Chereads / MASIH / Chapter 5 - Keputusan

Chapter 5 - Keputusan

Pagi begitu cerah, jendela kamar Rezka yang langsung menghadap ke arah dimana matahari menyapa bumi selalu membangunkannya dengan warna oranye yang begitu halus dengan di iringi nyanyian kicau burung, seolah diam diam mengelus pipinya untuk memberitahukan ada moment yang tidak pantas di tinggalkan kala mata pergi dari gelap dan cahaya harapan siap menyambut dengan hangat.

"Huaa" Rezka menguap, menyapa pagi masih dengan rasa kantuk yang terpaksa harus ia tinggalkan.

Tanpa lama, setelah ia menikmati cahaya matahari di pagi hari dalam beberapa menit, langkahnya mengajak ia untuk memasuki kamar mandi, siap siap untuk pergi sekolah tepatnya.

Tidak lebih dari 30 menit, hanya kurang sedikit. Rezka keluar dari kamar mandi dengan masih menggunakan handuk, setelahnya ia mengambil seragam dalam lemari, segera ia berpakaian dan menggendong tas yang telah ia masukan beberapa buku pelajaran yang sempat ia siapkan di malam hari, lalu ia menuruni anak tangga untuk ikut bergabung menikmati sarapan dengan Deni dan Mila.

Entah ada apa, langkah Rezka tidak ditemani dengan pemikiran pemikiran yang seperti biasanya. Bahagia, tenang, tanpa beban. Aneh menurutnya, tak seharusnya langkah saat itu justru malah ditemani dengan pemikiran yang tidak penting sama sekali, seharusnya. Ia mempertanyakan, bagaimana saat ini Daniel terhadap Rima, masihkah sama atau kini Rezka sudah menjadi penggantinya.

"Ih, apaansi" Gumamnya kesal terhadap diri sendiri saat membubarkan pemikiran yang tidak penting itu.

"Kenapa?" Tanya Mila yang ternyata diam diam memperhatikan raut wajah Rezka yang tidak seperti biasanya. Terlihat bingung, sedikit ada beban.

"Eh, mmm, engga Mah" Jawab Rezka cepat, namun gelagapan.

"Daniel?" Tanya Deni menyelidik.

Rezka seketika menoleh dengan tatap kaget.

"Bukan" Jawab Rezka meyakinkan.

"Hmmm" Ucap Mila.

Rezka tidak meresponnya, ia langsung duduk di bangku makan dan menyantap sarapan yang telah dihidangkan.

Setelah sarapan selesai, seperti biasanya, Rezka dan Deni berangkat ke sekolah. Kaca pintu mobil sengaja Rezka buka sedikit, AC dimatikan, menikmati udara segar sekitar maskudnya. Tak terasa, laju mobil seperti lambat dan begitu hati hati, namun ia telah melihat sekolahnya saat mobil berhenti.

"Berangkat ya Pah" Ucap Rezka sembari menyalami Deni sebelumnya ia membuka pintu mobil dan turun bermaksud memasuki gerbang sekolah.

Deni tersenyum. "Hati hati"

***

Beberapa tahun yang lalu, dua insan saling berikrar untuk saling menemani hari harinya. Bersaksi dengan ucapan bahwa mereka telah sah menjadi sepasang kekasih, pacaran. Baik Rima ataupun Daniel, sebelumnya tidak pernah berpikir untuk saling meninggalkan. Hanya, pertemuan sejatinya adalah tambang yang menarik seseorang satu langkah lebih dekat terhadap perpisahan, dengan terpaksa suka atau duka, atau dengan kematian yang hanya dengan duka.

Semenjak perpisahan itu, Daniel sempat tidak bisa samasekali melirik sekitar, mencoba untuk mencintai seseorang, satu orangpun. Tapi, entah bagaimana, pertemuan pertama, tepatnya pertama kali Daniel melihat Rezka, itu membuat ia merasa harus kembali untuk membuka hati.

"Rezka" Ucap Daniel memanggil, setelah bel istirahat berbunyi dan langsung pergi ke kelas XII IPA 1.

"Iya?"

"Ikut gue yu" Ajak Daniel tanpa menunggu jawaban dari Rezka dengan menarik tangannya.

Rezka hanya diam, seperti budak yang dengan rela di ajak kemana saja oleh tuannya. Tapi tidak percis seperti itu, sebatas perumpamaan saja. Perasaannya semakin penasaran, saat langkahnya diajak pergi ke rooftop sekolah yang disana hanya ada desri angina yang samasekali tidak membisikan apapun, kosong tanpa ada seorangpun, hanya mereka bedua.

"Ada apa?" Tanya Rezka sesampainya mereka di atas rooftop sekolah.

Daniel menengok. "Engga, pengen aja kesini ajak lo"

Rezka hanya merespon dengan ekspresi seakan berkata "Oh".

"Semalem Mamah bilang apa aja?" Tanya Daniel tiba tiba.

Rezka menoleh. "Bilang apa? Maksudnya?"

"Gue tau mamah gue kaya gimana, dia bilang tentang masa lalu gue?" Tanya Daniel.

