"Ar, seragam punya gue kayaknya dah kusut banget dah, pinjam punya lo dong!"
"Hmm."
"Kaos kaki juga dah kecut nih!"
"Hmm..."
"Woh! Kayaknya nih jam tangan baru liat. Gue pakek sekalian, bisa kali, ya?"
Arka menghentikan gerakan tangannya, celana abu-abunya baru naik pertengahan lutut. Mengangkat pandang, lantas menatap nyalang pada Brian yang nampak masih belum puas dengan barang jarahannya.
"Woi, bangsat! Jangan pakek tanya segala, biasanya juga enteng banget tuh tangan ngutil barang punya gue."
"Hehe... Kan kita bestie banget. Barang punya lo juga udah gue anggep punya gue sendiri, kan?"
"Trus, untungnya buat gue apa, anjr?"
"Punya kawan sekeren gue, lah!"
Dan pagi itu sama seperti sebelumnya. Arka yang memompa terlalu banyak udara ke dalam rongga tubuhnya, dan menghembuskannya sampai habis tak tersisa. Bantuan suhu dingin pagi hari di tambah ac yang di putar rendah masih tak bisa menstabilkan panas tubuh yang mulai tersulut emosi.
Brian yang selalu melakukan caranya sesuka hati, sementara ia yang tak bisa berkutik untuk sekedar menolak. Mau bagaimana lagi, memberikan pelajaran atau pun omelan panjang lebar sama sekali tak ada gunanya, Brian masih saja bisa menampakkan cengiran dengan otak yang sudah di tebaknya bercocol rencana tak tau diri untuk mengusilinya.
"Bangsat!"
Seperti saat mereka beriringan keluar kamar saat ini. Arka di buat berjengkit dengan umpatan kasar akibat tangan kelewat usil yang tiba-tiba saja bertengger di pantatnya dan memberikan remasan kasar. Tak akan menjadi masalah terlalu buruk jika jemari panjang kawan bangsatnya itu tak terlewat meleset dan hampir masuk ke dalam sela bokong miliknya.
Jelas Arka di buat makin berang karena pelecehan di pagi hari itu. Kaki terkuatnya secara spontan terangkat dan siap melayangkan tendangan brutal titisan tsubasa, kalau saja Brian tak lebih dulu mengelak dan berani mencekal pergelangan tangannya.
"Padahal selama tiga tahun gue hampir hidup 24 jam sama lo, kenapa gue nggak pernah mergokin lo ngolah tuh pantat semok ya, Ar?"
... Ah ya, gue tau! Apa itu alasan lo lama di kamar mandi." Brian mengangkat tangan bebasnya ke udara, sembari menggerakkan jemarinya selayaknya gerakan meremas, juga dengan muka cabul?
.... Barang kali butuh bantuan? Kita atur jadwal pertemuan pertama?"
"Hua!" Arka menepis tangan Brian, lantas mengacungkan jari tengahnya pada kawannya yang buru-buru melarikan diri. "Bangsat! Tuh mulut yang pantes di remes! Sini, lo!"
"Akhh! Ampun, Ar!"
Dugh dugh dugh
Arka dan Brian pun membuat keributan, suara hentakan kaki keduanya bahkan sampai mengejutkan mereka yang ada di lantai bawah.
Sayangnya saja Arka tak bisa menerkam Brian dari belakang dan membuat pria itu menjerit minta ampun untuk di lepaskan. Brian yang sudah lebih dulu menuruni anak tangga dan bergaya seperti tamu penuh sopan santun yang menyalami tuan rumah. "Pagi semua, Hufh-hufh-hufh..."
Jelas saja dengan senyum lebar lima jari meski pun setengah mati Brian berusaha menormalkan pernapasannya. Sementara Arka yang sudah membanting tubuhnya, duduk di samping Mika yang hanya melongo tak mengerti. Abaikan Melisa dengan wajah penuh dendam kesumat.
Reyhan- sang kepala keluarga pun menyilahkan Brian untuk duduk di kursi tambahan yang menjadi bagian tetap untuk posisinya.
"Pagi, nak Brian. Gimana tidurnya? Arka nggak nakal lagi, kan?" Sementara sang nyonya rumah- Meta, malah mempertanyakan hal yang seperti menyudutkan Arka.
