"Sialan! Baru juga nyampe, udah di suruh bebaris aja. Nggak punya hati emang," gerutu Arka sembari kedua kaki kebas nya yang dihentak-hentakkan.
Dengan malas, langkahnya mengikuti kerumunan yang lain untuk berkumpul di satu titik yang di tentukan oleh panitia osis. Setelah melemparkan tas ranselnya yang begitu berat ke tanah berumput layu karena musim kemarau itu.
Brian yang sebenarnya jauh lebih letih karena sepanjang perjalanan menumpu berat badan Arka. Hanya bisa mencibir aksi kawannya yang begitu manja. "Ya kalo capek, pura-pura pingsan lagi aja."
"Bri, gue mohon... Banget! Jangan ngerusuhin gue dulu, ya." Melas Arka yang sampai menakup kedua telapak tangannya di depan dada.
"Bilang aja mau senderan."
Meski begitu Arka tak ingin menggubris Brian, mengambil posisi berbaris di belakang kawannya itu, lagi-lagi menumpu kepalanya di punggung lebar milik Brian. Ya, memang akan selalu begitu posisi mereka. Arka yang jelas selalu di untungkan, sementara Brian yang hanya bisa bisa pasrah ditertawakan oleh Zaki dan Yuda yang ada di barisan lain.
"Dek-dek! Baris yang tegap, hormati pembicara yang ada di depan!"
"Kakak mau saya pingsan? Ye... Masih bagus saja bersedia berdiri dan memenuhi barisan dari regu saya."
Begitulah Arka, beberapa kali mendapatkan teguran dari panitia osis, namun remaja yang nampak berdiri lunglai itu masih bebal untuk mengulanginya. Terlebih lagi berucap tak sopan pada mereka yang jelas berusia di atasnya. Satu per satu dari mereka jengah, terlebih Melisa yang begitu geram ingin menjitak kepala adiknya yang rese.
Jelas tak merasakan capai yang berarti, setelah barisan di bubarkan nyatanya Arka masih saja bergelayut di lengan Brian yang hanya bisa menggerutu. "Awas aja kalo gue kayak gini lo larang!"
Membentuk kerumunan kecil yang mana merupakan satu regu.
"Kita atur tugas. Siapa yang bangun tenda, dan siapa yang bakalan masak buat makan siang." Seorang pria yang di mandat menjadi pemimpin bicara, lekas di sahut Arka yang mengangkat lengan kanannya. Dengan cara kekanak-kanakan, bahkan sampai berjingkrak-jingkrak berusaha terlihat alih-alih terlalu menarik intens pandang terlalu luas.
"Gue, gue! Gue sama Brian aja yang masak!" Acung Arka dengan kepercayadiriannya menepuk dada.
"Ok, berarti yang lainnya ikut gue."
Kesembilan orang itu pun mengikuti perintah sang ketua, meninggalkan Arka dan Brian.
"Trus, siapa yang bakalan benerin nih, kompor?" tanya Brian sembari menunjuk kompor portabel.
Sementara Arka malah dengan santainya menekuk kaki dan berjongkok menyamankan diri. Seolah orang paling memelas di antara ratusan orang, kedua lengannya bahkan menopang dagu dengan kelopak mata hampir terpejam. "Ya lo, lah!" Namun suaranya yang masih sanggup untuk menyalak.
"Ar, gue nggak bisa masang ginian," kesal Brian saat mulai menyadari jika Arka hanya ingin mencuri kesempatan saja untuk bisa malas-malasan.
"Ishh... Nggak guna banget sih, lo!"
"Bangsat emang. Lo sendiri guna, nggak?"
"Ya, trus gimana?"
"Tukeran tugas aja ama yang lainnya."
Arka pun melotot. "Nggak, ah!" Pikirnya tak bisa beristirahat lagi sebelum aksi penggemblengan di lanjutkan.
"Bebal banget nih orang!"
Brian yang rupanya mulai merasa geram karena keegoisan kawannya itu, lantas bergerak cepat memiting kepala Arka sembari menggetok tempurung kepalanya. Sementara Arka yang hanya bisa bergelayut di kaki Brian yang mulai brutal.