Rezka hanya menoleh dengan tatap yang meng iyakan.

"Lagian semua orang berhak punya masa lalu kan? Berhak buat bahagia di waktu tertentu dengan orang tertentu yang menurutnya baik saat itu" Ucap Rezka.

"Perihal sampai kapan mereka bahagia, itu keputusan mereka saat kenyataan mengkoyak keadaan untuk memaksa berpisah. Bisa atau engga mereka saling mempertahankan" Lanjut Rezka dengan tatap yang hanya menuju pada langit yang begitu biru, sembari duduk santai tanpa melirik sedikitpun kepada Daniel yang tepat duduk di sebelahnya.

Daniel menoleh mendengar pernyataan tadi, menatap Rezka yang masih dengan tatapannya yang tertuju pada langit.

"Artinya, gue berhak mencoba bukan?" Jawab Daniel.

"Ga harus jadi pengecut, yang terus menerus berhenti percaya pada nurani. Memlihara ketakutan atas sakitnya patah hati, udah seharusnya semua akan menjadi lebih bijak dan belajar lebih baik dari yang berlalu, menjadi lebih berhati hati dan siap untuk kembali patah hati salah satunya" Lanjut Daniel.

Rezka menoleh. "Aku gatau siapa yang pertama meninggalkan, tapi bukan bersiap untuk kembali patah hati. Bersiap untuk siap memegang keputusan atas apa yang akan dilakukan"

Rezka berdiri dari duduknya. "Dah ah, lapar aku." Ucap Rezka sembari langsung berjalan meninggalkan Daniel.

"Gue suka sama lo" Ucap Daniel saat Rezka tengah melangkah pergi dan membuat langkahnya berhenti.

"Itu keputusan gue, dan tau apa yang akan dilakukan kedepannya" Lanjut Daniel.

"Gaperlu terburu buru, semua perlu waktu bukan?" Jawab Rezka sembari menoleh menatap Daniel beberapa detik dan langsung meninggalkannya turun lebih dulu dari rooftop.

"Oke" Jawab Daniel, mengerti dari maksud pernyataan Rezka.

***

Luka adalah teman dekat dari bahagia yang salah satunya didasarkan oleh cinta. Tidak bisa untuk siapapun hanya memilih satu dari mereka untuk dijadikan teman. Tidak akan ada sekat untuk memisahkan, bahkan menggeser kedekatan antara luka dan bahagia. Daniel yang hampir lupa bagaimana caranya membuka hati, yang sempat berteman hanya dengan luka dan sunyi, kini tidak lagi. Ia memilih berhenti berkelana soalah tak ada lagi tempat untuk berpulang. Ia memutuskan, langkah awal adalah belajar, belajar untuk mengikhlaskan Rima serta tulus dalam mencintai Rezka. Sebab, sebagian luka yang bersinggah tidak mungkin bertemakan suka.

"Darimana lu?" tanya Rangga yang melihat Daniel baru saja bergabung duduk di bangku makan, di kantin sekolah.

Daniel tidak menjawab pertanyaan Rangga, ia hanya langsung duduk dan melihat sekitar.

"Ines mana?" tanya Daniel.

"Ke kelas duluan tadi" jawab Ajay.

"Jay?" tanya Rangga yang melihat Ajay tidak memesan apapun saat di kantin.

"Hah?"

"Lo ga beli apapun?"

"Ketinggalan duit gue" jawab Ajay.

"Pesen aja" ucap Rangga.

"Emang lo punya duit sat?"

"Liatin gue" ucap Rangga yang saat itu langsung berpindah tempat ke bangku yang di tempati beberapa siswi.

"Haii" ucap Rangga menyapa siswi siswi tersebut dan langsung duduk bergabung.

Semua siswi tersebut antusias menjawab sapaan Rangga, bahkan dari salahsatunya ada yang menyukai Rangga.

"Kalian mau nomor Daniel ga?" tanya Rangga dengan volume suara yang begitu pelan.

Sontak semuanya menjawab "Mau"

"Eit, tenang dulu. Tapi ada syaratnya." Ucap Rangga dengan tatap yang satu persatu dari siswi tersebut ia lirik.

"Ga ada yang gratis dong kalo zaman sekarang gini, apalagi Daniel, siapa si yang gamau sama dia kan" lanjut Rangga bermaksud menggoda siswi siswi tersebut.

"Gue tlaktir makan" ucap salah satu siswi.

"Iya, gue juga"

"Ah, pinter, bener ya?" tanya Rangga meyakinkan.

"Iya, mana nomornya dulu."

"Bentar" jawab Rangga.

"Lo engga mau?" tanya Rangga terhadap salah satu siswi yang saat itu tidak tertarik dengan tawarannya.

"Engga, makasih"

"Dia maunya nomor lo Rangga" Ucap teman siswi tersebut.

