wiper yang terus bergerak, namun debu turun lebih cepat dan intens dari yang mampu disingkirkan wiper.
Tiga orang petugas yang tidak berhati-hati mengalami kecelakaan. Dua menabrak dinding bekas sebuah bangunan, dan meledak, terbakar. Lainnya mampu berkelit, namun sisi samping kendaraannya membentur keras sebatang pohon mati saat menghindar ledakan chameleon rekannya. Ia terlempar bersamaan pecahnya kaca pelindung, chameleon tunggangannya terhempas kuat ke bumi yang tertutup debu tebal—lebih dari sejengkal tangan. Batang pohon berderak patah, tumbang, menindih tubuh si petugas. Ia tewas dengan punggung remuk.
Aldi menikung tajam, menghentak dan mengerem, tunggangannya berhenti, moncong chameleon bahkan sampai terangkat—seperti seorang cowboy yang memaksa kudanya mengangkat kedua kaki depan. Berputar dan menghadap ke belakang. Satu garis tipis dan miring menghias bibirnya.
"Mau menangkap gue, haa?" gumam Aldi memandang petugas gabungan yang kebingungan di depan sana. "Tetaplah diam, Ely!" ujarnya pada gadis kecil di bawah selimut.
Aldi menonaktifkan lampu sorot tunggangannya. Mengandalkan insting, ia membawa chameleon memutar ke kiri. Chameleon meluncur perlahan, nyaris tidak mengeluarkan bunyi.
Para petugas kebingungan, kehilangan jejak pria buronan tersebut. Tidak menyadari jika pria itu tengah mengintai dari sisi kanan mereka, terpaut sekitar dua puluh meter. Merasa diri mereka terancam, para petugas menyorot ke beberapa sisi memanfaatkan lampu chameleon.
Aldi terus memacu pelan chameleon-nya, hingga kini ia berada tepat belasan meter di belakang para petugas. Senjata PSG ia pindahkan ke tangan kanan, membidik para petugas tersebut. Sementara, Ely tetap bergeming dalam posisinya.
"Hoii…!" Aldi membentak dengan senjata siaga. "Nyariin gue?" ia menyeringai.
Para petugas yang tidak menyangka justru mereka lah kini yang menjadi target, sama kelimpungan. Namun belum sempat mereka bergerak, Aldi melepaskan sejumlah tembakan. Chameleon tunggangan para petugas terhenti, dan terhempas ke tanah. Mereka kocar-kacir, memanfaatkan momen itu Aldi memacu tunggangannya menuju timur, melarikan diri meninggalkan kawasan Anak Krakatau.