Chereads / Pangeran Kecil dan seekor Kunang-kunang / Chapter 44 - 44 Awal Kebencian

Chapter 44 - 44 Awal Kebencian

Berlari di jalan setapak menuju ke arah belantara. Saat ini Kando sangat penasaran pada sosok lelaki di balik Jubah hitam yang telah berhasil mengalahkan kedua Kloning Miliknya.

"Dilihat dari kemampuan Kloning buatannya, ia merupakan ilmuan yang hebat.

Siapa sebenarnya dia?

Aku tak menyangka ada orang yang melampaui ku dalam bidang Sains dan kedokteran!".-Ucap Kando dalam hati.

***

"Apakah semua barang berharga telah kalian bawah?".-Ucap Sando pada Bobo, Kento dan Paksi.

"Ya!".-Jawab Paksi.

Sambung Kento.

"Semua jejak juga sudah kami hilangkan!".

Sementara Bobo hanya membisu, berdiri seraya menatap Pintu Markas yang sebentar lagi akan dihancurkan.

"Ribusah, dimana saat ini kau berada?".-Batinnya.

***

Ribusah seketika bangkit dari pembaringanya kemudian duduk menatap sekitar ruangan. Tatapan nya sedikit nanar, tepat di hadapannya Ribusah menemukan se sosok lelaki tengah duduk menggunakan baju Zirah.

"Siapa kau?

Dimana aku?".

Lelaki itu pun hanya tersenyum, kemudian bangkit seraya menautkan kedua tangan di dada.

"Akhirnya kau Siuman!

Saat ini kau berada di istanaku!".

Saat ini, tubuh Ribusah masih bergetar. Ia pun menatap kedua telapak tangannya dan mengembalikan ingatannya ketika sedang berpamitan pada Regita untuk mencari kayu bakar.

"Hey bocah, jangan Ragu. Aku akan melindungimu!

Gunakanlah kekuatanku!".-Ucap Jiwa tanda kutukan VULA pada Ribusah di sebuah dimensi pertemuan.

Saat ini simbol Kutukan pada lengan Ribusah sedikit berbeda, simbol itu memanjang melingkari lengan kirinya. "Bentuknya berubah.

Pertanda apa ini?".-Batinya.

Lelaki itu pun berkata. "Saat itu kau ku temukan di tepi Desa dalam keadaan tak sadarkan diri!

Oh iya. Aku Tenggo!

Siapa namamu?".

Ribusah pun hanya membisu.

"Hmm, Sepertinya keadaanmu belum pulih. kembalilah beristrahat!".

Tenggo kemudian melangkah menuju pintu Utama. Saat berada tepat di depan pintu, ia menghentikan langkahnya, kemudian berkata pada Ribusah.

"Oh iya. Jika kau perlu sesuatu, katakanlah pada pelayanku!".

Kemudian berlalu.

***

Terus berlari, sebentar lagi mereka akan memasuki belantara. Di barisan depan, Gora menatap wajah Ru'u dan Bu'u yang sedang berada di sisi kanannya.

"Sepertinya aku harus memastikan mereka!".

Saat tepat berada di tepi belantara, seketika Gora menghentikan langkahnya, kemudian di ikuti Babon, Nebot, Bute, Ru'u, Bu'u dan lainnya.

Begitu pun dengan Kando, perlahan ia melangkah ke arah Gora seraya berkata.

"Ada apa?".

Tak ada kata, Gora seketika menghunuskan pedangnya dan menunjukan ke arah Ru'u dan Bu'u.

"Yakinkan aku bahwa kalian berdua bukanlah pengkhianat seperti Ebong!".

Sejenak Bute terdiam. Tatapannya mengarah ke wajah Ru'u dan Bu'u yang tengah Gugup dan mematung.

Saat Gora memulai melangkahnya, Nebot pun melakukan hal yang sama. Nebot kemudian berdiri tepat di hadapan Ru'u dan Bu'u, sehingga mengharuskan Gora menghentikan langkahnya.

"Gora!

Apa kau sadar atas apa yang sedang kau lakukan?

Sadarilah posisimu saat ini!".

Gora pun terdiam.

Lanjut Nebot berkata.

"Mulai hari ini, akulah yang akan kembali menjadi pemimpin KALIKIT!".

Gora sedikit kesal karena ucap itu. Saat ini tak ada pilihan lain baginya selain mengikuti ucapan Nebot yang statusnya sebagai pemimpin tertinggi di Organisasi KALIKIT.

"Sial!".-Batin Gora seraya menatap tajam Ru'u dan Bu'u. Kemudian Ia menundukan kepala dan menyarungkan kembali pedangnya.

"Maafkan aku!

Aku hanya ingin memastikan bahwa mereka berdua bukanlah mata-mata yang di titipkan oleh Sun dan Ratojeng!".

"Takkan mungkin mereka berdua kan Menghkianati ku!".

Kemudian Nebot tersenyum dan meneruskan langkahnya ke arah Babon.

"Babon!

Sekarang apa rencanamu?".

"Hmm Saat ini tak ada rencana lain selain kembali membangun kekuatan. Saat ini jumlah  kekuatan berubah, sejak kembalinya Sun dan Sando di TAIPA MADIKA.

Kita akan kembali mempersipkannya, hingga tiba waktunya kita kembali hancurkan Mereka!".

"Baiklah!

Untuk saat ini, kami akan menetap di Belantara!

membangun kembali Kekuatan dari KALIKIT".

"Baiklah!