"Nanti deh itumah, di belakang"

Setelah Rangga bertransaksi dengan siswi siswi tadi, ia kembali ke bangku makannya sebentar dan menanyakan apa yang mau Ajay pesan, lalu memintanya untuk menunggu sebentar, sebab makanan akan segera datang setelah ia menyampaikan pesanannya terhadap siswi siswi tadi untuk meminta tolong diambilkan serta dibayarkan pesanannya.

"Naaah" ucap Rangga setelah pesanan datang.

"Makasih Ranggaaaa" ucap salahsatu siswi terlihat begitu bahagia.

"Sama sama"

"Bangsat emang temen gue satu ini, malah dia yang bilang makasih lagi."

"Makasih sat" ucap Ajay.

"Jangan ke gue, nih ke orang ini" jawab Rangga sembari menunjuk Daniel yang sedari tadi hanya fokus menyantap makanan yang telah ia pesan sebelumnya.

Daniel menoleh. "Ko gue?"

"Gue jual nomor lo" jawab Rangga nampak tak berdosa sama sekali.

"Ah anjiiing, engga lo, engga Ines, kejamnya ga ada dua"

"Kan yang penting guemah ke cewe, ga kaya si Ines ngasihnya ke cowo" jawab Rangga dengan disusul tertawa.

Bel istirahat pada akhirnya membubarkan keramaian kantin, setiap siswa dan siswi yang mendengar dering bel langsung beranjak pergi ke kelasnya masing masing. Begitupun dengan Daniel, Rangga, dan Ajay.

***

"Nes?" panggil Daniel saat pembelajaran jam terakhir berlangsung.

Ines menoleh.

"Nanti gue mau ajak lo jalan jalan" ucap Daniel dengan di susul oleh senyuman menggodanya.

Ines langsung tersenyum "Bener ya?"

"Iya"

"Ga nganter Rezka pulang lo?" tanya Ines, karena untuk beberapa hari kebelakang saat ini, Daniel tidak bareng Ines.

"Engga, takut lo kangen gue soalnya" ucap Daniel dengan menggoda.

"Dih" jawab Ines dengan ekspresi jijik nya.

"Tapi iya, dikit" lanjut Ines dengan ekspresi malu malu.

Daniel hanya membalas dengan senyuman, lalu kembali fokus pada pelajaran. Sebab, Ibu guru saat itu terlihat mulai melirik curiga karena ada percakapan di tengah berlangsungnya pembelajaran. Hingga tidak terasa, jam pembelajaran telah selesai, Daniel mengajak Ines pergi ke tempat yang sudah lama mereka tidak kunjungi, tempat favorit mereka di masa kecil.

Senja saat itu tengah menemani waktu peristirahatan mereka yang duduk menatap alam di atas bukit yang tidak terlalu tinggi, namun mampu menyuguhkan panorama yang cukup menyejukan mata. Ines mulai terlarut di bawah sapaan temaram yang mulai genit, di tambah dengan adanya semburat jingga yang gemulai menari syahdu tepat di ujung barat sana menggodanya, memanjakan pandangan dan jiwa.

"Nih" ucap Daniel menunjukan sesuatu di tangannya saat Ines tengah asik menikmati keadaan alam.

"Aaaaa, makasiiih" respon Ines bahagia yang melihat sahabatnnya membawakan es krim kesukaannya.

"Pejemin mata lo deh" ucap Ines terhadap Daniel.

Daniel mengikuti apa yang Ines ucapkan, matanya ia pejamkan sembari menikmati indahnya udara sore hari saa itu. Ines yang menatap Daniel tengah memejamkan matanya, perlahan ia mendekatkan bibirnya ke bagian antara pipi dan telinga.

"Nanti gue bikinin kopi abis pulang ini di rumah, mau?" ucap Ines setelah bibirnya tepat ada didekat telinga.

Daniel membuka matanya. "Mau" jawabnya cepat.

Serangkaian kisah telah banyak mereka lewati, banyak alasan untuk keduanya untuk tidak saling meninggalkan dalam persahabatannya. Dunia ini bergejolak, setiap isinya masing masing saling memuntahkan ceritanya. Tidak perduli satu sama lain, sebab memiliki seseorang yang mau mendengarkan satu kisah dalam hidup adalah hal yang sulit untuk saat ini, sebab semua orang terlalu sibuk untuk mengajak egonya berperang menunjukan siapa yang lebih hebat. Tapi, tidak dengan mereka. Sejak perkenalan awal di masa kecil kala itu, telinga dari masing masing mampu menjadi pendengar yang baik, menjadi rekaman setiap kisah suka maupun duka yang bahkan terkadang dapat saling memberikan solusi.

"Yaudah pulang sekarang yu" ucap Daniel yang melihat cahaya sore hari yang sudah mulai menuju malam.

Ines langsung berdiri dari duduknya yang tenang menikmati senja.

"Jangan lupa buatin kopi nanti" ucap Daniel mengingatkan sembari berjalan menuju motor.

"Iyaaaa"

Setelah jam menunjukan 5:30 mereka akhirnya beranjak pergi dari tempat itu, tempat yang dulu sering mereka kunjungi sembari bersepeda saat masing masing merasa bosan dan jenuh hanya berdiam diri saja di rumah.