Chapter 3 - 3

Pagi ini dipenuhi oleh suara sendok dan piring yang sedang beradu. Keluarga Aksanegara tengah melahap sarapan dalam diam. "Ga kerja mba?" Chris membuka pembicaraan.

"Engga dek, mba dapat libur hari ini. Lagian mau ke kampus buat bimbingan" Chris hanya mengangguk. "Ayah berangkat." Sang kepala keluarga beranjak dari meja makan setelah selesai menghabiskan menu sarapan. Ketiga anaknya hanya mengangguk.

Naya memandang kearah pintu hingga sang ayah sudah tidak terlihat. "Bang, berantem lagi sama ayah?" Naya mengalihkan pandangannya kepada Ezra, sang kakak. Si empu hanya mengangguk. Naya menggelengkan kepalanya lalu membereskan piring dan membawanya menuju dapur. Jujur, ia lelah dengan kelakuan abangnya ini. "Mau sampai kapan bang? ga kasian sama ayah? ngurus perusahaan sendirian, belum lagi ngurus kita bertiga. Masih beruntung mba Naya yang bantuin papa ngurus rumah padahal mba aja udah sibuk kerja sama skripsi. Ga kasian sama mereka bang? Dareen tau ini ga sopan, tapi abang udah keterlaluan. Cuma mikir kepentingan abang doang, padahal disini ada 2 adik Abang yang butuh abang. Inget bang, kita bertiga cuma punya ayah... Mba Naya yang seharusnya bisa main sama temen temennya, tapi ga bisa karena ngerasa punya tanggung jawab buat ngurus rumah, ngurus keperluan kita berempat. Mending kalau kita punya asisten rumah tangga, tapi nyatanya engga bang. Mba Naya yang ngurus semuanya. Ayo berubah bang, stop balapan liar, stop clubing. Kalau sampai lusa abang ga stop 2 hal itu, jangan tahan adek sama mba kalau minta papa buat blokir semua kartu kredit abang, dan jangan harap abang bisa tinggal disini lagi sampai abang ngakuin kesalahan abang dan berubah." Dareen beranjak menuju dapur, untuk berpamitan lalu pergi begitu saja menuju sekolah.

Ezra masih terdiam setelah penuturan dari sang adik bungsu. Naya yang melihat itu, hatinya terasa sakit. Setelah kepergian sang ibu 7 tahun silam membuat anak perempuan satu-satunya di keluarga Aksanegara harus menggantikan posisi sang ibu. Ia mendekati sang kakak dan memeluknya, tak lupa ia mengusap punggung lebar kakaknya. Sayup-sayup terdengar suara tangisan, kakaknya menangis. "Jangan ditahan bang, nangis yang keras ga apa apa kok. Keluarin semuanya, Naya tau pasti berat buat abang, tapi Naya sama dareen begitu karena sayang sama abang.. berubah ya bang? Naya sama Dareen pasti bantu kok... Tapi harus dari diri abang sendiri juga, Naya sakit liat abang kayak gini terus. Naya ngerasa bersalah sama mama karena belum bisa jagain abang sama Dareen dengan baik... Maafin Naya sama Dareen ya bang, Naya sama Dareen belum bisa jadi adik yang baik buat abang. Kadang masih nyusahin abang, sampai sampai abang emosi sendiri..." Ezra menangis sejadi jadinya dipelukan sang adik, ia mulai sadar bahwa ia sudah berjalan terlalu jauh dan melupakan fakta bahwa keluarga nya yang setia menunggunya pulang.