"Bri... Lepas nggak! Bisa pingsan beneran gue nyium ketek lo."
"Sukurin, biar tau rasa, lo!"
Arka yang jelas tak terima dengan aksi anarkis Brian, segera saja mengerahkan tenaganya untuk bisa menyeimbangi Brian.
Akal cerdik Arka, langsung saja membalikkan keadaan. Membuat Brian tersungkur jatuh saat dirinya menarik satu tumpuan kaki milik kawannya itu.
"Aduh!" Pekik Brian saat Arka yang dengan tanpa perasaan menimpa tubuhnya dengan hantaman keras. Benar-benar layaknya bocah, tak berapa lama mereka bahkan saling menjambak dengan tubuh berguling-guling berebut posisi kuat.
"Eh, ada yang berantem, tuh! Pisahin-pisahin!"
"Wesstt! Berani gila, berantem di acara kayak gini."
"Pengen cari sensasi, caper tuh!"
Berbagai tanggapan saat melihat Arka dan Brian adu engkol. Tatapan cemas para wanita saat mendapati dua pria incaran mereka tengah berseteru. Sementara pandangan sinis tak terlewat dari kubu pria lain yang rupanya di dahului niatan untuk bisa menyita perhatian.
Yuda dan Zaki yang baru menyadari jika akar keributan dari kedua kawan mereka, lagi-lagi menepuk dahi dengan kompak menghampiri keduanya.
Namun laju Yuda dan Zaki seketika saja terhenti, tumpuan kaki mereka sampai menyeret dan meninggalkan bekas selip memanjang di tanah gersang itu, menerbangkan kumpalan debu, menyumbang hasil usikan kaki Brian dan Arka.
Seseorang lebih dahulu sampai dan memecah lingkaran penonton. Seorang pria dengan tubuh tegap dengan tatapan tajam yang seperti bisa mematikan Brian dan juga Arka yang tak tahu aturan. "Gawat!" Yuda dan Zaki memekik cemas. Terlebih saat dengan memalukannya, Arka menggigit bawah dagu Brian yang masih bebal untuk mengungkung seorang berjiwa buas.
"Akhhh!"
"Ada apa, nih?" Demi apa pun, dia adalah Nino- kakak Brian, dan merupakan bagian dari pengawas.
Dan dengan bodohnya, Arka malah mengumpati. "Bangsat, kaget gue!"
Arka yang masih berusaha menggulingkan Brian yang mengungkungnya, tanpa bisa mencegah pekikan terkejutnya saat tiba-tiba saja sebuah bayangan hadir dari sisi berlawanan dengan Brian yang masih mengungkungnya.
Sementara Brian yang mendongakkan pandangannya, lantas bertemu pandang dengan sang kakak yang berwajah kaku dengan lengan terlipat di dada seolah sudah siap menghakimi.
"Bang?" Lirih Brian dengan suara bergetar, nyalinya benar-benar menyusut.
Menarik lengan Arka yang sedetik lalu menjadi rivalnya. Berdiri berjajar dengan kompak menundukkan kepala, jemari memilin dengan rasa penuh penyesalan.
Yuda dan Zaki pun memutar tubuh, berniat menghindar dari kedua kawan mereka yang acap kali mencoreng citra garang geng mereka.
"Ada masalah?" tanya Nino yang mulai mengintrogasi.
"Eh, nggak kok! Kita cuma bercanda aja, bang!" balas Brian sembari menyikut lengan Arka untuk mencari dukungan atas alasannya. Namun rupanya kawannya itu lebih membuatnya mendengus kesal. Dengan wajah yang tiba-tiba saja berubah sumringah, di kombinasikan dengan rasa tak sangka yang membuat kawannya itu menganga begitu lebar.
Lamat-lamat Brian mengamati, lantas bantu mengibas serangga yang hampir saja memasuki mulut Arka. Namun masih tak sedikit pun berkutik, tiba-tiba saja Brian merasa khawatir kalau-kalau saja Arka tersambar dedemit.
"Bercanda? Memang ada waktunya? Kalian bahkan belum nyiapin makanan buat yang lain," ucap Nino tak habis pikir dengan Brian.
