Bruuuk...
Suara sesuatu terjatuh membuat seluruh manusia yang berada di sana tersentak kaget. Secara otomatis pembicaraan serta suara tawa kebahagiaan hilang begitu saja, digantikan oleh suasana hening yang melingkupi selama beberapa detik.
Masing-masing dari mereka menoleh ke asal suara, melihat ke arah seseorang yang sedari tadi mereka lupakan.
"Gina!" Lengkingan dari teriakan sang Mama berhasil membuat ketiga remaja di hadapannya berdiri dengan panik. Gian maupun Gino berlari ke arah Gina yang tergeletak tidak sadarkan diri di atas lantai yang dingin.
Gian yang memang paling dekat dengan Gina, berniat mengangkat tubuh adik kembarnya tersebut agar segera dibaringkan ke dalam. Akan tetapi, secara tiba-tiba pergerakannya terhenti. Tubuhnya seakan mati rasa dan tidak bisa digerakan.
Oksigen secara kuat ia hirup untuk mengisi paru-parunya. Hatinya mencelus begitu saja, tidak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini.
"Kak Gian, awas!" Rasa panik yang menyelimuti serta amarah muncul ketika melihat Gian hanya terdiam di samping tubuh adik mereka, membuat Gino mengambil alih pekerjaan yang seharusnya Gian lakukan dengan cepat.
Ia membopong tubuh Gina dan segera berlari menuju ke dalam rumah diikuti oleh sang Mama di belakang. Meninggalkan Gian dengan kekasihnya di tempat tersebut.
Di sisi lain, Viona sendiri ikut merasa panik saat ini. Nafasnya memburu melihat keadaan Gina yang seperti itu. Dengan kening yang sedikit berkerut ia berfikir keras,
Ada apa dengan gadis itu?
Baru saja beberapa menit ia mengenalkan diri dan bertukar tawa dengan keluarga kekasihnya, tapi lihat sekarang ,dengan cepatnya suasana berubah seratus delapan puluh derajat.
Viona merasa bahwa Gina tidak seperti apa yang ia lihat tempo lalu.
"Papa ... " Gumaman lirih itu sontak membuat fikiran Viona terpecah, hampir saja ia melupakan bahwa ada satu orang lagi selain dirinya di sini. Ia mendekat ke arah Gian saat mendengar nafas laki-laki itu memburu dengan tangan bergetar menggenggam sesuatu.
"Kak Gian?" panggil Viona pelan. Dengan ragu, tangannya hendak menyentuh bahu Gian yang tersentak setelah dirinya memanggil kembaran kekasihnya itu.
Gian secara buru-buru menghapus air mata yang entah sejak kapan mengalir deras di pipinya. Ia segera berdiri dan memasukkan barang yang ia genggam ke dalam jas hitamnya.
Senyum paksa penuh penyesalan serta permintaan maaf Gian lemparkan ke arah Viona. Tidak seharusnya orang 'asing' seperti Viona diperlakukan seperti ini saat diundang ke acara makan malam.
"Maaf," ucap Gian singkat. Setelah mengucapkan permintaan maaf entah untuk alasan apa, Gian segera berlari menyusul mereka yang sedang menangani Gina. Meninggalkan Viona yang terdiam mematung sembari manatap kepergian Gian dengan tatapan kosong.
Ada apa dengan gadis itu? Pertanyaan itu terus saja terputar di kepala mungilnya. Membuat Viona menghela nafas, saat hendak duduk kembali di kursi beserta belasan makanan enak di depannya, ia kembali dikejutkan dengan suara Gian yang memanggilnya.
"Maaf untuk semuanya, tapi lu nggak berniat buat terus ada di situ, kan?" Viona menggeleng, Ia segera melangkah mengikuti Gian yang sudah kembali menuruni tangga menuju ke dalam. Ia sendiri sedikit terkejut saat Gian menggunakan kata-kata non-formal kepada dirinya.
Di tengah perjalanan yang Viona sendiri tidak tahu mau kemana, ia berfikir. Tatapannya lekat ke arah bahu lebar Gian yang berada jauh di depannya. Gestur tubuh kembaran dari kekasihnya itu masih sama seperti tadi, menunjukkan rasa panik, khawatir dan yang paling kentara adalah,
Kesedihan.
Dari sudut manapun Viona melihat, tidak ada sedikitpun perbedaan spesifik dari fisik Gian dan Gino. Hanya gaya rambut lah yang membedakan keduanya. Akan tetapi, semua orang yang baru melihat Gian dan Gino seperti dirinya tahu bahwa sifat dari kedua kembaran itu benar-benar berbeda.
Rengkuhan hangat dari seseorang yang sangat ia kenal berhasil membuat Viona tersadar dari lamunannya. Ia mendongak saat rengkuhan itu terlepas, di sana Gino terlihat sangat kacau dengan pancaran mata penuh rasa bersalah ke arah dirinya.