Hei, memang apa salahnya jika Arka yang semalam tak menerima alasan pertemanan untuk sekedar berbaik hati mengundang Brian masuk seperti biasanya? Mengabaikan Brian yang setengah terlelap sampai dini hari dengan kuku mengerat di dahan pintu, rencananya membuat pria itu kapok dan lekas mengundurkan diri, bukannya malah menunggu hatinya luluh dan membukakan pintu.
Tapi sudah terlanjur membuat kedua orang tua Arka berpikiran buruk tentang anaknya sendiri, kan? Ya, tidak tau saja siapa yang lebih di curangi.
"Heheh... Nggak om, Arka udah sadar kesalahannya karena usilin saya semalam."
Sungguh, apakah Arka benar-benar harus mempertimbangkan persahabatan mereka?
.
.
.
"Pak Anton ninggalin tugas, nih!" Seorang pria berperawakan tinggi dengan tampilan rapi memasuki kelas, buku paket yang ditunjukkannya, lantas di letakkan di meja guru yang masih kosong tak berpenghuni. Masih ingat Fahmi, kan? Pria yang selalu ke bagian sial karena mendapati interaksi tak normal dari dua orang sejenis.
Persis seperti saat pandangannya menyusur otomatis ke sudut ruangan, dimana Brian yang nampak mendekap Arka terlalu erat. Dari pandangannya sekarang, Arka bahkan sudah naik ke atas pangkuan Brian. Hampir saja mata Fahmi menggelinding jatuh karena saking terbelalaknya, mereka sudah terlalu mesra!
"Lah, baru juga mulai pembelajaran." Seorang wanita menanggapi.
"Ye... Napa lemes amat, harusnya seneng, dong. Kita bisa sante-sante di kelas." Sementara dari kubu pria yang sudah beranjak dari bangku mereka, bersiap membuat kegaduhan.
Kalau saja Fahmi yang lebih dulu tak mengintrupsi. "Kita di suruh nyusun perangkat kelas."
"Ya elah, lo aja deh yang jadi ketuanya."
"Boleh aja. Tapi wakil, sekretaris, bendahara, sama seksi-seksi lainnya gimana?"
Semua siswa kompak mengangkat bahu, nyatanya memang mereka berlomba-lomba untuk menjadi golongan bebas, tanpa beban.
Lain halnya dengan Brian yang menjentikkan jari dengan ide cemerlang seperti tergambar di mimik wajah cerahnya.
Lekas putar arah, menggoyang tubuh Arka yang menyingkurinya dengan hawa kelam. Tapi dengan sepelenya hanya di kibas tuntas oleh Brian yang tak tahu diri.
"Eh, ar!"
"Mau gue tonjok lagi, lo?" sengal Arka dengan suara geraman di akhirnya. Walau pun sedikit membuat Brian tersentak, tapi tak menghilangkan niatannya kembali membujuk Arka untuk masuk ke dalam rencana liciknya.
"Jadi pemimpin, Ar."
"Gue nggak minat. Jadi nggak usah repot-repot nanyain gue."
Krieet
Arka menarik kursinya menjadi semakin menempel ke tembok, menjauh dari Brian setelah menyentak lengan pria yang membebani punggungnya.
"Yakin? Tapi bang Nino itu ketua kelas, loh!"
Dengan malas, Arka pun mengangkat tubuh meringkuknya di atas meja.
"Ya trus? Apa hubungannya, njir?"
"Setidaknya rapat antar kelas, kegiatan yang sok sibuk semacam itu juga bisa lo manfaatin, kan?"
Tiba-tiba saja Arka berpikir, peluang pertemuannya dengan pacar incarannya itu memang begitu singkat dan kurang berkesan tanpa adanya interaksi. Tempat parkir yang kini menjadi tempat favoritnya untuk menyambut kehadiran Nino yang menunggangi kendaraannya dengan begitu gagah, bahkan mendapatkan pesaing lain dari para gadis yang memekik dengan penuh puja. Dirinya tertutupi, jelas tak akan terbesit sekali pun di pandangan Nino. Apakah saat ini waktunya Arka membuat perubahan? Setidaknya berulang kali gagal mendepak Brian dari lingkup pertemanannya, ia tak mungkin mengabaikan usaha lain untuk menarik seseorang ke dalam hidupnya, kan?
"Gue-gue! Gue mau jadi ketua kelas!"