Chapter 13 - 12. Suzy

"Jadi Gin, gua harus cantik. Gua bakal belajar pake make up yang keliatan natural." Suzy berjalan ke arah meja rias. Dengan terampil dan cepat dirinya mengikat rambut agar tidak menghalangi apa yang akan dilakukannya.

"Awas, lu jangan disitu." Gina menggeser tubuhnya. Kedua tangannya ia lipat dan tatapan datar khas seorang Gina yang dipancarkan kepada Suzy. Dengan mata itu, Gina melihat Suzy yang duduk berusaha untuk belajar merias dirinya.

"Gua tebak, pasti pacar lu kan?"

"Ck. Iya, katanya dia malu kalau jalan sama cewek yang make up nya tebel. Udah kayak ondel-ondel." Wajah Suzy merenggut tidak suka dengan raut sedih terpancar di wajah manisnya.

Sontak saja Gina memutar bola mata jengah, ia mendecih kesal atas apa yang telinganya terima dari omongan Suzy tadi. Gina sama sekali tidak terkejut melihat sahabat satu-satunya itu menangis sendirian di dalam kamar. Seperti apa yang ia lihat beberapa menit yang lalu, ketika Gina membuka pintu kamar Suzy.

Jelas sekali dirinya tahu apa penyebab sahabatnya menjadi seperti itu. Beberapa bulan yang lalu Suzy datang ke rumahnya dengan muka berseri dan menggebu-gebu atas apa yang ia alami saat itu. Mengabarkan bahwa dirinya mempunyai seorang pacar.

Lelaki yang dari lama sekali Suzy idam-idamkan. Tentu saja Gina ikut merasa senang atas keberhasilan Suzy mencapai salah satu keinginannya tersebut, akan tetapi Gina tidak menyangka baru saja beberapa hari Suzy berpacaran dengan lelaki itu, goresan hati telah terlukis di hati lembutnya.

Alasannya hanya satu, yaitu karena Suzy dianggap jelek oleh kekasihnya sendiri. Hal itu juga yang membuat sahabatnya ini menjadi seseorang yang sangat  gigih belajar merias wajah agar bisa memantaskan diri sesuai dengan standar kekasihnya.

"Percuma mau gua bilang segimana busuknya laki-laki itu buat lu, lu nggak bakal mau dengerin gua." Gina menghempaskan dirinya ke atas kasur Suzy, tangannya ia rentangkan sambil menghembuskan nafas. Berusaha mengenyahkan segala masalah yang ia hadapi beberapa jam lalu

Soal sang Mama dan Gian. Ia benar-benar tidak tenang jika terjadi sesuatu dengan keluarganya, terlebih dengan Gian yang notabenenya adalah kembarannya sendiri.

"Lu cuman nggak tahu seberapa baik dia, Gin," ujar Suzy lelah. Ia tidak tahu alasan apa yang membuat Gina sebegitu tidak sukanya dengan pacar sahabatnya sendiri. Padahal yang sangat paham bagaimana perasaan Suzy kepada lelaki itu hanyalah Gina seorang.

"Dasar buta, bego, idiot. Gua nggak ngerti lagi sama orang-orang yang bucinnya kelewatan kayak lu." Gina menumpukkan sebelah tangannya di atas mata, hembusan nafas lelah kembali keluar dari mulutnya.

"Mudah-mudahan aja Kak Gino nggak kayak gini." Suzy membeku setelah mendengar ucapan dari Gina. Bukan, bukan soal Gina yang menghinanya, tetapi soal apa yang Gina bicarakan tentang Gino.

"Maksud lu, Kak Gino ... " Gina mengangguk.

"Kak Gino punya pacar, Suz," ucap Gina santai. Sedangkan Suzy yang sedari tadi sibuk belajar memakai make up nya, lantas menarik nafas terkejut.

Seolah akan terjadi suara ledakan bom atom yang besar, Gina memindahkan tangannya ke arah telinga. Menutup kedua Indra pendengarnya itu rapat-rapat.

"WAHHHH BENERAN? KAK GINO PUNYA PACAR? KOK LU NGGAK BILANG GIN?!" Seorang gadis dengan rambut lurus dan kulit berwarna sawo matang itu berteriak dengan keras. Ia segera bangkit dari kursi meja rias lalu berjalan menuju kasur tempat Gina berbaring.

Setelah berada di hadapan kasur miliknya, Suzy mundur, berancang-ancang untuk melompat ke atas tubuh Gina. Sang empu yang menjadi tujuan Suzy membuka mata saat merasakan hawa-hawa tidak enak.

Ia segera mencari di mana sahabatnya berada, setelah tahu Suzy sedang berlari ke arah dirinya, Gina melotot ngeri. Ia segera menggulingkan badan ke kiri agar tubuh Suzy tidak berhasil melompat ke arah Gina.

Bruukk

Suara sesuatu yang berbenturan dengan kasur begitu keras terdengar. Gina menatap ngeri gadis di sampingnya. Posisi Suzy menelungkup tepat di mana dirinya berbaring beberapa detik lalu.