"Kamu nggak papa?" tanya Gino. Ia sungguh merasa bersalah dengan apa yang terjadi kali ini. Semua karena dirinya, bagaimana serangan panik terjadi kepada Gina hingga pingsan sampai Viona yang merasa sangat dirugikan.
Jika waktu itu ia tidak secara gamblang memberitahu Viona bahwa seorang Gino memiliki kembaran perempuan dan tetap menyembunyikannya hingga waktu yang tepat untuk diberi tahu, keadaannya tidak akan sekacau sekarang.
Viona menggeleng, memang dirinya yang tidak tahu apa-apa saat ini, tapi melihat bagaimana menyedihkannya situasi sekarang, kali ini saja dirinya tidak ingin egois.
"Harusnya aku yang nanya, kamu nggak papa?" Jawaban Viona membuat hati Gino terenyuh, ia sangat beruntung mempunyai kekasih seperti Viona. Saat dirinya sangat dirugikan pun, kekasihnya ini memilih untuk berusaha mengerti keadaan.
"Gina ... " Gino menoleh ke arah dimana Gina berada. Di sana, adik kembarnya itu sedang berusaha dipasang selang oksigen oleh seorang yang memakai jas putih.
Viona ikut menolehkan kepala ke arah dimana Gino menoleh. Saat melihat bagaimana keadaan Gina dari kejauhan, fikirannya semakin berkecamuk. Rasa bingung kembali menggelayuti hatinya.
Gadis cantik yang sedang berbaring tersebut terlihat sangat lemah dan memprihatinkan di mata siapapun yang melihatnya. Termasuk Viona sendiri. Yang ia tahu Gina bukanlah seorang remaja yang lemah, walau hanya sekali melihatnya Viona sudah tahu bagaimana karakter kembaran Gino tersebut.
"Gina nggak papa, dia bakal baik-baik aja. Percaya sama aku." Tanpa terselip rasa ragu sedikitpun Viona mengucapkan hal tersebut kepada Gino. Seolah-olah dirinya tahu segalanya tentang Gina.
"Iya, pasti. Gina anak yang kuat." Mata Gino berkaca-kaca, fikirannya terus menolak memori tujuh tahun lalu yang terus datang menghantamnya. Mengingatkan Gino bagaimana hancurnya Gina saat itu.
"Kalau gitu, jangan nangis, Sayang." Viona ikut merasakan kesedihan itu, ia sangat mengerti apa yang dirasakan kekasihnya sekarang ini.
Gino terkekeh, ia menggeleng sembari tertawa pelan. "Siapa juga yang nangis," dirinya menyangkal perkataan Viona, enggan memberi tahukan perasaannya kepada sang kekasih. Lengannya ia angkat untuk menyeka air mata yang tergenang di matanya.
Merasakan ada sesuatu yang mengganjal, Gino berusaha mencari Gian yang sedari tadi seperti menghilang, bahkan suaranya yang biasanya terdengar panik jika Gina sakit seperti ini seakan teredam tidak terdengar.
"Ada apa?" Gino kembali memusatkan pandangannya ke arah Viona setelah sang kekasih bertanya atas sikapnya.
"Kak Gian dimana?"
Seakan sudah tahu ada yang mencarinya, Viona melihat Gian yang berlari menuju ke arahnya atau lebih tepatnya ke arah Gino dengan jas dan kemeja yang sudah tidak lagi terpasang di tubuh tegapnya.
"Gino!" panggil Gian keras. Nafasnya tersengal sesaat setelah ia berada tepat di hadapan pasangan kekasih yang seharusnya menjadi bintang malam ini.
"Kamu anter Viona pulang, Kakak mau pergi dulu sebentar. Mama sama Gina biar Bi Mora yang jagain."
Gino mengerutkan kening, "Kemana?"
Badan Gian membeku. Sorot mata penuh kesedihan itu semakin lekat terpancar di matanya. Dan Gino tahu bahwa ada suatu hal yang tidak baik-baik saja selain situasi yang buruk saat ini.
Gian merogoh sakunya, memperlihatkan sesuatu yang terbungkus rapi di dalam kain putih.
"Ini apa?" Firasat Gino semakin terasa buruk saat mata Gian mulai berkaca-kaca ketika memberikan kain putih itu. setelah merampas benda itu dari tangan Gian, dengan cepat Gino membuka bungkusan kain putih tersebut dan membeku saat melihat isinya.
Tidak mungkin. Gino menggeleng, bahunya luruh karena lemas. Bagaimana bisa benda yang berada di genggamannya saat ini, menjadi seperti ini?
"Kak ... " Gino menghela nafas kasar, menatap Gian yang juga sedang menatapnya lekat.
"Gelang Gina, putus?"