Saatnya berpisah!".

***

"Sangat sulit bagi kita untuk mencari jejaknya!".-Ucap Pawata sembari menatap sekitar.

"Ya. Tak ada Satupun jejak yang bisa membuktikan bahwa Ribusah hadir di medan perang ini!".-Tambah Regita.

Kemudian Dua oramg Anggota mereka datang menemui mereka, melaporkan hasil misi yang di berikan.

"Bok!

Ugos!

Bagaimana? Apakah kalian berhasil menangkap mereka?"

"Maaf, Kami Gagal!

Namun kami berhasil mengikuti mereka sampai di depan markas KALIKIT!

Saat itu keadaannya sangat berbahaya sehingga kami memutuskan kembali!".-Terang Ugos.

"Baiklah! Tugas kalian sudah cukup!

Kembalilah ke kerajaan. Sampaikan informasi ini pada Saba!".

"Baik!".

"Hmmm, Sekarang apa Rencanamu?".-Ucap Regita.

"Baiknya saat ini kita kembali ke Markas, sembari menunggu informasi dari Evu dan Rata!".-Ucap Pawata pada Regita.

"Baiklah!".

***

"Sepertinya saat ini bukan pilihan yang tepat bergabung bersama Gora".-Batin Ojo seraya menatap Ribuyah.

***

Setelah sekian tahun meninggalkan kerajaan, kini untuk pertama kalinya Sando masuk ke dalam Ruangannya.

Baru maju selangkah seketika semua kenganan yang terkurung datang menyambutnya, merangkul penuh emosi hingga Sando kembali menyatu dengan kenangan itu.

_____Ingatan Sando

Berdiri di hadapan Cermin, mematung sembari bergulat tanya.

"Apa yang sedang kau pikirkan?".-Ucap Pue seraya melangkah kearah Sando.

"Kakek!".

Pue pun mendekatinya kemudian bertekuk lutut dan mengusap wajah Sando dengan penuh kelembutan. 

"Ada apa, Haa?

Dimana Sampoana?".

"Tidur!".-Tandas Sando.

"Kenapa kamu belum tidur?

Ayo kita ke kamar!".

Pue pun bangkit dan menuntunnya. Setiba di kamar, Pue seketika tersenyum ketika melihat posisi tidur Sampoana yang tengah melintang.

Dalam hatinya Ia berkata.

"Hmmm, Sungguh Ia tak berbeda dengan Ibunya".

Pue mengangkat Sampoana kembali pada posisi tidur semula dan menarik kembali selimut yang telah tertumpuk di ujung Ranjang.

Sementara Sando hanya berdiri mematung mentap sang kakek.

"Benar, Kakek sangat menyayangi kami!".

"Hmmm, Kamu sedang memikirkan apa?".-Ucap lirih Pue.

"Mengapa kakek begitu sayang pada kami berdua?".

Pue pun tersenyum mendengar pertanyaan itu. kemudian menarik Sando duduk di sisi kanan Sampoana.

"Hmm itu sudah menjadi kewajiban kakek!

Kakek sayang kalian Semua. Sanja, Nebot, Bute dan Kibon. Rasa Sayang kakek tak berbeda di antara kalian!

Hmm, ada apa?

Apa yang sedang kau pikirkan?".

Sando pun memilih membisu.

"Hmm, ada apa?

Ayo, Cerita pada Kakek!

Apakah kau bertengkar lagi dengan mereka?".-Ucap Pue seraya mengusap Kepala Sando.

Tak bergeming, Sando terjebak pada ingatan yang selalu memicu kesedihannya. Ia pun memejamkan kedua matanya. Seluruh tubuhnya gemetar, tanpa sadar Air matanya berderai. 

"Ada apa? Ayo Cerita pada kakek!".

Dera air matanya semakin meluap. Berucap terbata.

"Ya. Tadi aku berkelahi dengan Bute. Ia mengejek Sampoana dengan sebutan Anak Penyihir.

Kakek, Mengapa mereka semua sangat membenci kami?".

"Hmmm, begitu ya?

Kata siapa? Sebenarnya mereka tak membenci kalian kok!".

"Tidak!

Mereka sangat membenci kami!

Seringkali mereka Melukai hati kami dengan Ucapan-ucapan itu, bahkan mereka berkata bahwa kami tak pantas tinggal di kerajaan ini.

Kakek, Sebenarnya apa salah kami?

Apa salah Ibu kami sehingga mereka begitu membencinya?".

Melihat keadaan Sando, seketika beban batin pada Pue mencuat.

Pue mendekap Sando seraya berkata.

"Hmmm, Tenanglah!

Sudah, sudah. Kamu tak perlu memikirkannya!

Kakek janji, Besok Kakek akan menemui mereka!

Sudah jangan menangis. Laki-laki tak boleh cengeng loh.

Cepat Usap air matamu!".

Meski Pue tak berhasil meredam seluruh Amarah Sando, namun kelembutan sikapnya dapat membuat sedikit kelegaan di hati Sando saat ini. 

"Kakek janji padamu, besok kakek akan menemui mereka!".

Melihat Sando sedikit tenang, senyum Pue pun kembali merekah.

"Oh Iya, bagaimana tadi perjalananmu?

Apakah tumbuhan itu sudah kalian temukan?".

"Belum kek. Kata ayah, besok kami harus kembali ke Belantara!".

"Hmmm, begitu?

Kamu hati-hati, ya!".

Sando pun menoleh, kemudian menatap Sang Kakek penuh makna.