"Yah nggak kena," tutur Suzy kecewa.

"Gila lu! Nanti gua gepeng gimana?"

"Nggak usah mendramatisir deh. Paling cuman pingsan, nggak bakal gepeng." Suzy menatap ke arah Gina sambil  menaik turunkan alisnya.

"Beneran gila ternyata," guman Gina lirih. Ia semakin menggeser tubuhnya menjauhi Suzy, merasa sangat ngeri melihat sebuah senyuman terpatri di bibir tebal sahabatnya.

"Jadi gimana? Kok bisa Kak Gino punya pacar?" Suzy mengganti posisinya menjadi duduk dengan cepat. Ia menatap Gina dengan binar mata penuh pertanyaan.

Gina mengikuti apa yang dilakukan Suzy, ia mendudukkan diri menghadap ke arah sahabatnya yang masih menatap Gina dengan binar yang sama. Ia jadi ingat apa tujuannya menemui Suzy hari ini.

"Lu diem sampe gua selesai ngomong, bisa?" Gina jadi teringat interaksi dirinya dengan kedua kakak kembarnya beberapa hari lalu. Dimana obrolan yang seharusnya singkat menjadi sangat panjang.

Suzy mengangguk, ia memajukan sedikit tubuhnya agar lebih dekat dengan Gina.

"Gua nggak kayak lu sama kembaran lu ya Gin. Gua tau ini lagi serius." Walau terlihat seperti anak-anak Suzy tidak pernah sekalipun bermain-main jika sedang serius, bahkan setitik candaan ataupun kejahilan akan ia tolak mentah-mentah.

Gina mengangguk-anggukan kepala, paham sekali dengan tabiat gadis manis di hadapannya.

"Gua juga nggak tahu pasti, yang gua tau Kak Gino pacaran dua Minggu lalu sama temen sekelasnya. Namanya Octaviona."

Suzy mengerjap, "Bukannya itu nama ..."

"Boneka guritanya Mama." Gina tertawa pelan. Begitupula dengan Suzy yang sekarang sedang terpingkal, kebetulan macam apa hingga nama boneka bisa menjadi pacar salah satu kembaran dari Gina?

"Dan pacarnya Kak Gino bakal dikenalin ke rumah Minggu depan," ujar Gina di tengah-tengah Suzy yang sedang tertawa terbahak-bahak, namun setelah mendengar ucapan dari Gina, tawanya seketika berhenti.

Ia menatap serius di mana netra hitam itu berada. Suzy menyelam ke dalam mata sahabat kecilnya tersebut. Ia terus mencari apakah ada titik dimana Gina memancarkan ketakutan dan keraguan.

Namun nihil, hanya keyakinan dan percikan kebahagiaan yang terdapat disana.

"Lu ngebolehin orang asing dateng ke rumah lu?" Suzy berucap sembari menatap Gina tidak percaya.

"Gua mencoba menekan rasa trauma yang ada di dalem diri gua dan percaya sama Kak Gino kalau pacarnya itu orang baik." Gina terdiam sejenak, membalas tatapan Suzy seratus persen lebih yakin dari sebelumnya.

"Dan itu berhasil, gua bisa ngendaliin rasa trauma gua. Lagian Kak Gimo udah cerita banyak soal gua ke pacarnya."

Senyum tulus Gina berikan kepada Suzy membuat gadis dengan kulit sawo matang itu terkejut. Ia tidak percaya dengan Gina yang dapat menerima seseorang sebegitu cepatnya.

Akan tetapi hal itu tidak bertahan lama ketika di kepalanya terlintas sebuah pemikiran positif dan harapan yang besar.

"Jadi, lu udah bisa nerima orang luar buat tau lu sebenernya terlahir di dunia?" seru Suzy menggebu-gebu karena senang. Sepersekian detik Suzy mengucapkan hal itu, senyum Gina luntur. Ia menatap datar ke arah Suzy yang mengharapkan sesuatu yang hampir terasa mustahil.

"Nggak. Cukup pacarnya Kak Gino aja untuk saat ini. Gua nggak suka dikenal banyak orang." Nada suara yang terkesan dingin itu cukup mematahkan harapan Suzy. Hatinya serasa diremas saat kembali mengingat apa yang terjadi dengan sahabatnya ini hingga menjadi seperti sekarang.

Suasana hening tercipta cukup lama di dalam kamar Suzy. Baik Gina maupun Suzy tidak ada yang berani memulai pembicaraan.

"Tapi lu tau, Suz?"

Suzy yang sedari tadi menunduk, mengangkat kepalanya merespon panggilan Gina.

"Pacarnya Kak Gino mau ngebeliin kita skincare. Hmmm harganya lumayan sih, tapi itu yang bikin gua makin seneng Kak Gino punya pacar." Ucapan Gina lantas membuat binar kebahagiaan kembali terpancar di dalam diri Suzy.

"Lu tau kan apa artinya?" Sebuah senyum miring terlukis apik di wajah kedua gadis cantik tersebut. Mereka saling bertukar pandang juga bertukar pikiran.

"Penghasil skincare baru." Ucap mereka bersamaan.