Chereads / Maaf, Aku Mencintainya / Chapter 30 - Tawa untuk Menyembunyikan Lara

Chapter 30 - Tawa untuk Menyembunyikan Lara

Hari itu, Tania seolah kehilangan jati dirinya. Dia duduk di bangku paling depan sendirian tanpa teman, tanpa teriakan tidak jelas, tanpa mengusili temannya.

Saat itu ketika bel pulang berbunyi, Tania segera mempercepat langkahnya untuk keluar kelas. Dia meminta Kak Doni untuk menjemput nya lebih awal, dan jangan sampai terlambat.

Hari itu ia ingin segera pergi meninggalkan sekolah. Tempat yang biasanya menjadi tempat favoritnya, kali ini menjadi tempat yang ingin dihindari.

"Rambutan! Tunggu!" Terdengar suara Belva yang sepertinya mengikuti jejak kaki Tania yang saat itu lebih cepat dari biasanya.

"Apa kak?" Tania menjawab tanpa menoleh. Kali ini tanpa wajah ceria dan tanpa antusias.

"Aku antar pulang."

"Aku sudah di jemput Kak Doni."

"Mama bilang, kamu ikut aku aja. Karena Mama aku dan mama kamu sedang bertemu sekarang. Nanti Kak Doni diminta pulang aja nggak papa."

Tania terus berjalan tanpa menoleh. Lalu Belva langsung menahan tangan Tania, Tania pun langsung menghentikan langkahnya. Silva segera melangkahkan kakinya ke depan Tania. Ditatapnya muka Tania yang saat itu sedang tertunduk.

"Kamu kenapa sih? Enggak usah sok jutek. Pulang sama aku. Ini bukan permintaanku, tapi permintaan mama. Jangan sok dibutuhkan gitu deh."

"Bukannya Kak Belva akan pulang sama Cantika."

"Cantika sudah dijemput sama sopir. Jadi pulang lah bersamaku," tegas Belva.

"Kalian akan pulang bersama lagi?"

Ternyata ada Cantika yang sedang memperhatikan mereka sejak beberapa menit yang lalu. Mereka berdua langsung menoleh ke arah Cantika.

"Can?" Belva terlihat kaget.

"Pacar Kak Belva itu aku. Tapi entah mengapa aku merasa ini hanya sebuah status aja. Statusku memang pacar Kak Belva, tetapi yang sering menghabiskan waktu bersama kak Belva bukan Aku, tapi Tania. Lalu apa arti status itu, Kak? Kalau pada akhirnya yang tanpa status lah yang lebih sering bersama. Kalau di izinkan untuk memilih, aku lebih memilih menjadi sahabat Kak Belva asal aku bisa sering bersama Kakak. Bukan seperti ini. Lalu apa gunanya status ini kalau memang tidak ada bedanya? Status itu hanya bullshit, enggak ada gunanya."

Air mata Cantika menetes ke pipinya yang mulus dan tirus. Dia tidak bisa menahan perasaannya lagi. Tentu saja hatinya terasa sakit, kalau kekasihnya lebih banyak menghabiskan waktu dengan orang lain dibandingkan dengan dirinya. Dan sialnya, orang lain itu adalah sahabatnya sendiri.

"Can, maafkan Aku. Aku tidak maksud seperti itu. Mama kita hanya ingin bertemu, itu saja." Belva berusaha menenangkan Cantika.

"Bahkan Mama kalian sudah saling bertemu? Bagaimana bisa aku tidak iri dengan kamu, Tania? Kamu memang tidak lebih cantik dan tidak lebih pintar dariku, tapi sepertinya kamu lebih pandai mengambil hati kak Belva dan mengambil hati mamanya." Air mata mengucur ke pipi Cantika semakin deras.

"Can, bukan begitu. Aku_"

"Sejak pertama aku sudah tahu kalau kamu menyukai Kak Belva. Dan aku harap itu hanya sebuah kekaguman semata, dan aku sudah cukup percaya diri bahwa Kak Belva tidak akan pernah melirik kamu sedikitpun. Tapi ternyata aku salah, dugaanku meleset 180°. Ternyata kamu berhasil menguasai dia, kamu berhasil menguasai hatinya."