"Heheh.... Nggak bisa masang kompor nya, bang," ringis Brian sembari membagi perhatiannya. Lengannya terangkat, masih coba menyadarkan Arka dengan bagian jempol tangan yang di tekan kuat. Raut Brian bahkan sampai ikut menegang dengan gigi bergemelutuk mengumpulkan tenaga.
"Akhh! Sakit, Bri!"
Plakk
Sentak Arka saat merasakan ngilu di bagian kuku jempolnya. Lengannya yang kemudian di tarik, kemudian tanpa ampun melayangkan pukulan di belakang kepala Brian yang begitu lancang memutus khayalan indahnya.
"Si....-" Brian hendak mengumpati Arka, namun masalah pastinya akan lebih panjang lagi jika mengusik waktu kakaknya- Nino terlalu lama.
Terlebih saat pria yang satu tahun lebih tua dari Brian itu menundukkan tubuh, dengan cekatan mengeluarkan sebuah kompor kecil yang masih ada dalam kardus pembungkusnya.
Tanpa di minta, bantu memasangkan kompor portabel yang sebenarnya sangat sepele. Namun jelas saja di anggap berlebihan oleh Arka yang lagi-lagi nampak bersemu merah. Senyum lebarnya terukir, sementara dua lengannya yang tertakup di bawah dagu dengan tubuh yang tak berhenti bergerak, kanan kiri.
Sebagai kawan, Brian benar-benar sangat malu mengakui Arka sebagai bagian darinya. Dengan tampilan kumalnya yang begitu tak pantas akibat pergulatan mereka sesaat lalu, Arka masih saja menampilkan gesture ketertarikannya pada orang lain.
Brian benar-benar gemas, sampai-sampai lengannya bergerak otomatis untuk mengibas bagian kotor di seragam Arka. Mengacak rambut yang sampai mengepulkan debu, serta menarik daun kering yang bisa-bisanya mencuat ke sela rambat kawannya itu. Setidaknya tak membuat Nino semakin mengernyitkan dahi karena keanehan Arka.
Sungguh, itu sudah bagian dari bantuan Brian untuk mendukung kawannya mendapatkan Nino- kakaknya.
"Lain kali, cari tugas yang bisa kalian kerjakan. Kalau gini kan kasihan yang lainnya. Biasakan kerja cepat dan efektif." Nino selesai dengan bantuannya, kembali berhadapan dengan dua siswa yang membuat kegaduhan sesaat lalu. Menepuk telapak tangannya, sedikit mengibaskan seolah menghilangkan debu yang menempel. Atau dalam artian tersembunyinya, Nino coba mengolok Arka dan Brian yang tak bisa mengatasi masalah yang sangat sepele?
Satu sudut bibir Nino yang terangkat sebelum pergi, membuat Brian lagi-lagi merasa bagai langit dengan bumi jika di hadapkan pada kakaknya itu.
"Kicep lo!" Brian sembari meraup wajah Arka yang begitu menggelikan dengan ekspresi pemujaannya. Manik mata penuh binar itu bahkan tak berhenti mengikuti arah kepergian Nino yang mendatangi kawan-kawannya.
Sampai akhirnya Brian yang angkat tangan karena di tatap Arka dengan mimik wajah yang sedikit pun tak berubah.
Arka memang tengah tersambar, namun bukan arwah tak kasar mata yang menyerang jiwanya, melainkan sesuatu yang tak kasar mata dan membawa aura merah muda ke sekeliling remaja itu. Arka benar-benar mengidamkan prianya.
"Bri, apa yang abang lo nggak bisa lakuin?"
"Apa?"
"Sumpah, kayaknya gue tambah tergila-gila, deh! Bang Nino sempurna banget jadi orang..." Arka yang benar-benar tak tahu malu. Seolah tak mempedulikan banyak pasang mata yang memandangnya, remaja mungil dengan seragam berantakannya itu malah berjingkrak-jingkrak kegirangan.
Brian yang sampai menutup wajahnya karena malu akan kelakuan kawannya, lantas mendorong jauh kepala Arka yang coba menyusup ke dalam dekapannya. "Sinting nih, orang. Jauh-jauh dari gue sana!"