"Ih, ini apa sih pada melankolis dan berprasangka buruk tidak jelas seperti ini. Lagian aku dengan kak Belva tidak ada apa-apa. Kalaupun kami sering bersama, memang ada sesuatu yang harus kita kerjakan. Can, sudahlah, jangan berlebihan seperti itu. Lagi pula aku menyukai orang lain, orang lain yang lebih ramah, yang lebih menghargai kekurangan dan kelebihanku, dan itu bukan Kak Belva. Jadi kamu jangan berlebihan." Tania menepuk pundak Cantika, lalu dia segera berbalik pergi meninggalkan Cantika dan Belva yang terdiam.

'benarkah kamu menyukai orang lain, Tania?' Belva menatap kepergian Tania dengan hati tak tenang.

***

"Eh, kamu nggak jadi di antar Belva?" Kata kak Doni yang saat itu akan beranjak pergi.

"Kenapa diantar Belva?"

"Kata mama aku disuruh kembali ke kampus aja. Kamu akan diantar Belva, Mama sama mamanya Belva akan bertemu katanya."

"Aku kangen dibonceng naik motornya Kak Doni." Tania segera mengambil helm dari tangan kakaknya, lalu segera memakainya tanpa menggubris ucapan Doni sebelumnya.

"Kamu kenapa? Kamu habis nangis? Siapa yang menyakitimu, Dek?" Belva langsung panik saat melihat mata adiknya memerah dan berkaca-kaca.

"Enggak ada yang menyakitiku, Kak. Nggak ada yang bisa menyakitiku, kecuali aku memang mengizinkannya. Jadi Kak Doni Jangan khawatir."

"Ish, seperti orang dewasa aja. Ayo naik!"

Tania mengangguk lalu segera naik ke atas motor Doni yang sudah beberapa hari tidak Dia naiki. Ya, beberapa hari dia terlena naik motor keren milik orang keren.

"Kak, mampir makan bakso dulu ya?"

"Kebiasaan. Makan nasi aja di rumah. Sudah Kakak bilang berkali-kali jangan banyak makan bakso."

"Lagi pengen makan bakso yang pedas, Kak. Ayo lah!"

"Ya udah, demi adik kakak yang tercantik ini, apa sih yang nggak," ucap Doni lalu dia segera melajukan motornya menuju ke ke kedai bakso wadidaw, bakso favorit Tania.

"Mbak, bakso 3 ya?" Pesan Tania ketika dia baru sampai.

"Siap mbak, silakan duduk!" ucap Mbak pelayan dengan ramah, lalu mereka segera mencari salah satu bangku kosong.

"Kak, sebenarnya aku ingin berbicara penting sama Kak Belva."

"Apa?"

"Kemarin aku bertemu papa. Sepertinya kecurigaan kita benar. Papa memang punya wanita lain. aku bertemu dengannya dengan seorang wanita cantik yang jauh lebih muda dari mama. Aku ingin memarahi papa saat itu, tapi ... Papa lebih dulu menamparku." Tania menunduk. Air matanya kembali ingin luruh ketika dia mengingat kejadian kemarin.

"Papa menamparmu?" Kak Doni langsung melotot, matanya langsung merah dan urat-uratnya langsung terlihat menegang.

"Saat itu aku diminta mamanya Kak Belva untuk membeli testpack. Papa mengira itu tespek buat aku. Papa langsung memarahiku dan menamparku di depan umum. Rasanya sakit sekali, Kak. Bahkan jauh lebih sakit dari sakit gigi yang sering aku alami." Tania mulai meneteskan air mata. Ya, papa adalah luka. Itulah menurut Tania, di mana dia mengingat papanya, Maka di situ akan ada air mata.

"Papa tidak mendengarkanmu?"

"Apakah papa pernah mendengarkanku? Papa sama sekali tidak pernah mendengarkanku, Kak. Aku bukan anak kesayangan papa dan aku bukan anak kebanggaan papa. Aku tidak pintar seperti Kak Belva. Aku tidak jago matematika, dan aku juga tidak jago fisika dan lainnya. Tidak ada yang bisa papa banggakan dariku. Jadi tidak ada alasan papa untuk mendengarkan alasanku." Tania terisak.

Dia yang selama ini selalu ceria berusaha mencari kebahagiaannya sendiri. Tania menyimpan segudang rasa sakit yang coba Ia sembunyikan di balik cerianya dan di balik senyumannya.

Tidak ada yang bisa mengerti ini, kecuali mereka yang memiliki kekurangan yang sama.

"Kenapa aku harus beda sama Kak Doni? Kenapa aku tidak pintar seperti Kak Doni sehingga selalu dipercaya oleh papa? Kenapa?" Air mata mengalir ke pipi Tania. Dia tidak peduli meskipun berpasang-pasang mata sedang menatapnya saat itu.